• No results found

Alfred R. Wallace di Nusantara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "Alfred R. Wallace di Nusantara"

Copied!
14
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

Alfred R. Wallace di Nusantara

Sebuah Petualangan Ilmiah

Sirtjo Koolhof

KITLV, Royal Netherlands Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Leiden, the Netherlands

Makalah untuk Lokakarya I Ekspedisi Wallacea 2004 21 Mei 2004, Universitas Hasanuddin, Makassar

Pada bulan Maret 1854 seorang Inggeris yang pada saat itu berumur 31 tahun naik kapal laut perusahaan Peninsular&Oriental, di salah satu pelabuhan di negeri Inggeris menuju dunia timur.

Bukanlah perjalanan jauh yang pertama untuk orang muda tersebut. Baru satu tahun setengah sebelumnya dia pulang ke tanah airnya kembali dari perjalanan selama 4 tahun ke Dunia Baru, yaitu hutan Amazon di benua Amerika Selatan. Kemungkinan besar agak khawatir perasaannya.

Pada pelayaran pulangnya dari Amerika Selatan kapal yang ditumpanginya terbakar dan tenggelam di tengah laut. Orang muda itu bersama penumpang lain berhanyut-hanyut dalam sekoci kecil selama 10 hari atas gelombang-gelombang laut sebelum diselamatkan oleh kapal lain yang kebetulan memperhatikan mereka. Akan tetapi yang paling menyedihkan ialah bahwa bersama kapal laut itu seluruh koleksi binatang-binatang yang dikumpulkannya selama dua tahun terakhir di hutan Amazon ikut tenggelam ke dasar Samudera Atlantik (Wallace 1853:391-401).

Dan kejadian itu bukan satu-satunya musibah yang dialaminya pada perjalanan itu. Adik kesayangannya, Herbert, yang dipanggil ke Amazon untuk mencari nafkah meninggal dunia karena diserang penyakit demam kuning, dan dia sendiri menderita pula beberapa penyakit tropis, termasuk malaria. Ternyata hal-hal tersebut tidak menghalangi laki-laki itu berangkat lagi ke daerah tropis, walaupun kali ini menuju ke arah timur, yaitu Nusantara atau dalam bahasa Inggeris the Malay Archipelago.

Lima puluh tahun kemudian Alfred Russel Wallace, nama orang itu, menulis dalam otobiografinya, My Life, bahwa perjalanan ke kepulauan Nusantara ‘merupakan kejadian yang sentral dan menentukan dalam kehidupan saya’ (Wallace 1905, I:336). Hal ini tentu saja belum

(2)

disadarinya pada waktu naik kapal dari Inggeris, apalagi bahwa perjalanan itu bukan hanya menjadi penting buat dia sendiri, akan tetapi buat seluruh umat manusia. Kediaman dan pengalamannya di Nusantara akan merupakan azas teori yang mengguncangkan pandangan ilmiah terhadap asal dan perkembangan makhluk hidup di dunia selama milyaran tahun. Teori evolusi selalu dihubungkan dengan nama Charles Darwin dan bukunya The Origin of Species yang diterbitkan pada bulan November 1859, tetapi yang biasanya terlupakan ialah bahwa sebuah surat Wallace yang dikirim awal tahun 1858 dari pulau Ternate memicukan Darwin untuk mengumumkan teori yang sudah dipikirkannya selama 20 tahun. Surat itu mengandung ide-ide dan arah pemikiran yang sama dengan teori evolusi Darwin. Khususnya alam Nusantara dan pengalamannya di daerah itu yang mempengaruhi Wallace mencapai kesimpulan bahwa setiap spesies adalah hasil perkembangan spesies yang lain dan evolusi itu dipengaruhi antara lain oleh lingkungan hidup dan penyesuaian organisme kepada lingkungan tertentu.

Teori ini bukan pokok pembicaraan saya hari ini. Selain ilmuwan Alfred Russel Wallace juga seorang pelancong, kolektor, pecinta alam dan pemerhati kehidupan manusia dan adat-istiadat di Nusantara. Dalam makalah ini saya akan membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan hal-hal tersebut. Karena tidak mungkin membahas semua kejadian selama 8 tahun perjalanan saya akan menitikberatkan pengalaman Wallace di daerah Makassar dan Maluku Tenggara.

Singapura, tanggal 30 April 1854, yaitu 150 tahun dan 21 hari yang lalu. Di daerah Bukit Timah Alfred duduk tenang menulis surat kepada ibunya di negeri Inggeris

Kami tiba di sini dengan selamat pada tanggal 20 bulan ini dan cuaca selama pelayaran baik sekali. Setelah mendarat saya terpaksa tinggal di hotel yang sangat mahal. Oleh sebab itu saya berusaha supaya secepat- cepatnya keluar kota, tetapi baru setelah seminggu saya berhasil dan mendapat izin untuk tinggal di rumah seorang penginjil Katolik dari Perancis yang berdiam sekitar delapan mil di luar kota, berdekatan dengan hutan. (Marchant 1916, I:47.)

Wallace pindah dari kota ke tempat yang berdekatan dengan hutan bukan hanya karena hutan adalah lingkungan yang paling menarik untuk seorang pencinta alam. Walaupun sering disangka bahwa perjalanannya di Nusantara didukung dan dibiayai oleh Royal Geographic Society di London, sebenarnya Wallace sendiri yang membiayai ekspedisi-ekspedisinya. Hanya pelayaran dari Inggeris ke Singapura dengan kapal api perusahaan Peninsular and Oriental (P&O) ditanggung oleh ketua RGS, Sir Roderick Murchison, supaya Wallace tidak perlu membayar pelayaran itu (Wallace 1905, I:326-7). Setelah tiba di kepulauan Nusantara Wallace membiayai kegiatannya dengan mengumpulkan spesies binatang, khususnya serangga dan burung, yang

(3)

setelah diawetkan dikirim ke agennya di London yang atas nama Wallace menjualnya kepada kolektor pribadi dan musium-musium di Inggeris. Dengan hasil penjualan itu Wallace membeli bahan dan alat yang dibutuhkannya untuk kegiatan selama perjalanannya, seperti bedil, bahan kimia, perahu, perumahan, dan untuk gaji asistennya pula.

Singapura adalah kota yang sangat disenangi Wallace. Suasana ditentukan oleh adanya suku bangsa bermacam-macam serta agama dan budaya yang berbeda-beda. Wallace tinggal di Singapura sekitar setengah tahun lalu berangkat ke Sarawak, bagian utara pulau Borneo. Alasan untuk pergi ke daerah tersebut ialah bahwa di Singapura dia bertemu dengan Raja James Brooke yang mengajaknya datang ke rumahnya di Sarawak. Setelah 14 bulan di Sarawak, di mana dia berhasil mengumpulkan banyak spesies binatang, antara lain 16 ekor orang utan yang secara finansial cukup menguntungkan karena harganya di kalangan para kolektor Inggeris cukup tinggi, Wallace kembali ke Singapura. Selain berhasil mengumpulkan macam-macam spesies yang langka, di Sarawak Wallace bertemu dengan seseorang yang pada tujuh tahun kemudian sangat berharga untuk kegiatannya. ‘Jongos Melayu yang setia’ (my faithful Malay boy), begitu dalam otobiografinya Wallace menyebut bocah yang dimaksudkan, Ali.

Ketika di Sarawak pada tahun 1855 saya angkat seorang bocah Melayu bernama Ali sebagai pembantu pribadi, dan juga untuk membantu saya belajar bahasa Melayu karena perlu selalu berkomunikasi dengannya.

Dia bersih dan penuh perhatian serta sangat pandai memasak. Dalam waktu pendek dia belajar menembak burung, mengulitinya secara tepat dan pada akhirnya bahkan memasang kulit dengan rapi. Tentu saja dia pelaut yang baik, seperti semua orang Melayu, dan pada semua kesulitan dan bahaya selama perjalanan kami dia cukup tenang dan bersedia melakukan apa saja yang diperlukan. Dia mendampingi saya pada setiap perjalanan, sekali-sekali sendirian, tetapi lebih sering bersama beberapa orang lain. Pada saat itu dia sangat berguna mengajari mereka tugasnya apalagi setelah dia tahu persis kemauan dan kebiasaan saya. (Wallace 1905, I:382-3.)

Ali bukan asisten Wallace yang pertama. Dari Inggeris Wallace membawa seorang anak lelaki, Charles Allen, yang menemaninya di pelayaran dari Inggeris ke Asia Tenggara. Pengalaman Wallace dengan Charles itu tidak begitu memuaskan – dia sering mengeluh tentang kekurangmampuan anak itu dalam suratnya – walau gambaran dalam otobiografinya tidak terlalu kritis.

[Charles] adalah anak lelaki dari London, anak seorang tukang kayu yang pernah bekerja untuk adik perempuan saya. Orang tuanya setuju dia mendampingi saya supaya belajar menjadi seorang kolektor.

Umurnya 16 tahun, tetapi karena badannya agak kecil biasanya disangka umurnya paling tinggi 13 atau 14 tahun. Dia tinggal bersama saya selama satu setengah tahun belajar menembak [burung] dan menangkap serangga secara baik, akan tetapi tidak mampu mengatur sebagaimana mestinya. Dia seorang yang cukup

(4)

beriman dan pada waktu saya meninggalkan Borneo dia memutuskan tinggal dengan uskup untuk menjadi guru. Akan tetapi setelah satu dua tahun dia kembali ke Singapura dan mendapat perkerjaan di sebuah kebun.

Sekitar lima tahun kemudian di Maluku dia menyusul lagi dengan saya sebagai kolektor. (Wallace 1905, I:340.)

Pada bulan Mei 1856 Wallace dan Ali di Singapura menunggu kapal menuju ke timur, ke Makassar. Pada teman lamanya, Henry Walter Bates yang sedang di Amerika Selatan, Wallace menulis,

Kapal yang saya tunggui selama hampir tiga bulan akhirnya tiba, lalu saya harap berangkat ke Makassar sekitar seminggu lagi. Akan tetapi musim menghalangi kami dan kemungkinan besar kelak perjalanan makan waktu lama, siapa tahu sampai 40 hari. Celebes tidak dikenal, seperti halnya dengan daerah Amazon Hulu sebelum Anda berkunjung ke sana, barangkali kurang dikenali lagi. Di dalam katalog-katalog [serangga]

British Museum tak satu pun spesimen tercatat dari Celebes, dan sangat sedikit dari Maluku. (Wallace 1905, I:354).

Kepada adik perempuannya, Fanny Sims, Wallace menulis pada bulan April,

Tidak begitu banyak yang dapat dikatakan kecuali saya tetap tertahan di Singapura dan tidak bisa berangkat ke Tanah Harapanku, Makassar, minyak rambutnya yang ternama kamu pasti kenal (Marchant 1916, I:62).

Tanah Harapanku, begitu Wallace menganggap pulau Celebes di mana dia mengira ‘mendapat begitu banyak yang baru dan menarik’ (Wallace 2000:162). Akan tetapi, walaupun pada bulan Mei dia masih optimis langsung bisa berangkat dari Singapura ke Makassar, nasibnya lain. Pada waktu itu hanya ada kapal yang menuju ke Bali dan Lombok. Wallace memutuskan mengambil kapal layar itu, Kembang Jepun, dan ketika tiba di Lombok langsung mencari kapal ke Makassar.

Walaupun pada awalnya dia menganggap hal itu suatu gangguan ekspedisinya, akhirnya perhentian terpaksa di Bali dan Lombok sangat berhasil untuk pikiran ilmiah Alfred Russel Wallace. Setelah singgah dua hari di pantai utara pulau Bali perjalanannya diteruskan ke pulau Lombok. Di situ Wallace menyadari bahwa kehidupan fauna jauh berbeda dari yang pernah ditemuinya di bagian barat Nusantara, yaitu Malaka, Borneo dan Singapura. Walaupun luasnya Selat Lombok antara pulau Bali dan pulau Lombok hanya 15 mil jenis-jenis margasatwa, khususnya burung, jenis-jenisnya lain sama sekali. Pada saat itu lahir konsep ‘garis Wallace’ atau

‘Wallace’s line’ yang merupakan batas antara fauna Australia dan fauna Asia. Di sebelah timur garis tersebut hidup binatang-binatang yang erat hubungannya dengan margasatwa Australia, di sebelah barat yang lebih mirip fauna Asia.

Wallace tinggal enam minggu di pulau Lombok sambil meninjau dengan teliti kehidupan binatang maupun kehidupan manusia. Dalam laporan perjalanannya, The Malay Archipelago,

(5)

selain gambaran kegiatan sendirinya, ada satu bab yang menggambar kehidupan orang Lombok,

‘Lombock: manners and customs of the people’ (Lombok: kebiasaan dan adat-istiadat penduduknya).

Makassar, 2 september 1856. Setelah tiga hari berlayar dari pulau Lombok Wallace melihat pantai Sulawesi Selatan yang ‘rendah dan datar’. Sudah dua setengah tahun di Nusantara, akhirnya ‘dengan sangat senang hati’ Alfred Russel Wallace menginjak daratan Tanah Harapannya di pelabuhan kota Makassar. Kesan pertamanya tentang kota Makassar cukup positif,

Makassar adalah kota Belanda pertama yang saya kunjungi dan saya kira lebih cantik dan bersih daripada kota yang lain saya lihat di Asia. Ada beberapa peraturan Belanda yang dapat dikagumi. Setiap rumah orang Eropa harus dikapur dan semua orang harus menyirami jalan di depan rumahnya setiap hari pada pukul empat sore. Jalan-jalan bebas dari sampah dan parit-parit tertutup membawa semua kotoran ke selokan besar yang terbuka sehingga air pasang dapat masuk dan menghanyutkan semua kotoran ke laut ketika air surut. (Wallace 2000:162-3.)

Pada waktu Wallace di Makassar daerah kota masih sangat terbatas,

Kota ini sebenarnya hanya satu jalan panjang yang sempit di pinggir pantai dengan gedung yang kebanyakan merupakan kantor dan gudang pedagang Belanda dan Tionghoa, serta pertokoan dan pasar orang pribumi.

Jalan ini memanjang ke utara lebih dari satu mil. Di situ terdapat rumah-rumah orang pribumi yang biasanya sangat sederhana, akan tetapi kelihatannya cukup rapi karena dibangun sejajar dengan jalan, dan umumnya ada pohon buah-buahan dipelihara di halamannya. Jalan ini biasanya ramai sekali dengan penduduk pribumi, yaitu lelaki Bugis dan Makasar yang berpakaian celana katun yang panjangnya sekitar 12 inci yang menutup badan dari pinggul sampai tengahnya paha saja. Sarung Melayu yang berwarna-warni dipakai sekeliling pinggang atau di atas bahu dengan cara bermacam-macam. Sejajar dengan jalan ini ada dua jalan pendek yang dipagari dan merupakan kota lama Belanda. Di jalan ini terletak rumah pribadi, dan di ujung selatannya terdapat benteng, gereja, dan sebuah jalan bersudut siku pada pantai dengan rumah gubernur dan pejabat- pejabat tinggi. Melewati benteng lagi, sepanjang pantai ada jalan panjang lain dengan gubuk-gubuk penduduk pribumi dan vila-vila para pengusaha dan para pedagang. Di sekitarnya terhampar persawahan yang sekarang gundul dan kering, ditutupi dengan tunggul jerami dan rumput-rumputan. (Wallace 2000:163.)

Hampir 150 tahun kemudian sangat sulit membayangkan bahwa sebagian besar kota Makassar masih sawah, hutan dan desa kecil. Jumlah penduduk kota pada zaman itu sekitar 22.000 orang, di antaranya hampir 800 orang Eropa dan 4000 orang Tionghoa (Poelinggomang 2002:175).

Wallace sebagai peminat alam serta pengumpul spesies binatang ingin secepat mungkin meninggalkan kota yang begitu menarik dalam gambarannya ‘karena tinggal di kota sangat tidak menyenangkan, lagi mahal’ (Wallace 2000:163). Tetapi meninggalkan kota tidak terjadi sebelum

(6)

Wallace mengunjungi gubernur yang pada pertemuan itu menjanjikan Wallace segala bantuan dan fasilitas yang diperlukannya.

Dalam waktu kurang dari satu minggu, Wallace pindah ke sebuah rumah sekitar dua mil dari kota Makassar. Rumah itu miliknya seorang Indo dari keluarga yang terkenal di Makassar: tuan Mesman. Keluarganya masih mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Tanete; Wé Tenriollé, ratu kerajaan Tanete adalah sepupu dua kalinya. Mesman itu memiliki kebun kopi dan rumah yang didiami Wallace terletak di tengah rumah-rumah buruh Mesman. Baru beberapa hari tinggal di rumah barunya Wallace sudah yakin bahwa dekat rumah tidak banyak binatang dapat ditangkap untuk koleksinya karena persawahan di sekitarnya kering. Jika mau berhasil dia harus pindah lagi ke pedalaman. Terpaksa dia kembali ke kota dan minta kepada gubernur sebuah surat untuk Raja Goa supaya bisa mencari rumah di daerah yang diperintah oleh raja itu. Bersama Mesman, teman akrab Raja Goa, Wallace berangkat naik kuda ke istana raja.

Kami menemui Sang Raja sedang duduk di luar mengawasi pembangunan rumah baru. Beliau telanjang dari pinggang ke atas, hanya memakai celana pendek dan sarung seperti biasa. Dua kursi diambil dari dalam untuk kami, tetapi semua pejabat dan orang bumiputera lain duduk di tanah. Pesuruh berjongkok pada kaki Raja dan menyerahkan surat yang dibungkus kain sutra kuning. Surat itu diberikan kepada salah seorang pejabat yang membukanya lalu mengembalikannya kepada Raja. Beliau membaca surat dan memperlihatkannya kepada tuan Mesman yang lancar berbicara dan membaca bahasa Makasar. Mesman menerangkan secara lengkap apa yang saya inginkan. Langsung raja mengizinkan saya berpergian ke mana-mana di wilayah Goa, akan tetapi maunya bahwa saya memberitahu dulu di mana saya ingin tinggal supaya beliau dapat menyuruh seseorang ke tempat itu untuk keamanan saya. Kemudian anggur dihidangkan, lalu setelah itu kopi yang menjijikkan bersama kue pahit. Kenyataannya ialah saya belum pernah minum kopi yang enak di daerah-daerah di mana pendukuknya memelihara pohon kopi. (Wallace 2000:164.)

Setiap hari Wallace mengelilingi daerah Goa mencari serangga dan burung sambil juga mencari tempat tinggal yang baik dan cocok untuk tujuannya. Akhirnya dia ketemu hutan yang cukup kaya margasatwanya. Dia mengunjungi Raja Goa lagi untuk memohon sebuah rumah dibangun berdekatan dengan hutan itu. Kesan yang digambarnya dari kunjungan itu menjelaskan sesuatu yang sudah terlihat dari deskripsi kunjungan pertama juga: Wallace sangat terus terang, tidak mau memberi gambaran yang lebih indah daripada yang dilihatnya dalam realitas.

Kami menemui Raja sedang mengadu ayam di dalam pondok dekat istananya. Beliau langsung meninggalkan aduan ayam untuk menerima kami, dan sama-sama kami naik tangga rumahnya. Rumah itu besar, dibangun dengan baik serta megah, berlantai bambu dan berjendela kaca. Sebagian besar merupakan ruangan terbuka yang luas terbagi oleh tiang-tiang. Di dekat sebuah jendela permaisuri berjongkok di atas kursi malas sambil mengunyah sirih-pinang. Di sampingnya terdapat tempolong tembaga, dan di depannya sebuah tempat sirih

(7)

untuk keperluannya. Raja duduk menghadapinya pada kursi model yang sama tapi tempolong dan tempat sirih dipegang oleh seorang anak lelaki yang berjongkok di sampingnya. Dua kursi dibawa masuk untuk kami.

Beberapa gadis, ada yang anak raja, ada juga yang budak, berdiri berdekatan; beberapa sedang menenun sarung, tetapi kebanyakannya tidak membuat apa-apa.

Di tempat ini saya dapat memberi gambaran bercahaya tentang pesona anak dara itu, busana elok yang dipakainya, dan perhiasan emas dan peraknya; tetapi, hanya jika saya ingin mengikuti contoh kebanyakan pelancong-pelancong lain. Dalam gambaran seperti itu sangat cocok memasukkan baju terbuat dari kain kasa yang memperlihatkan payudara timbul di bawahnya, sambil sering menyebutkan ‘mata bercahaya’, ‘rambut panjang’ dan ‘kaki kecil’. Akan tetapi, kesetiaan pada kebenaran tidak mengizinkan saya menulis secara panjang lebar tentang pokok-pokok itu dengan kagum, karena saya bertekad akan memberi gambaran benar daripada orang dan tempat saya kunjungi. Perlu diakui bahwa anak raja itu cukup cantik, tetapi baik orangya maupun pakaiannya tidak tampil sesegar dan sebersih yang diperlukan untuk menikmati keelokan lainnya. Di dalam mata Eropa segalanya tampil tidak enak dan tidak mencerminkan kerajaan, karena kelihatan luntur dan suram. Satu-satunya yang memunculkan rasa kagum adalah kelakuan raja yang tenang dan bermartabat, serta kehormatan yang selalu diberikan kepadanya. Tidak ada orang yang diperbolehkan berdiri jika beliau ada dan kalau duduk di atas kursi semua yang hadir harus duduk di lantai (tentu saja orang Eropa dikecualikan).

(Wallace 2000:167-8.)

Jika membaca kutipan dari The Malay Archipelago ini boleh terjadi kata-kata Wallace dianggap sebagai kritik atau pandangan rendah keluarga raja yang dikunjunginya dan yang menerima dia sebagai tamu terhormat di istananya. Apakah itu memang halnya? Saya kira tidak. Wallace lebih mengkritik rekan-rekan sebelumnya yang dalam buku-bukunya menggambarkan apa saja yang dikunjungi sebagai sesuatu yang sangat agung, indah dan kaya. Itulah yang Wallace menentang;

dalam katanya sendiri ‘kesetiaan pada kebenaran tidak mengizinkannya’. Sikap itu muncul pula dari catatannya tentang alam tropis. Menurut Wallace orang yang hanya mengetahui alam tropis melalui buku dan kebun botani membayangkan alam itu merupakan lautan bunga berwarna-warni di tepi sungai jernih (Wallace 2000:181-2). Padahal kenyataan ialah alam itu terdiri dari pohon- pohon dan hutan padat yang warnanya hijau dan coklat di mana bunga bertumbuh berjauhan.

Pengunjung yang melancong di daerah tropis memadatkan pengalaman dan apa yang dilihatnya selama beberapa tahun di tempat-tempat berjauhan ke dalam satu paragraf atau satu halaman.

Wallace ingin menghindari hal begitu, baik dalam deskripsi alam maupun dalam deskripsi manusia, di bukunya. Dia mau memberikan pembacanya informasi yang dapat dipercaya.

Tentu saja tidak berarti bahwa Wallace selalu bersifat obyektif. Sebagai manusia dia terpengaruh oleh latar belakang, pendidikan dan pengalamannya. Ambil saja pendapat tentang ketidakenakan rasa kopi yang dikutip di atas. Jelas bahwa pendapat itu sangat terpengaruh latar belakangnya sebagai orang Inggeris. Sebenarnya kopi yang paling enteng dan rasanya

(8)

dihilangkan oleh tambahnya banyak susu dibuat oleh orang Inggeris! Barangkali tidak disukainya oleh orang Inggeris merupakan pujian terbesar untuk rasa kopi Sulawesi!

Alfred Russel Wallace merupakan kekecualian pada pertengahan abad ke-19 dengan pendapatnya bahwa setiap suku bangsa, baik yang beradab maupun yang biadab dalam mata orang Barat, pada dasarnya tidak ada perbedaan. Pada tahun 1855 sudah dia menulis dalam sepucuk surat dari Sarawak,

Makin banyak saya melihat dari manusia biadab (uncivilised people), makin baik pendapat saya tentang kodrat manusia pada umumnya, dan perbedaan pokok antara yang dinamakan manusia beradab dan manusia biadab seperti menghilang. Di sini kami ada, dua orang Eropa terkepung masyarakat Cina, Melayu dan Dayak. Orang Cina umumnya dianggap pencuri, pembohong dan mempunyai sikap murah terhadap nyawa manusia. Mereka kuli berasal dari kelas terbawah dan tidak mempunyai pendidikan. Orang Melayu selalu disifatkan curang dan ganas. Orang Dayak baru berhenti menganggap potong kepala keperluan yang mutlak.

Kami dua hari jalan dari Sarawak yang, walaupun pemerintahnya Eropa, hanya dapat ada karena persetujuan dan dukungan masyarakat pribumi. Sekarang saya bisa mengatakan bahwa di daerah apapun di Eropa, seandainya mempunyai kesempatan yang sama untuk kejahatan dan kekacauan, keadaan pasti tidak seaman di sini (Marchant 1916, I:55-6).

Pendapat tersebut dikemukakan pula dalam buku The Malay Archipelago. Sebagai penutupan laporan perjalanan selama delapan tahun di Nusantara Wallace memuat sebuah bab yang berjudul

‘Ras-ras manusia di kepulauan Melayu’ (Races of men in the Malay archipelago). Setelah membicarakan bangsa-bangsa yang berdiam di kepulauan Nusantara Wallace mengakhiri bab itu dengan renungan tentang perkembangan masyarakat Eropa.

Sekarang saya sudah mengakhiri tugas saya. Saya menggambarkan, kurang lebih terperinci, pengembaraan saya di pulau-pulau terbesar dan tersubur yang menghiasi permukaan dunia kita. […] Sebelum mengucapkan selamat berpisah pada para pembaca, saya ingin memberi beberapa pengamatan terhadap pokok lebih menarik dan lebih penting, hasil renungan tentang kehidupan biadab, dan dari mana menurut percayaan saya manusia beradab dapat belajar beberapa hal dari manusia biadab. (Wallace 2000:455.)

Kesimpulannya dalam renungan ini adalah bahwa perkembangan ekonomi dan industrial di Inggeris tidak berarti kemajuan moral atau sosial dan tidak secara otomatis menuju ke ‘keadaan sosial yang sempurna’. Sistem industrial, perdagangan raksasa, kota-kota padat menurut Wallace menghasilkan kesengsaraan manusia dan kejahatan yang sebelumnya tidak pernah ada. Keadaan kelas-kelas bawah di Eropa dari sudut pandang ini lebih buruk daripada orang biadab yang hidup di tengah masyarakatnya,

(9)

sehubungan masyarakat seluruhnya, kita tidak pernah akan mencapai keunggulan nyata atau penting apapun daripada kelas atas orang biadab. Inilah pelajaran yang saya peroleh dari pengamatan saya terhadap manusia biadab. (Wallace 2000:457.)

Kembali ke Makassar, tahun 1856. Akhirnya Wallace mendapat rumah yang diingininya, yaitu yang terletak dekat hutan di mana dia mengira dapat memperbanyak koleksi binatangnya. Pada saat ini bukan hanya Ali yang mendampingi dia pada tugas-tugasnya. Baru beberapa hari di daerah Makassar pertama-tama Ali jatuh sakit. Setelah Ali mulai sembuh lagi, Wallace sendiri yang sakit keras. Sejak mengunjungi daerah Amazon Wallace sering diserang penyakit malaria.

Begitu juga ketika di Makassar. Pada saat itu dua orang Makasar dikerjakan untuk masak dan tugas-tugas lain di rumah. Badrun, seorang bujang yang sudah beberapa kali ikut berlayar ke Australia Utara menangkap tripang. Tugasnya memasak dan menembak burung. Baso adalah

‘anak lancang yang berumur dua belas atau empat belas tahun yang bisa berbicara bahasa Melayu sedikit’ (Wallace 2000:165). Tugasnya Baso membawa senapan dan jaring serangga beserta mengerjakan apa saja yang perlu. Ali yang sudah satu tahun mendampingi Wallace pada perjalanannya sudah mahir menguliti burung.

Pertengahan bulan November 1856 menjelang musim hujan Wallace, Ali, Badrun dan Baso kembali ke kota Makassar. Hasil pengumpulan serangga, burung dan kupu-kupu cukup memuaskan tetapi tidak seperti diharapkan. Karena perkiraan lima bulan musim hujan di daerah Makassar Wallace merencanakan ke daerah dengan cuaca lebih baik,

Syukurlah Makassar merupakan pusat perdagangan pribumi di Nusantara. Rotan dari Kalimantan, kayu cendana dan lilin dari Flores dan Timor, tripang dari Teluk Carpentaria, minyak kayuputih dari Buru, pala dan kulit kayu mussoi dari Papua semua bisa didapat di toko-toko pedagang Cina dan Bugis di Makassar serta pula beras dan kopi hasil utama daerah sekeliling kota. Lebih penting lagi ialah perdagangan dengan kepulauan Aru, letaknya ke arah barat-laut Papua. Hampir seluruh hasilnya dibawa ke Makassar dengan perahu-perahu pribumi. (Wallace 2000:309.)

Yang paling menarik buat Wallace bahwa di kepulauan Aru hidup burung cenderawasih yang belum dikenali semua spesies. Dia memutuskan akan berangkat ke Aru. Beberapa hari sebelum berangkat pada tanggal 10 Desember dia menulis dalam surat kepada adiknya,

Karena akan berangkat untuk enam bulan ke tempat di mana surat tidak sampai saya mengirim beberapa kalimat supaya kamu tahu saya sehat dan bersemangat, walaupun sedikit kecewa dengan Makassar yang ternama itu. … Selama dua minggu terakhir, sejak datang dari pedalaman, saya hidup secara cukup mewah, mendapat susu sapi untuk teh dan kopi, roti dan mentega Belanda yang sangat baik. Akhirnya ada juga buah- buahan. Buah-buah mangga baru datang dan tentunya rasanya sangat enak. Katanya mangga kurang sehat dan memang baik saya akan berangkat. (Marchant 1916, I:64.)

(10)

Keberangkatan dari Makassar tidak jadi tanpa kesulitan. Wallace sangat sibuk mempersiapkan perjalanannya; belanja, mencari pembantu, dan persiapan lain untuk perjalanan selama tujuh bulan ke daerah di tepi peradaban (Wallace 2000:310). Ali, Badrun dan Baso akan ikut pada perjalanan tersebut. Hanya, Badrun, seminggu sebelum berangkat, minta gaji empat bulan dengan alasan ingin membelikan ibunya rumah dan pakaian untuk dirinya sendiri. Ternyata Badrun seorang penjudi dan dalam waktu dua hari dia memboroskan uang itu semua. Terpaksa Wallace membelikannya bekal dan pakaian. Pada tanggal 13 Desember perahu yang ditumpanginya berangkat pada saat hujan deras. Beberapa jam lagi angin kencang melanda perahu itu dan akibatnya layarnya robek. Pada malam hari itu mereka sudah ada di kota Makassar lagi. Karena perbaikan layar memerlukan waktu cukup lama mereka tinggal empat hari lagi di pelabuhan.

Akhirnya jadi berangkat juga. Perjalanan pertama menumpangi perahu pribumi dengan awak kapal orang bumiputera ternyata pengalaman yang sangat mengesankan dan menyenangkan buat Wallace.

Mengesampingkan semua ide tentang bahaya, yang kemungkinan besar tidak lebih daripada kapal-kapal lain, perlu dikemukakan bahwa saya tidak pernah, baik sebelumnya maupun kemudian, menjalankan perjalanan selama 20 hari yang begitu menyenangkan atau barangkali lebih tepat, dengan begitu sedikit ketidaksenangan.

[…] Sebabnya antara lain karena tidak ada peraturan pakaian, jam makan yang tetap dan seterusnya, serta sikap kesopanan dan watak baik hati nakhoda. Saya menyetujui makan bersama dia, tetapi jika ingin, saya bisa makan di bilik saya pada jam-jam kemauan saya. Awak kapal semua sopan dan ramah, dan tanpa banyak disiplin segala sesuatu jalan dengan baik; perahunya bersih dan teratur, sampai pada umumnya saya sangat senang dengan perjalanan ini dan cenderung menilai kemewahan perahu ‘semi-biadab’ ini lebih daripada kemewahan kapal api yang paling indah, hasil tertinggi peradaban kami. (Wallace 2000:326.)1

Awal bulan Januari 1857 Wallace menginjak tanah di Dobo, kota perdagangan yang kebanyakan penduduk adalah orang Tionghoa dan Bugis. Dobo yang terletak di pulau kecil tidak sepenuhnya memuaskan Wallace. Walaupun banyak kulit dan bulu burung cenderawasih diperdagankan di kota ini, lingkungan hidupnya ada di di pulau-pulau lain di Aru. Bulunya sangat populer di Eropa pada abad kesembilan belas untuk hiasan topi wanita. Pada bulan Maret Wallace dan teman- temannya pindah ke pulau Wokan di mana dia tinggal di sebuah pondok kecil. Tidak lama Wallace menembak burung cenderawasih pertamanya, diikuti oleh beberapa ekor lain. Hari-hari Wallace, Badrun, Baso dan Ali masuk hutan untuk mengamati kelakuan burung cenderawasih beserta menembaknya. Di gubuknya Wallace bangun pagi dan suara-suara khas burung-burung itu sangat menarik didengar,

(11)

Saya berbaring mendengar bunyi menarik itu, lalu sadar bahwa saya orang Eropa pertama yang berbulan- bulan tinggal di kepulauan Aru, suatu tempat yang saya harapkan pernah bisa dikunjungi, tetapi tidak pernah saya sangka mencapainya. Saya memikirkan berapa orang di samping saya ingin mencapai negeri kayangan ini dan melihat dengan mata sendiri hal-hal indah dan hebat yang saya temui setiap hari. Tapi sekarang Ali dan Badrun bangun menyiapkan senapan dan pelurunya, dan Baso sudah menyalakan api untuk membuat kopi saya, lalu saya ingat bahwa tadi malam seekor kakatua hitam dibawa ke rumah yang perlu dikuliti secepatnya. Saya lompat bangun dan mulai pekerjaan hari ini dengan rasa sangat gembira. (Wallace 2000:341.)

Kepulauan Aru merupakan taman firdaus untuk seorang naturalis seperti Wallace, tetapi setelah tinggal enam bulan di tempat itu Wallace harus kembali ke Makassar. Walaupun selama beberapa bulan tidak bisa keluar rumah sebab kakinya terinfeksi, tetap dia berhasil mengumpulkan 9000 specimen binatang, termasuk 1600 spesies baru. Akan tetapi ada juga yang tidak ikut pelayaran ke Makassar, yaitu Badrun. Beberapa minggu sebelum keberangkatan dia dibmarahi Wallace karena malasnya. Badrun minta sisa gajinya lalu meninggalkan Wallace. Uang itu dipakai untuk bermain judi dan pada awalnya dia sangat beruntung. Tetapi akhirnya keuntungan menjadi kekalahan. Apa saja yang dimilikinya diboroskan, lalu terpaksa meminjam uang sampai menjadi budak orang yang meminjamkannya uang.

Kembali di Makassar Wallace memerlukan waktu satu bulan untuk mengatur, menyediakan dan mengepak hasil ekspedisi ke Aru. Diperkirakannya nanti di London barang itu akan bisa diperdagangkan dengan harga sekitar 500 pound. Ternyata perkiraannya jauh terlalu rendah;

akhirnya koleksi itu menghasilkan dua kali angka itu: 1000 pound. Antara lain, British Museum membeli 20 persen dari koleksi itu, yaitu 2700 spesimen (Raby 2001:124). Setelah koleksi dikirim dari Makassar ke Singapura, Wallace memutuskan tinggal dengan adiknya tuan Mesman, Jacob, yang memiliki kebun di daerah Maros. Ali tidak bisa ikut karena diserang penyakit malaria lalu dia ditinggalkan di Makassar dalam perawatan seorang dokter Jerman, teman baik Wallace. Tiba di Maros Wallace langsung mengunjungi asisten-residen dan minta sepuluh orang untuk memikul barangnya beserta seekor kuda untuk dia sendiri. Keesokan pagi rombongan berangkat jalan kaki ke kebun Jacob Mesman di mana sebuah rumah kecil dibangunkan dekat hutan. Wallace menganggap waktu tinggal di daerah itu sangat menyenangkan. Dia sempat menangkap burung enggang dan banyak macam kupu-kupu termasuk beberapa spesies baru.

Pada akhir bulan September dia melakukan kunjungan ke air terjun di Bantimurung, yang pada saat itu pula sudah merupakan suatu tempat yang populer pada pelancong. Tempat itu kaya serangga dan kupu-kupu, lalu banyak lagi spesies baru ditemukannya. Pada bulan Oktober musim hujan mulai, dan walaupun banyak binatang hanya ada pada musim itu, Wallace kembali ke kota.

(12)

Rumah kecilnya tidak lapang dan kedap air, dan pada waktu hujan deras spesimen-spesimen yang dikumpulkan tidak dapat dikeringkan.

Penuh rasa puas tentang masa berdiam di daerah Makassar Wallace naik kapal api Belanda menuju Ambon. Dia tidak akan menginjak tanah Celebes Selatan lagi, walaupun perjalanan di Nusantara Timur masih sekitar lima tahun lagi dan dalam kurung waktu itu masih melakukan kunjungan ke Ambon, Ternate, Papua, Manado dan Timor. Selain menghasilkan sebuah koleksi spesimen binatang yang besar, ada juga hasil yang tidak berbentuk fisik. Pada tahun 1858 di Maluku Utara Wallace menderita lagi serangan penyakit malaria dan terpaksa tinggal di dalam rumah. Kondisinya tidak memungkinkannya keluar rumah atau bekerja, sampai dia hanya dapat menyibukkan otaknya dengan masalah-masalah teoretis. Pada saat itu muncul sebuah ide tentang masalah asal mula spesies baru; sesuatu yang sudah lama dipikirkannya. Waktu di Sarawak pernah juga ditulisnya sebuah artikel tentang masalah itu. Wallace menulis makalah dan mengirimnya kepada Charles Darwin yang pada saat menerima surat itu sangat terkejut. Wallace dalam paper yang pendek itu mendapat solusi untuk persoalan ilmiah yang mirip persis dengan solusi yang dicapainya setelah memikirkan hal itu selama lebih dari 20 tahun. Diputuskan bahwa makalah Wallace dibacakan pada tanggal 1 Juli 1858 di pertemuan Linnean Society di London bersama sebuah makalah Darwin yang ditulisnya 15 tahun sebelumnya. Tanggal ini dapat dilihat sebagai pengenalan teori evolusi kepada dunia luas, walaupun hanya mendapat perhatian besar setelah Charles Darwin menerbitkan buku The origin of species setahun kemudian. Wallace sendiri pada saat itu tidak mengetahui tentang semua hal itu. Dia sedang di Papua melengkapi koleksi-koleksinya bersama Ali dan beberapa asisten lainnya.

Selama beberapa tahun keluarga Wallace di Inggeris mendesak agar dia akhirnya pulang.

Selain merindukannya mereka juga mengkhawatirkan kesehatannya. Wallace seringkali tidak mampu bekerja karena sakit atau kena luka. Pada tahun 1861 dia menilaikan bahwa hasil ekspedisinya cukup banyak untuk dapat membiayai kehidupan di Inggeris. Sampai di Singapura lagi dia mencari kapal menuju ke Inggeris dan berpisah dengan Ali yang selama tujuh tahun menemaninya pada semua perjalanannya. Bukan hanya itu, seperti Wallace Ali sering menderita penyakit keras pula. Akan tetapi, berbeda dengan majikannya yang tetap bujang, Ali bertemu jodoh di Ternate,

Ketika kami tinggal di Ternate, Ali menikah, tetapi karena isterinya hidup bersama keluarganya, tidak ada perubahan dan dia mendampingi saya ke mana-mana sampai tiba di Singapura di perjalanan saya pulang.

Waktu berpisah saya memberikannya, di samping hadiah berbentuk uang, kedua senapan saya beserta amunisi yang sisa, dan juga banyak alat dan barang lain, sesuatu yang menjadikannya cukup kaya. Di sini untuk

(13)

pertama kalinya Ali memakai pakaian Eropa yang sebenarnya tidak secocok pakaian pribuminya. Berpakaian cara begitu seorang teman memotretnya dengan bagus. Lalu sekarang saya memperkenalkan wajahnya kepada pembaca sebagai wajah asisten pribumi yang terbaik saya dan teman setia pada hampir setiap perjalanan saya di kepulauan di Asia Timur. (Wallace 1905, I:383.)

Tidak diketahui bagaimana perasaan Wallace pada saat meninggalkan kepulauan yang begitu memuaskan dan : dia berhasil menyusun koleksi spesimen binatang untuk penelitiannya, koleksi untuk diperdagangkan, menemui solusi untuk masalah munculnya spesies baru dan melalui pertemuan dengan penduduk-penduduk pribumi menambah pengertian terhadap kodrat manusia pada umumnya. Pasti di samping rasa gembira akan pulang ke Inggeris dan keluarga, dia juga menyesal harus meninggalkan kepulauan tempat perjalanan yang ‘merupakan kejadian yang sentral dan menentukan dalam kehidupan’ Alfred Russel Wallace (Wallace 1905, I:336).

Pulang di Inggeris Wallace menjadi ilmuwan yang sangat dihormati. Dia memerlukan beberapa tahun untuk menyusun, mendeskripsi dan menganalisis koleksi yang dikumpulkannya selama 8 tahun perjalanan. Jumlah spesimen koleksi pribadinya mencapai 125.660 ekor. Baru pada tahun 1868 dia sempat mulai menulis tentang pengalamannya di Nusantara. Pada tahun 1869 terbit bukunya The Malay Archipelago; The land of the orang-utan and the bird of paradise; A narrative of travel, with studies of man and nature. Satu tahun kemudian buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Jerman karena dianggap sangat penting dari segi pandang ilmiah. Tetapi The Malay Archipelago bukan hanya laporan ilmiah; sampai saat ini buku itu dianggap sebagai salah satu kisah perjalanan yang terindah dalam genrenya.

Sayangnya buku yang begitu menarik dan penting belum diterjemahkan secara lengkap ke dalam bahasa Indonesia; sampai saat ini hanya ada buku yang mengandung seleksi dari kisah Alfred Russel Wallace (Wallace 2000b). Mudah-mudahan semua kegiatan sekitar ekspedisi Wallacea 2004 – peringatan kedatangan Alred Russel di kepulauan Nusantara 150 tahun yang lalu – akan menghasilkan juga sebuah terjemahan lengkap dalam bahasa Indonesia supaya bangsa yang begitu penting untuk Wallace sempat menikmati kisah perjalanan di kampung halamannya sendiri.

(14)

References

Marchant, James, 1916, Alfred Russel Wallace; Letters and reminiscences. London: Cassell.

Poelinggomang, Edward, 2002, Makassar abad XIX; Studi tentang kebijakan perdagangan maritim. Jakarta: KPG/Yayasan Adikarya IKAPI/Ford Foundation.

Raby, Peter, 2001, Alfred Russel Wallace; A life. London: Chatto & Windus.

Wallace, Alfred Russel, 1905, My life; A record of events and opinions. London: Chapman &

Hall. 2 vols.

Wallace, Alfred R., 2000a, The Malay archipelago. Singapore: Periplus. [Reprint of 10th edition, 1892.]

Wallace, Alfred R., 2000b, Menjelajah Nusantara; Ekspedisi: Alfred Russel Wallace abad ke-19.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

hit dapat dikatakan merata pada setiap rumrul tangga, baik rumah tangga yang: lcepala keluarganya tidak pernah meranta u maupun yang pernah merantau dan yang

Snree akan sangat tlipenpruhi oleh ke.unr;kinaa penr;eabllJlpD berall tere.but eebapi .uat.. j\lalah rencQa .ari

kan masaalah io1. Tetapi dalam masyarakat manapun juga ma- salah io1 selalu menarik untuk diketahui baik di kota mau- pun di desa. Para remaja mengetahui soal sex

masuk kerja tidak mcnerima upah, bahkan kcterangan yang mengagetkan adalah bahwa mereka juga mendapat periDtintan alusan mangkir. tidak banyak daln.m

Dan obyek yang t elnh di kcnakan ketetapan Ipeda yang te rc antum dallifa buku C , kete ran gannya diperoleh dari keuchik. Gejala ini pal ingm udoh diteranekan

perjanjian bahwa jika barang tidak di telms sebcgini lahun lamanya mnya menjadi hal milik orang yang mcmegang gadai. Dapat menyerahkan objek gadai kepaela olllI1g

perikanan y.ng besar. Sobagai negM' perair.n, Indoneai.t jUgA mernilili polenai perikanan yang besar. yMg sebagian bcsar bckerja scbagai nclayan seWn mcnjadi pctani.

Selain dana sosial di atas, tokoh gerakan juga menentukan jenis-jenis bantuan lain yang nilainya lebih besar dan mencapai puluhan juta rupiah. Karena itu ia