• No results found

HAREUTA PEUNULANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "HAREUTA PEUNULANG "

Copied!
48
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

· .

HAREUTA PEUNULANG

(Suatu PenelrtJan di Kabupaten Pidie)

oleh

Abdurrahman. SH" M.Hum.

Staf Penga,ar pada Fakultas Hukum Unsy\ah

PUSAT PENELlTIAN ILMU~LMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM, BANDA ACEH

2000

I

(2)

KATA PENGANTAR

Tulisan ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pidie. Penelitian lapangan dan penulisan laporan ini merupakan salah satu kegiatan yang dari serangkaian kegiatan harus dilakukan dalam rangka mengikuti Pelatihan Penelitian di Pusat Penelitian IImu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas SYlah Kuala.

Penelitian dengan judul Hareuta Peunulang ini merupakan penelitian yang berusaha mengkaji tentang konsepsi mengenai Hareuta Peunulang dan proses pemberian Hareuta Peunulang terse but.

Keberhasilan melakukan penelitian dan membuat laporan ini tidak terlepas dari berbagai bantuan dan dukungan serta bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan in!, penulis ingin mengucapkan terima kasih, pertama kepada PPISB Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan kesempatan kepada penuhs untuk mengikuti pelatihan ini dan kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing penuhs mulai dari pelatihan, penelitian dan penuhsan laporan. Terima kasih juga diucapkan kepada seluruh staf PPISB yang telah membantu dan memberi berbagai kemudahan dalam pelatihan dan penulisan laporan penelitian ini. Terima kasih selanjutnya disampaikan kepada seluruh teman-teman peserta pelatihan yang telah berjasa memotifasl dan memberi berbagai masukan dalam persiapan, pelaksanaan dan penulisan laporan. Terakhir ucapan teMma kasih disampaikan kepada semua subjek penelitian baik responden dan infomnan yang telah bersedla untuk diwawancarai guna memperoleh

(3)

data penelitian. Semoga semua jasa-jasa pihak-pihak yang telah disebutkan di atas mendapat balasan yang balk oleh Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa laporan inl masih terkandung kelemahan dan kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu masukan dan saran saran darl berbagal pihak sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan Ini.

Banda Aceh, Oesember 2000

Penulis

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ...... . I

DAFTAR ISI ...... ...... ...... . ii

BAB! PENDAHULUAN A. Latar belakang permasalahan ...... ... .... 1

B. Pennnasalahan ... .. ... 4

C. Tujuan penelitian ...... .. ............. 4

D. Manfaat penelitian ... ........ ... 5

BAB II TlNJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan umum mengenai Hareuta Peunulang ... ... 7

B. Aspek Hukum dalam Hareuta Peunulang ... 10

SAB III METODE PENELITlAN A. Lokasi penelitian ... .. .. ... ... ... 14

B. Responden dan Informan ... ... 14

C. Alat dan Teknik pengumpulan data . ... .. 16

D. Analisis data ... ... .. ... .. ... ... 16

SAB IV KONSEPS! DAN PROSES PEMBER1AN HAREUTA PEUNULANG A. Pemahaman Masyarakat mengenal Hareuta Peunulang.. 17

B. Latarbelakang pemikiran dan tujuan pemberian Hareuta Peunulang........ "'. ...... 22

C. Persepsi Anak laki-Iaki mengenal Harcula Peunulallg .... 29

D. Proses Pemberian 'Hareuta Peunulang ... . 33

E. Penarikan kembali Hareuta Peunulang .. ... ...... 39

SAS V PENUTUP A. Kesimpulan ... ......... 41

S. Saran ...... 43

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Permasalahan

Penelitian yang berjudul "Hareuta Peunulanr/' ini dimaksudkan untuk menemukan dan membahas persoalan Hareuta Peunulang sebagai suatu lembaga/pranata yang terdapat dalam Hukum Adat Aceh. Dalam kehidupan keluarga pada masyarakat Aceh dikenal adanya pemberian sesuatu benda yang bermanfaat kepada anak perempuan yang telah kawln oleh orang tuanya. Pemeberian ini dikenal dengan istilah Hareuta Peunulang.

Keberadaan suatu keluarga biasanya lahir dari keluarga inti.

Setelah anak-anak dari suatu keluarga kawin maka terbentuk pasangan baru. Pasangan ini kemudian menjadi keluarga baru. Keluarga baru ini kemudian hidup terpisah dengan keluarga orang tuanya (keluarga inti).

Dalam masyarakat tertentu keluarga baru ini untuk beberapa waktu hidup dalam dan menyatu dengan keluarga orang tuanya. Kemudian setelah memasuki tenggang waktu tertentu, memisahkan diri dari keluarga inti, dan secara sosial membentuk keluarga baru, terpisah dari keluarga Inti.

Dalam masyarakat Aceh, sebagaimana pada masyarakat lalnnya, orang tua mempunyai kewaJlban untuk memelihara, membesarkan, bahkan sampai mengawinkan anak setelah dewasa. Hal ini merupakan pelWujudan dari kewajiban alimentasi (kewajiban timbal balik antara

(6)

orang tua dan anak). Namun demlkian, setelah seorang anak kawin, tidak berarti terputus hubungan dengan keluarga orang tuanya sebagaimana pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan Patrilinial.

Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan Patri-matrilinial/Patri-matrialchat. Dalam masyarakat yang menganut sistem Patri-matrilinial/Patri-matrilalchat, Setelah seoarang anak kawin, mereka tetap menjadi anggota keluarga semula, di samping juga telah dianggap menjadi keluarga pihak suami/isteri.

Di Aceh, seperti di daerah lain di Indonesia, kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga-batih, ialah ayah, ibu dan anak- anak yang belum kawin. Anak-anak yang telah kawin membentuk lagi keluarga-batih. Di dalam sebuah rumah terdapat satu kelarga-batih dan kadang-kadang du keluarga-batih (Teuku Sjamsuddin dalam Koentjaraningrat, 1971: 2377).

Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing- masing. Dalam masyarakat Kabupaten Pidie, setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya. Mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga. Secara sosial mereka belum dikatagorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya. Kondisi ini ber1<onsekwensi bahwa mereka tetap berada di bawah tanggung jawab

(7)

orang tua, sampai mereka dlplsahkan secara ad at guna membentuk keluarga sendiri.

Setelah beberapa waktu, biasanya setelah umur perkawinan lebih kurang setahun atau setelah punya anak, pasangan suami isteri terse but dipisahkan dari keluarga orang tuanya, guna secara sosial membentuk keluarga sendiri. Pada saat upacara pemisahan ini dilakukan, kepada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang berharga atau bermanfaat sebagai bekal hidup dengan suaminya, biasanya berupa rumah dan atau tanah atau lainya. Acara pemisahan ini dalam masyarakat Aceh dlkenal dengan istllah Peumengkleh dan barang yang diberikan tersebut dinamakan dengan Hareuta Peunulang atau ada yang menyebutnya denga istilah Peunulang saja.

Dari aspek hukum, pemberian Hareuta Peunulang merrupakan salah satu cara peralihan hak atas bend a, disamping cara-cara peralihan hak lainnya. Perali hak atas suatu bend a dengan cara pemberian Hareuta Penulang hanya dikenal dan merupakan perbuatan hukum yang khas dan hanya ada dalam masyarakat Aceh.

Peunulang sudah melambaga dalam masyarrakat Kabupaten Pidie. Setiap ada PeumengkleiJ hampir bisa dipastikan dibarengi dengan pemberian Hareuta Peunulang. Namun demikian, Persoalan peunulang ini belum ada yang mengkaji secara khusus dan konprehensif. Beberapa penelitlan yang perrnah dilakukan, seperti oleh Pengadilan nngi Acel1

(8)

(1976) yang meneliti tentang Hukum adat menegenai Waris, Harta Serikat dan Anak Anggkat, BPHN dan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (1980) yang meneliti tentang Hukum Adat dan Lembaga-Iembaga Hukum

·adat, dan penelitian lain yang berkaitan dengan warisan, hanya meyinggung saja tentang Hareuta Peunulang. Penelitian-penelitian tersebut di atas tidak ada yang meneliti khusus untuk memperoleh gambaran sebenarnya dari Peunulang ini. Pada hal, Peunulang merupakan lembaga yang khas, yang hanya ada pad a beberapa bagian dari masyarakat Aceh dan sampai sekarang tetap eksis. Oleh karena itu, menarik untuk dipelajari lebih jauh tentang Peunulang, baik dad aspek falsafahnya, sosial ataupun aspek hukum.

B. Permasalahan

Mengingat ban yak hal yang bisa dikaji lentang peunulang sedangkan waktu yang tersedia, pendukung yang ada, dan kemanpuan peneliti terbatas, maka penelitian ini hanya dibataSl pada permasalahan : bagalmanakah konsepsi Hareuta Peunulang dan proses pemberiannya.

c .

Tujuan Penelitian

Penelitian 1nl merupakan kajian awal untuk mengetahui konsepsl Hareuta Peunulang dari aspek falsafah, sosial maupun yuridis dengan rincian tujuan penelitian scbagai berikut.

4

(9)

1. Untuk menjelaskan

pemahaman mansyarakat Tentang Hareuta Peunulang dan latar belakang pemikiran atau tujuan pemberiannya.

2. Untuk menjelaskan kaitan antara Hareuta Peunu1ang dengan konsepsi hibah yang ada dalam hukum Islam.

3. Untuk menjelaskan pandangan anak laki-Iaki dalam keluarga mengenai Hareuta Peunulang yang diberikan kepada sudara perempuanya.

4. Untuk menjelaskan proses pemberian Hareuta Peunulang.

S. Untuk mendeskripsikan boleh atau tidak Hareuta Peunulang digugat kembali oleh ahli waris lainnya dan boleh tidak ditarik kembali oleh orangtuanya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dasar mengenai Hareuta

Peunulang, karena itu hasil penelitian diharapkan bermanfaat

1. Untuk menambah perbendaharaan ilmu sosial budaya dan hukum, khususnya ilmu Sosial dan budaya tentang masyarkat Aceh dan Hukum adat Aceh.

2. Sebagai sumber informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui masalah Hareuta Peunulang

(10)

3. Sebagai salah satu sumbangan untuk bisa iileiijadi aCiJaii atau dasar bagi penelitian yang lebih jauh dan iileildalam tentang Hareuta Pcunul.mg.

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tunjauan umum mengenai Hareuta Peunulang

Istilah Peunulang berasal dari bahasa Aceh dan identik dengan Hareuta Peunulang (T.Djuned, 1991 : 4). Dalam literatur terdapat beberapa pengertian tentang Peunulang. Dari hasil penelitian tentang Hukum Adat dan Lembaga Hukum Adat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Fakultas Hukum Unsyiah, Peunulang diartikan sebagai harta milik isteri yang diperoleh sebagai pemberian orang tua ketika dipemeungkleh (T.Djuned, 1991: 5). Oleh Pengadilan Tinggi Aceh, dari hasil penelitiannya tentang Waris, Hareuta 5eharekat dan Anak Angkat, Peunulang diartikan sebagai mengembalikan mas kawin yang telah diterima oleh orang tua pihak perempuan (T. Djuned, 1991 : 5).

Pemahaman Peunulang masih beragam. Menurut T. Djuned (1991 : 6), dalam masyarakat Aceh hingga saat ini masih banyak yang menyamakan Hareuta Peunulang dengan hibah yang terdapat dalam Hukum Isla",. Menurut Moehammad Hoesin (1970 : 179) Peunulang itu sama dengan hibah, orang Aceh menyebut hibah dengan Peunulang dan ini sejak dahulu sudah dikenal oleh rakyat Aceh.

Peunulang atau hibbah adalah hat yang sama yaitu pemberian.

Akan tetapi, istilah peunulang digunakan karena adanya pemberian kepada anak perempuan pada saat pemisahan penghidupan dan

7

(12)

pelepasan tanggung jawab rumah tangga oleh orang tua atas anak perempuannya yang telah kawin. Sedangkan hibbah, merupakan pemberian seseorang kepada siapa saja (Soesilawati, 1989:19). Menurut Slddik dalam T. Djuned (1991:6) pada hakekatnya antara hibbah dan Hareuta Peunulang terdapat perbedaan yang pokok. Hibah berarti pemberian seseorang kepada ahli warisnya, sahabat atau urusan umum, sedangkan Peunulang mempunyai arti pemberian harta kepada orang tua kepada anak perempuannya sebagai modal penghidupan rumah tangga, atau pemberian harta dari mertua kepada menantu perempuan pada saat pertama kali berkunjung kerumah mertuanya. Pendapat-pendapat di atas memperlihatkan bahwa Peunulang merupakan pemberian, yang dilihat dari sasaran (orang yang menerima) berbeda dengan hibbah.

Menurut T. Djuned ( 1991: 9), antara Hareuta Peunulang dengan hibah terdapat perbedaan. Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

Harta Peunulang itu merupakan harta yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuan yang telah kawin dengan tujuan sebagai modal hidup keluarga yang baru terbentuk. Peunulang dilangsungkan antara orang-orang yang mempunyai hubungan hukum yang kuat, baik karena hubungan darah maupun hubungan hukum lainnya.

Sedangkan penghibahan adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain yang ada hubungan darah maupun tidak. Antara Peunulang dan hibah terdapat perbedaan dilihat dari segi penerima, jenis harta dan akibat hukum, serta pengaturannya. Perbedaannya adalah sebagai berikut.

1. Penerima harta peunulang adalah anak perempuannya yang telah dikawinkan, sedangkan penerima hibah adalah setiap orang.

s

(13)

2. Jenis-jenis harta peunulang adalah rumah beserta pekarangannya, sawah, kebun, binatang ternak, perhiasan dan alat-alat rumah tangga. 5edangkan dalam hibah tidak ada ketentuan mengenai jenis harta yang akan dihibahkan.

3. Mengenai akibat hukumnya, dalam hal harta peunulang hak milik belum beralih secara penuh, kecuali pemberi telah meninggal dunia. Oleh karena itu harta peunulang dapat dicabut kembali. Sedangkan harta hibah, hak milik segera beralih kepada sipenerima setelah terjadi penghibahan, walupun terdapat ketentuan bahwa hibah dapat dicabut kembali bila yang menerima melakukan kesalahan yang fatal pada pihak yang memberi hibah.

4. Dari segi pengaturannya, harta peunulang diatur dalam Hukum Adat, sedangkan harta hibah diatur dalam Hukum Islam.

Uraian tentang Peunulang dari sudut falsafah atau tujuan dari pemeberian Hareuta Peunulang belum ditemui literatur lengkap. Dari hasil peneltian PegadilanTlnggi Aceh tersebut di atas, diketahui bahwa tujuan pemberian harta peunulang adalah : untuk bekal hidup anak perempuan bersama suaminya; sebagai jaminan hidup pihak istri kalau terjadi putus perkawinan dengan suami, dan sebagai biaya pemakaman isten seandainya dalam masa perkawinan Itu tidak ada harta sepencaharian atau harta lainnya (T. DJuned, 1991 :7). T. Djuned sendiri (1991:7) memberikan gambaran bahwa Hareuta Peunulang itu merupakan tanda bahwa seorang menantu telah dianggap sebagai keluarga send"i, karena itu perlu dibantu dan diblna dengan memberikan bekal hidup.

Pembenan Hareuta Peunulang diberikan pada saat anak perempuan yang telah kawin dipisahkan dari keluarga (dipemengkleh

J.

5nouck Hurgronje (1995:408), sekalipun tidak menyebut dengan istilah

(14)

hareuta peunulang, mengambarkan bahwa anak perempuan yang telah kawin setelah masa jinamee teriampaui dipercayakan sepenuh nya menjadi tanggungan suami. Untuk ini diadakan upacara pengk/eh dengan mengadakan kenduri yang dihadri para pejabat kampung dan tokoh-tokoh lainnya. Dalam upacara pengkleh ini kepada sianak diberikan benda-benda tertentu. Pemberian benda-benda tersebut dilafaskan oleh orang tua di hadapan Teuku Keuchi, Tengku dan para tetua lainya dan atas nama yang hadir Keuchi menjawab "telah kami dengar".

B. Aspek Hukum Dalam Hareuta Peunulang

Hareuta Peunulang sebagai suatu lembaga yang ada dalam mensyarakat, di samping beraspek sosial juga mengandung aspek hukum yang kental. Di lihat dari kacamata hukum maka dalam persoalan Hareuta Peunulang mengandung suatu perbuatan hukum yaitu perbuatan hukum mengalihkan suatu benda dari pemilik semula kepada oang lain. Berikut ini akan diuraikan beberapa persolan hukum yang berkaitan dengan Hareuta Peunulang.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Hareuta Peunulang diberikan kepada anak perempuan dalam suatau upacara yang dihadiri oleh Kepala Desa, lmam Menasah dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Pemberian Hareuta Peunulang dilakukan secara terbuka dan dengan disakskani oleh saksi-saksi. Menurut Moehammad Hoesin (1970, 179),

10

(15)

pemberian Hareuta Peunulang diikrarkan oleh pemberinya dihadapan Kepala Desa, Imam Menasah dan orang-orang tua kampung dari kampung tempat tinggal.

Seluruh orang yang hadir dalam upacara itu menjadi saksi untuk pembuktian kalau-kalau dikemudian hari terjadi persoalan tentang harta tersebut. Dilihat dari tata cara pemberiannya maka dapatlah dikatakan bahwa pemberian Hareuta Penulang tersebut telah memenuhi syarat materil dalam peralihan hak. Dengan demikian, secara hukum objek Peunulang tersebut secara sah telah berpindah tangan dari orang tua selaku pemberi kepada anak selaku penerima.

Mengenai besaran atau jumlah harta yang bisa dijadikan Hareuta Peunulang juga ikut menetukan keabsahan pemberian tersebut. Lebih lanjut menu rut Moehammad Hoesin (1970, 179) harta pemberian melalui Peunulang besarannya tidak boleh melebihi sepertiga dari semua harta yang ada. Dengan demikian Peunulang ini sudah dianggap sah oleh Adat.

Dengan sahnya pemberian Hareuta Peunulang tersebut maka anak lak,- laki tidak boleh lagi membantah.

Menurut Moehammad Hoesin (1970 : 102 dan 179), anak lakHaki tidak boleh membantah orang tuanya mengenai pemberian peunulang kepada saudara-saudaranya yang perempuan, apalagi yang diberikan itu adalah rumah beserta pekarangannya. Rumah ini akan menjadi tempat bagi anak laki-laki untuk menemUl saudaranya yang pcrcmpuilll. "killl

11

(16)

·

.

merupakan aib bagi mereka kalau saudaranya yang perempuan tidak mempunyai tempat tinggal dan menumpang di tempat orang lain.

Namun demikian, sekalipun objek Peunulang telah sah beralih, tetapi menurut hukum adat hak milik atas objek tersebut belum beralih secara penuh. Mengenai hal ini dapat dilihat Pendapat T. Djuned yang telah disebutkan di atas. Konsekuensi belum beralihnya objek Peunulang secara penuh adalah terbuka kemungkinan untuK dilakukan penarikan kembali apa yang telah diberikan tersebut. Hareuta Peunulang menurut Hukum Adat dapat ditarik atau dicabut kembali. Alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk mencabut Hareuta peunulang adalah menlnggalnya penerima dan terjadi pengalihan hak atas harta peunulang. Terjadinya dua hal ini berakibat tidak tercapainya tujuan pemberian Hareuta peunulang. Alasan lain yang blsa digunaKan untukmencabut Hareuta Peunulang adalah Penerima Hareuta Peunulang durhaka kepada orang tuanya (T. Djuned, 1991:8).

Dengan meninggalnya penerima Hareuta Peunulang, maka tujuan pemberiannya tidak terpenuhl. Dengan meninggalnya pe ne rima, maka bekal tidak dibutuhkan lagi dan tujuan pemberian harta peunulang terhenti. Karena itu Hareuta Peunulang tersebut dapat dicabut aleh orang tuanya. Selain itu, dengan dialihkan abjek Peunulang berarti tujuan dari pemberiannya dilanggar. Beralihnya hak atas objek Peunulang kepada

11

I ~--- ---- ~--- --- --- --- -

(17)

orang lain menyebabkan tujuan pemberian semula tidak tercapai. Dengan alasan ini maka Hareuta Peunulang dapat dicabut.

Pencabutan Hareuta Peunulang dengan alasan objeknya dialihkan pernah terjadi. Pada tahun 1954 seorang bapak memberikan sepetek tanah sebagai harta peunulang kepada seorang anak perempuannya.

Kemudian pada tanggal 1 September 1966 tanah itu digadaikan kepada orang lain oleh menantunya dengan persetujuan anak perempuan tersebut. Hal ini menyebabkan tanah terse but dicabut kembali oleh orang tuanya. Pencabutan itu dukuatkan oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan Putusan Tanggal 22 September 1973 No. 23/1973/Gg, Pengadilan Tinggi Aceh dengan Putusan Tanggal 13 Januari 1975 No. 60/1974/PT dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Tanggal 10 Desember 1975 No.1193K/Sip/1975 (T. Djuned, 1991: 8).

Pencabutan Hareuta Peunulang karena penerima durhaka kepada orang tuanya pernah juga terjadi. Dalam kasus ini Pengadilan Tinggl Agama Banda Aceh dalam Putusannya Tangal 8 Agustus 1986 No.28/1987 menyatakan bahwa harta peunulang dapat dicabut oleh orang tuanya (T. Djuned, 1991 : 8).

(18)

BAB III Metode Penelitian

A. Lokasi penelitian

Lokasi peneiltian in; adalah Wilayah Kabupaten Pidie, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten Pidie merupakan salah satu daerah, diantara beberapa daerah lain di Aceh, yang diketahui adanya lembaga Hareuta Peunulang dan sampai saat ini lembaga terse but masih digunakan/masih eksis.

B. Responden dan Informan.

Responden da/am penelJtian 1nl adalah orang--orang yang berkaitan

dengan kasus-kasus yang ditelitl, yaitu orang-orang pernah memberikan dan menerima Hareuta Peunulang serta anak laki-laki yang

dalam keluarganya pernah diadakan Peunulang. Mengingat bahwa orang yang dapat dijadikan respond en cukup banyak, karena banyaknya kasus-kasus Pemberian Hareuta Peunulang, maka untuk ini hanya diambil lima kasus dan yang jadi responden adalah orang-orang yang berkaitan dengan lima kasus Hareuta Peunulang tersebut.

Responden yang dipilih adalah sebagai berikut.

lima orang yang pernah memberikan Hareuta Peunulang lima orang yang pernah menerima Hareuta Peunulang.

14

(19)

lima orang anak la kHaki yang dalam kelurganya pernah dladakan Peunulang.

Semua responden ini diambil dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Indrajaya dan Peukan Baro. Pemilihan para respond en hanya terbatas pada dua kecamatan saja dengan pertimbangan bahwa persoalan Hareuta Peunulang relatif homogen, sama disetiap kecamatan.

Selain responden, dalam penelitian ini juga diambil sembilan orang informan, yaitu orang-orang/tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui persoalan Hareuta Peunulang. Pemilihan informan dilakukan dimulai dari Informan Kunci dan seterus sampai dianggap cuk'Jp untuk bisa terjawab permasalahan penelitian. Informan yang terpilih adalah :

dua orang mantan Kepala Desa, satu orang Kepala Desa,

satu orang tokoh agama,

tiga orang tokoh masyarakat pad a tingkat desa dan kecamatan, 2 orang tokoh masyarakat pada tingkat Kabupaten.

Informan dlambil tidak terikat pada dua kecamatan tersebut di atas, tetapi termasuk orang-orang yang berada di luar dua kecamatan itu, termasuk juga yang sekarang tidak berdomisili lagi di Kabupaten Pidie.

4

(20)

C. Alat dan Teknik pengumpulan data

Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data berupa Study kasus. Data diperoleh dengan mengkaji beberapa kasus/praktek Peunulang dan untuk melengkapinya ·data digunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara dilakukan dengan responden dan informan. Wawancara dilakukan secara bebas dan mend ala m tetapi dengan mempersiapkan lebih dahulu pedoman

wawancara.

D. Analisis data

Taerhadap data yang diperoleh pertama-tama dikelompokan menurut permasalahan dan tujuan penelitian. Data yang telah dikelompokan terse but ditafsirkan kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif untuk kemudian dideskripsikan.

16

- - - -- - .

(21)

BABIV

KONSEPSI DAN PROSES PEMBERIAN HARE UTA PEUNULANG

A. Pemahaman Masyarakat Mengenai Hareuta Peunulang

Hareuta Peunulang sebagai suatu lembaga yang telah lama ada dan hidup dalam masyarakat Aeeh sampai saat ini masih eksis dalam masyarakat Kabupaten Pidie. Maslh banyak ditemui keluarga yang melakukan pemberian Hareuta Peunulang kepada anak perempuannya.

Sekalipun tidak semua responden dan informan bisa memberikan pengertian dari Hareuta Peunulang, namun mereka bisa memahami dan memberikan gambaran tentang apa itu Hareuta Peunulang. Di samping memahami, para responden, juga melaksanakan dan menghormati Hareuta Peunulang sebagai suatu lembaga yang ada dalam hukum adat.

Hareuta penulang dipahami oleh para responden dan informan secara hampir sama dengan ~engertian yang diberikan oleh para penulis dalam berbagai daftar baeaan. Hareuta Peunulang merupakan harta dalam wujud benda-benda tertentu yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuanya setelah anaknya tersebut berumah tangga. Salah satu informan, bahkan memahami tentang Hareuta Peunulang ini sedikit berbeda dengan para infirman dan responden lainnya. Hareuta Peunulang yang dipahami oleh informan ini tidak hanya harta yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, tetapi juga termasuk harta yang diberikan oleh seorang mertua kepada menantu perempuannya.

17

(22)

Wujoo ben<la ,~og

""-"',,,,,'<."1\

H"'''\\t~ P('\"'\lI~no d\m~k,\,d di atas bermacam-macam, dan semuanya menlpakan bcnct~,

Yt,n9

t't'lI\1!\\I

dan bermanfaat untuk kehidupan. Senda-benda dimaksud adalah rumah dan tanah tempat letak rumah tersebut, tanah kebun, tanah sawah, perhiasaan emas, binatang ternak sepert:i kerbau; sapi; dan kambingn dan peralatan rumah tangga. Dari semua benda tersebut, yang paling banyak diberikan dalam art:i hampir pada semua pemberian Haeruta Peunulang ditemui adalah rumah besert:a tanah dan isi rumahnya. Semua responden mengakui menerima Hareuta Peunulang berupa rumah dan tanahnya. Ini berart:i bahwa rumah besert:a tanahnya merupakan objek yang utama dari Hareuta Peunulang, karena ditemui pada semua pemberian Hareuta Peunulang. Objek yang lainya, sangat tergantung pada kemampuan atau tingkat sosial ekonomi dari orang tua.

Dilihat dari jenis benda yang merupakan objek Hareuta Peunulang di atas, maka dapatlah dikelompokan benda-benda tersebut dalam tiga kelompok yaitu benda yang berfungsi untuk tempat tinggal, faktor produksi dan simpanan atau tabungan. Mengenai hak-hak sumai dan isteri tehadap benda-benda terse but akan dijelaskan dalam urian mengenai pasea pemberian hak pada sub bab proses pemberian Hareuta Peunulang.

Dilihat dari kegiatan pemberian hareuta peunulang, berupa tindakan pemberian sesuatu benda kepada orang lain, maka hal ini mirip dengan Hibah yang ada dalam Hukum Islam. Persoalan apakah Hareuta

IS

(23)

Peunulang merupakan lembaga yang berdiri sendiri dalam hukum adat terpisah dari konsep Hibah dalam Hukum Islam atau sama dengan konsep Hibah ditemui pemahaman yang berbeda dari para nara sumber.

Dari berbagai pendapat tentang hal tersebut di atas, pemahaman masyarakat tentang ini dapat disarikan menjadi dua macam. Pertama Hareuta Peunulang itu dipahami sebagai suatu lembaga yang sama dengan hibah. Dalam arti sekalipun berbeda lembaga dan dasar hukumnya, namun merupakan hal yang sama, yaitu berupa pemberian harta kepada orang lain dan dalam hal ini hanya penerimanya yang berbeda, yakni khusus anak perempuan. Kedua, Hareuta Peunulang itu sekalipun dilihat dari perbuatan pemberiannya sama dengan dengan hibah, tetapi dipahami sebagai suatu lembaga yang berbeda dengan Hibbah. Dengan alasan ba~wa Hareuta Peunulang tJdak dapat dikalahkan oleh "hukum/syara'" sedangkan Hibah dapat dikalahkan oleh hukum/syara'. Artinya dalam Praktek tidak pernah adanya pelaksanaan pewarisan (sebagai salah satu wujud menjalankan hukum/syara,) menghapuskan atau mencabut hareuta peunulang ini.

Dengan dianggap sama antara Hareuta Peunulang dengan Hibah, maka konsekuensi hukumnya juga berbeda. Ketentuan-ketentuan hibah dengan sendirinya dianggap berlaku bagi Hareuta Peunulang. Misalnya, Hlbah kepada ahli waris secara hukum dapat d,perhitungkan dalam pembaglan warisan dan daDat d,batalkan kalau meleDlhl dan se;:>;rtiga

(24)

harta warisan. Ketentuan ini dengan sendirnya dapat diterapkan pada Hareuta Peunulang. Sebaliknya karena Hareuta Peunulang itu bukan atau tidak sama dengan hibah, maka ketentuan hibah tidak bisa diterapkan padanya. Di sini Hareuta Peunulang berdiri sendiri, tidak diganggugugat dalam pewarisan.

Perbedaan pandangan di atas, kalau diamati sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan landasan pandangan. Pemahaman masyarakat bahwa Hareuta Peunulang sama dengan hibah dilandasi pad a pemikiran bahwa pada keduanya terdapat suatu perbuatan hukum peralihan hak melalui pemberian atau peyerahan dari pemilik kepada penerima secara sukarela tanpa keharusan sipenerima melakukan prestasi atau kewajiban terntentu. Sebaliknya, pemahaman masyarakat bahwa Hareuta Peunulang berbeda dengan hibah dengan alasan bahwa hibah bisa dikalahkan oleh syara' sedangkan Peunulang tidak bisa adalah dilandasi pada realita bahwa belum pernah terjadi adanya pewarisan yang membatalkan Peunulang.

Sebenarnya terhadap landasan pandangan yang digunakan oleh informan yang memahami bahwa Hareuta Peunulang berbeda dengan hlbah di atas, secara hukum bukanlah Hareta Peunulang tidak bisa dilakahkan oleh syara' tetapi dalam realita tridak pernah terjadi karena ada sebab. Pertama, pada saat pemberian sudah dilakukan tindakan antisipatif oleh para tetua kampung terutama oleh kepala desa dan imam

20

(25)

menasah supaya pemberian hare uta peunulang tidak boleh menyimpang dari ketnetuan yang berkaitan dengan wansan, misalnya tidak boleh membrikan melebihi sepertiga dari semua harta dan pemberiannya harus memperhatikan jumlah anak yanag ada. Kedua, masyarakat sangat menghormat; lembaga Hareuta Peunulang ini, sehingga tidak terjadi pembatalan ketika diadakan pewarisan.

Sebagai suatu lembaga Hareuta Peunulang berbeda dengan hibah, baik dari segi sasaran pemberiannya, objeknya maupun dasar atau tujuan pemberiannya. Secara sosial Hareuta Peunulang memang berbeda dengan hibah. Akan tetapi, dari aspek yuridis sangat sulit memisahkan secara tajam antara Peunulang dengan hibah, keduanya hampir sama.

Dalam arti keduanya adalah sama, hanya ada satu hal yang membedakannya, yaitu mengenal beralihnya objek setelah penyerahan.

Pada hibah objek beralih secara penuh setelah diserahkan, sedangkan pada Peunulang, bendanya berlih setelah penyerahan tetapi tidak secara penuh. Jadi sebgai suatu lembaga secara sosial Hareuta Peunulang berbeda dengan hibah dan secara yuridis hampir tidak berbeda.

Dalam praktek pewarisan oleh masyarakat yang dlketahui oleh para responden dan infonman tldak pernah terjadi objek dan Hareuta Peunulang diambil kembali untuk digabungkan dengan harta warisan.

Dalam praktek pewarisan di Pengadilan Agama Sigli, sekalipun ditemui adanya pihak-pihak ahli waris yang mempersoalkan untuk memperhatikan

21

(26)

objek Hareuta Peunulang, namun tidak pernah objek tersebut digabungkan dengan objek wansan untuk kemudian difaraidkan. Paling jauh yang dilakukan oleh Pengadilan adalah dalam membagikan harta warisan dalam hal seperti di atas adalah mengurangi hak anak perempuan yang telah pernah menerima Hareuta Peunulang dari harta pusaka yang ada.

B. Latar belakang pemikiran dan tujuan pemberian hareuta peunulang Hareuta Peunulang padadasarnya dikenal di seluruh Aceh, tetapi yang masih dipraktekan hanya di tiga daerah dalam Propisi DJ. Aceh, yaitu Kabupaten Pldle, Kabupaten Aceh Besar dan sebagaian wilayah Kabupaten Aceh Barat. Lembaga Hareuta Peunulang dibuat pada Zaman Kerajaan Aceh Darussalam atas ide atau inisiatif Putroe Phang (iateri dari Sultan lskandar Muda, Raja Kerajaan Aceh Darussalam). dalam rangka melindungi kaum wanita yang ditinggal cerai oleh suaminya. Ketika itu ditemui banyak kaum wan ita yang menderita akibat ditinggalkan oleh suaminya. Atas dasar inilah Putrou Phang mengusulkan diadakan lembaga Hareuta Peunulang (Hasil wawancara dengan salah seorang informan).

Berkaitan dengan pemberian hareuta peunulang, selam dalam konteks sejarah seperti di atas, dltemui berbagal pendapat tentang latar belakang pemikiran dan tujuan pemberian Hareuta Peunulang. Adapun

(27)

tujuan pemberian Hareuta Peunulang dapat dilihat dari beberapa aspek sepeti tesebut dibawah ini.

1. Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek yuridis.

Dari aspek yuridis tujuan pemberian Hareuta Peunulang adalah untuk menggantikan mas kawin yang diambil oleh orang tua untuk persiapan perkawinan anak perempuannya.

Dalam masyarakat Aceh, orang tua berkewajiban untuk mengawinkan (termasuk mengadakan acara perkawinan).

Dalam hal, tidak jarang biaya untuk acara perkawinan anaknya diambil dari mas kawin yang telah diterima, yang seharusnya menjadi hak anaknya. Untuk ini, sebagai ganti maskawin yang telah diambil tersebut, kepada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang bermanfaat dalam wujud Hareuta Peunulang. Pengertian lain penganti mas kawin adalah sebagai pihak yang menerima mas kawin, maka orang tua dari sianak perempuan memberikan sesuatu kepada kehidupan keluarga anaknya sekalipun mas kawin tidak diambil oleh orang tua. Oleh karena itu dalam Masyarakat Pidie, penetuan mas kawin bagi anak perempuan oleh orang tuanya sangat tergantung atau sangat memperhatikan objek apa saja dan seberapa besar nantinya orang tua dapat memberikan Hareuta Peunulang. Di sini berarti penetuan mas

(28)

kawin didasari pada jenis dan kuantitas dari Hareuta Peunulang yang dapat diberikan. Secara ad at, untuk mas kawin 0 sampai 5 manyam emas (satu manyam sama dengan 3,3 gram) tidak ada keharusan untuk memberikan hareuta peunulang berupa tempat onggal. Untuk mas kawin 5 sampai 10 manyam, orang tua harus dapat memberikan Peunulang berupa tempat tinggal sekalipun tidak satu buah rumah. Untuk mas kawin 10 sampai 15 maka orang tua harus mampu untuk menyediakan satu buah rumah (tidak ada persoalan mengenai kulaitas dan besarnya rumah) sebagai Hareuta Peunulang. Untuk maskawin 16 manyam (satu bungkai) keatas, maka orang tua harus mampu memberikan Hareuta Peunulang berupa satu buah rumah degan perlengkapannya dan benda- benda lain yang bisa menjadi faktor produksi.

2. Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek ekonomi.

Dari aspek ekonomi, pemberian Hareuta Peunulang dimaksudkan untuk memberi bekal bagi anaknya dalam memasuki keluarga baru. Sebagaiana diketahui bahwa setelah seorang anak perempuan kawin untuk beberapa waktu tlOggal dalam kelurga ibu bapaknya dan secara sosial masih dianggap satu keluarga. Setelah melewati waktu itu, anak perempuan yang telah kawin ini diplsahkan untuk membentuk keluarga

(29)

sendiri. Sudah pasti dalam memasuki keluarga baru ini, mereka membutuhkan bekal dan tempat tinggal. Dalam rangka memenuhui inilah maka oleh orang tuanya diberikan atau disediakan persiapan berupa harta-harta tertentu, baik rumah, tanah atau lainya, yang dikenal dengan Hareuta Peunulang. Tujuan lain Pemberian Hareuta Peunulang dari aspek sosial ekonomi adalah untuk modal atau pegangan bagi seorang anak perempuan jika dalam kehidupan berkelurga mendapat musibah ditinggalkan suami, baik ditinggal meningal ataupun ditinggal coral. Berkaitan dengan yang terakhir ini, terutama pemberian peunulang berupa rumah tempat tinggal. like seorang isteri ditinggal cerai oleh suaminya, maka ia tidak akan terusir dari rumah dan tidak akan terlantar. Seorang isteri yang men rima Hareuta Peunulang berupa rumah tidak akan terusir dan rumah, tidak hanya dari rumah yang diterimanya itu, tetapi juga dari rumah lain di mana ia bertempat tinggal bersama suami, kalau misalnya ia dibawa oleh suami ketempat lain. Hal inilah yang paling diperhatikan dan dijaga oleh para orang tua di Kabupaten Pidie. Akan merupakan aib besar kalau seorang perempuan harus keluar dari rumah dalam hat terjadinya perceraian atau dinggal meninggal oleh suaminya. Dalam hat

(30)

'.".

ini, sebenarnya dalam masyarakat Pidie, rumah menjadi hak dari anak-anak perempuan (mengenai hal ini lihat lebih lanjut pada sub bab tentang Persepsi anak laki-Iaki mengenai Hareuta Peunulang).

3. Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek budaya Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek budaya, pertama berkaitan dengan hubungan darah. Sudah menjadi hal yang lazim dalam masyarakat Pidie bahwa secara emosional anak perempuan lebih dekat dengan orang tuanya dibandingkan dengan anak laki-Iaki. Selain itu, biasanya anak laki-Iaki lebih cendrung mencari natkah jauh dari rumah, sedangkan anak perempuan tinggal dan bekerja tidak jauh dari rumah. Anak perempuan menjadi pengurus rumah.

Dalam rangka menjaga kondisi ini, maka diusahakan agar anak perempuan tidak tinggal jauh dan keluarga ayah/ibu.

Untuk ini maka kepada anak perempuan yang telah lkawin diberikan rumah sebagai objek dari Hareuta Peunulang.

Berkaita dengan ini dalam masyarakat dikenal ungkapan

"Ureung inong mate di tempat ureung agam mate

beranggapat': artinya orang perempuan meninggal di rumah, orang laki-Iaki meninggal boleh dimana saja. Maksud dari ungkapan ini adalah orang perempuan hendaknya kalau

2.

(31)

meningal tidak jauh dari rumah atau lingkungan keluarga dan orang laki-Iaki tidak ada masalah dan wajar saja kalau meninggal dimana saja, jauh dari lingkungan keluarga. Untuk ini maka orang tua merasa berkewajiban untuk menyediakan

rumah bagi anak perempuan.

Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek budaya yang kedua adalah berkaitan dengan hubungan perkawinan. Dalam hal ini tujuan pengadaan Peunulang adalah untuk memberikan kedudukan tertentu bagi isteri dalam keluarga.

Dalam suatu keluarga atau rumah tangga di masyarakat Pidie, isteri adalah sosok yang menjadi pengatur kehidupan rumah tangga. Dalam persoalan intern rumah tangga isteri adalah menegernya. Isteri sebagai orang yang punya rumah, yang punya wewenang mengatur persoalan intern kelurga sehari-

hari. Sehinggga, dalam masyarakat Pidie dan masyarakat Aceh lainnya isteri disebut sebgai "po rumoff' ( pemilik rumah). Dalam memposisi dan memperkuat posisi inilah maka kepada anak perempuan yang sudah menjadi isteri seseorang diberikan harta peunulang berupa rumah oleh orang tuanya. Dengan berkedudukan sebagai po rumoh maka istri

"berkuasa" mengatur persoalan intern rumah tangga, sekalipun demikian posisi suami tetap, tidak hilang, sebagai

17

(32)

- - - - - - -

. .

kepala keluarga. Hanya hak mengatur dan menata rumah tangga ada pad a isteri. Kedudukan istri sebagai po rumoh ini, tidak hanya terbatas dalam rumah yang dia terima sebagai objek Peunulang saja, tetapi terus melekat pada istri kemanapun ia dibawa dan dimanapun ia ditempatkan oleh suaminya. Seandainya isten dibawa ke daeral1 lain dan disediakan rumah lain oleh suaminya, posisi isteri sebagai po rumoh dengan wewenang seperti terse but di atas tetap melekat padanya.

4. Tujuan pemberian Hareuta Peunulang dari aspek agama.

Dari aspek agama, tujuan pemnberian Hareuta Peunulang adalah untuk memperkuat hukum/syariat. Maksudnya adalah untuk mencegah anak perempuan dalam hal ini isteri yang ditingal suami melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam memenuhl kebutuhan hidupnya. Bagi orang-orang yang berada dalam kondisi tel'jepit atau kondisi sulit, sepertl sulit memperoleh kebutuhan pangan atau sandang lebih terbuka kemungkinan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama guna memenuhi kebutuhan tersebut.

Bagi masyarakat Aceh, dalam hal ini masyarakat Pidie, yang dikenal sang at Islami sang at menentang hal-hal begitu,

os

(33)

apalagi kalau hal ItU dilakukan oleh kaum perempuan yang ditinggal suami. Syariat Islam sudah mengatur secara tegas mengenai hal iOl dan masyarakat Aceh sangat berpegang pada hukum/syariat. Masyarakat Aceh sejak dari kedl sudah dibekali ilmu tentang syariat untuk mencegah dilakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan ajaran agama. Untuk memperkuat pelaksanaan syariat ini, maka salah satu usaha lain yang bisa dilakukan adalah membekali seorang anak dalam hal ini anak perempuan dengan bekal hidup untuk mengantisipasi kemungkinan itu kalau-kalau nantinya ditinggal suami dan tidak ada peningalan apa-apa.

Bekal hidup inilah yang diberikan melalui pemberian Hareuta Peunulang. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan pemberian Hareuta Peunulang dalam hal ini adalah untuk meperkuat hukum/syariat.

C. Persepsi Anak Laki-Laki men genal Hareuta Penulang

Persepsi anak laki-Iaki mengenai hareuta Peunulang dimaksudkan di sini adalah pandangan para anak-Iaki yang dalam keluarganya pernah diadakan pemberian harta kepada saudaranya yang perempuan ketika orang tuanya masih hidup melalui lembaga Hareuta Peunulang.

(34)

· .

Pemberian harta peunulang kepada anak perempuan yang sudah kawin akan berakibat mengurangl sebagian dari harta dalam suatu keluarga, yang berarti akan mengurangi jumlah harta pusaka jika orang tua meninggal dunia. Padahal, dalam masyarakat Pidie tidak dikenal adanya suatu lembaga, yang mengikat secara adat, yang menjadi dasar bagi anak la kHaki atau anak perempuan yang belum kawin untuk memperoleh sebagian harta. Ini artlnya, anak perempuan jika sudah kawin bisa memperoleh harta dari orang tuanya, sedangkan anak laki-Iaki tidak ada kesempatan untuk itu. Namun demikian, anak laki-Iaki tetap bepersepsi positif terhadap Hareuta Peunulang.

Persepsi anak laki-Iakai yang dalam keluarganya pernah diadakah Hareuta Peunulang pada dasarnya sama, yaitu mereka tidak berkeberatan diberikan Hareuta Peunulang kepada saudaranya yang perempuan. Kalau Hareuta Peunulang itu berupa rumah dan tanahnya, para respond en anak la kHaki semua berpendapat tidak keberatan. Bagi mereka, pemberian rumah dan tanahnya kepada anak perempuan sudah merupakan adat yang mesti dilaksanakan. Bagi mereka rumah dan tanahnya dipahami sebagai sesuatu yang sudah menjadi hak dari anak perempuan. Dalam kaitan dengan ini menarik dilihat persepsi anak lakHaki dari suatu keluarga (keluarrga MY) di desa Uleetutue Kecamatan Peukan Baro.

Keluarga ini mempunyai empat anak perempuan dan tiga anak lakHaki.

Harta yang mereka punyai hanya rumah tempat tinggal beserta tanah

30

(35)

'

. .

tempat letak rumah tersebut. Rumah dan tanahnya ini sudah dipecah dan sebagaian sudah diberikan kepada anak perempuan yang tertua yang sudah kawin melalui lembaga Peunulang. Kalau sisa dari harta, rumah dan tanahnya ini, dijadikan Hareuta Peunulang bagi anak perempuannya yang lain, maka akan berarti anak lakHaki tidak tinggal apa-apa. Namun demikian, anak laki dalam keluarga ini berpersepsi sangat positf terhadap Hareuta Peunulang. Mereka merasa tidak berkeberatan kalau sisa bagian rumah dan tanahnya dijadikan hareuta peunulang bagi saudara perempuan lainnya yang belum kawin.

Persepsi anak la kHaki terhadap Hareuta Peunulang yang objeknya selain rumah, tetap positif tetapi tidak mutlak, dalam arti mereka tidak berkeberatan asalkan pengadaan Hareuta Peunulang itu tetap memperhatikan unsur keadilan. Unsur keadilan dimaksudkan di sini adalah dalam memberikan hareuta peunulang kepada anak perempuan harus memperhatikan jumlah atau besarnya harta secara keseluruhan.

Pemberian hareuta peunulang tidak mengurangi dalam jumlah besar atau menghilangkan sama sekali hak-hak anak lakHaki.

Untuk memenuhi unsur keadilan tersebut dl atas maka dalam praktek pemberian Hareuta Peunulang selalu dilakukan pengontrolan oleh kepala desa dan/atau tetua kampung lainya agar pemberian Hareuta Peunulang kepada seorang anak dilakukan secara proporsional antara jumlah harta yang ada dengan Jumlah anak. Kepala desa dan/atau tetua

., I

(36)

kampng lainnya selalu menjaga agar pemberian Hareuta Peunulang tidak melebihi sepertiga dari harta yang ada.

Dari semua praktek pemberian Hareuta Peunulang dalam keluarga respond en, tidak pernah satupun ada kasus yang menunjukan anak laki- laki berkeberatan. Semua anak laki-Iaki menerima dan berpersepsi positif.

Berbeda sedikit dengan para responden, dalam berbagai kasus pembagian harta warisan di Pengadilan Agama Sigli, sering pembagian harta warisan yang dituntut oleh para ahli waris dikaitkan dengan harta yang telah diberikan kepada anak perempuan melalui Peunulang. Akan tetapi, dl sinl bukan pemberian peunulangnya yang digugat. Sekalipun harta yang telah diberikan kepada anak perempuan melalui Peunulang mereka minta untuk dipertimbangkan dalam pembagian warisan, namun dalam berbagai putusan Pengadilan Agama Sigli tidak pernah te~adi objek dari Hareuta Peunulang

ditarik kemball untuk kemudian dijadikan objek warisan dan dibagikan kepada ahli waris yang lain. Paling maksimal yang diputuskan adalah pembagian harta warisan kepada anak perempuan yang telah memperoleh Hareuta Peunulang dengan memperhatikan besaran harta peunulang yang telah diterima tersebut (data ini merupakan hasil wawancara dengan Kepala Pengadilan Agama Sigli. Data konkritnya yang berupa data sekunder dari berita acara peradilan sebagai pelengkap data hasil wawancara tidak bisa diakses karena pada saat penelitian

-, '-

(37)

dilakukan Pengadilan Agama Sigli tidak terbuka karena kondisi keamanan yang tidak kondusif).

D. Proses Pemberian Hareuta Peunulang

Dalam persoalan Hareuta Peunulang sebenarnya disamping terkandung aspek budaya, juga terkandung aspek hukumnya. Pengadaan Hareuta Peunulang lebih berdimesi sosial, ekonomi dan budaya, tetapi dilihat dari adanya peralihan benda di dalamnya maka Hareuta Peunulang juga bedimensi hukum. Adanya dimensi hukum dalam persoalan Hareuta Peunulang berakibat dituntut adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses pemberiannya.

Dalam semua kasus Hareuta Peunulang yang menjadi objek penelltan pada umumnya ditemui kesamaan dalam proses pembenannya.

Dikatakan pada umunya di sin! karena ditemul adanya satu kasus dimana proses pemberiannya sedikit berbeda dalam arti tidak mengikuti secara penuh kebiasaan-kebiasaan mengenai proses pemeberiannya. Adapun proses pemberian Hareuta Peunulang dapat diuraikan sebagai berikut.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa setelah kawin seorang anak perempuan dan suaminya untuk beberpa waktu tinggal bersama keluarga orang tuanya. Ketika sampai saatnya untuk dipisahkan guna hid up mandiri, maka orang tua membicarakan hal terse but dengan anaknya dan anggota keluarga lainya dan membuat persiapan untuk itu.

(38)

Persia pan diperlukan karena pemengkleh (pemisahan) dilakukan dalam

satu upacara sederhana dengan membuat Kanduri (jamuan makan) bagi para undangan. Dalam upacara pemisahan inilah Hareuta Peunulang dlbrlkan kepada anak perempuan yang telah kawin.

Dalam acara jamuan makan ini diundang para tetua kampung, yakni Keuchik (kepala kampung), Imam Meunasah, dan Tuha Peut, tokoh- tokoh masyarakat dan kaum tetangga dan kerabat dekat dari keluarga.

Adapun diundangnya para undangan ini adalah untuk menjadi saksi dalam pembertan Hareuta Peunulang. Khusus bagi tetua kampung di samping untuk menjadi saksl sekallgus akan berfungsi sebagi advisor dalam pemberian Hareuta

Peunulang dan dalam dua kasus yang diteliti juga untuk menjadi penyambung lidah (juru bicara) orang tua untuk menyampaikan kehendak orang tua kepada anak perempuannya dan para undangan lainnya.

Setelah jamuan makan selesai dilaksanakan maka orang tua dari anak yang akan dipisahkan menyampaikan maksudnya kepada kepada tetua kampung yaitu kepada kepala kampung dan Imam Menasah. Hal yang dlsampaikan adalah pertama, anaknya (dengan menyebut nama anak tersebut) akan dipemengkleh (dipisahkan dari keluarga orang tuanya) untuk hidup mandiri dengan suaminya dan secara sosial membuat kelurga baru. Kedua, bersamaan dengan pemisahan ini, kepada anaknya tersebut diberikan bekal berupa harta (dengan menyebut satu persatu

34

(39)

harta yang akan dibcrikan dengan rineian jumlah dan rineian lainnya).

Dalam dua kasus dari lima kasus yang diteliti, kemudian meminta kepala desa dan imam menasah untuk mewaklinya guna menyampaikan kepada anak perempuan dan para undangan lainnya.

Setelah mendengar maksud dari orang tua si anak ini, langkah atau tindakan yang pertama dilakukan oleh kepala desa dan tetua kampung lainya adalah memberi advis mengenai besaran Hareuta Peunulang yang zkan diberikan dibandlngkan dengan keseluruhan harta yang ada. Advis dirnaksud adalah mengingatkan orang tua si anak untuk memperhatikan keadilan. Untuk rnemberikan secara proforsional antara jumlah harta dengan jurnlah anak yang ada terutama menjaga agar jangan sampai pemberian Hareuta Peunulang melebihi sepertiga dari harta yang ada. Ini dlmaksudkan untuk meneegah, misalnya, anak yang disayang akan mendapat banyak dan anak yang kurang disayang akan mendapat sedikit.

Setelah itu dilakukan maka kepala desa menyampaikan kehendak orang tua kepada anak perempuan yang akan menerima hak dan sekaligus disaksikan oleh senua khalayak yang hadir. Dalam penyampaian ini suami dari anak perrempuan tadi juga diminta hadir untuk mendengar dan mengetahuinya. Kchadiran suami di sini khusus untuk mendengar dan mengetahui saja tanpa hak untuk mengusulkan atau lainnya.

35

(40)

Kendali upacara dlpegang oleh kepala desa atau tetua kampung lainya, dan pada kesempatan itu orang tua dari anak perempuan tadi menyampaikan kehendaknya bahhwa sejak saat ini anak perempuannya yang bernama ... (dengan menyebut nama anaknya) secara "resmi"

dlpisahkan (dipemengkleh) kehidupan berkeluarga dari keluarga orang tuanya untuk hidup mandiri dengan suaminya dan secara sosial membentuk keluarga baru. Dengan dilakukan pemisahan ini, maka sejak itu secara sosial tanggung jawab atas keluarga baru, baik nafkah maupun lainya, beralih kCDada suaminya. (Tanggung jawab secara sosial disebutkan di SIn! karcna secara hukum dan agama tanggung jawab suami sebenarnya sudah lahrr sejak pernikahan).

Setelah diumumkan tentang pemisahan keluarga tersebut di atas, bersamaan dalam upacara itu juga dasampaikan bahwa bersamaan dengan pemisahan ini kepada anak perempuan terse but diberikan bekal hidup oleh orang tuanya berupa benda-benda yang bermanfaat (dengan meyebut satu persatu benda dengan rincian jenis dan kuantitasnya). Bekal hidup yang berupa benda-benda yang bermanfaat inilah yang dikenal dengan Hareuta Peunulang.

Adapun lafazd pemengkleh dan pemberian Hareuta Peunulang yang disampaikan oleh orang tua pada intinya adalah sebagai berikut.

Bak malam nyou dengen nekaleun dan nedengeu oleh drou-droeu ban bandum yang na di sinou, Ion tuan sebagoi urengsyik daM aneuk kamoe yang nan jih .... (dengan menyebutkan nama anak perempuannya) dengan nyou mepemengkleh aneuk kamounya

30

(41)

dari keluarga kamou untuk hudep berkeluarga dengan linto jih.

Untuk bekal hudep awaknya, maka kamou selaku ureung syik pada kesempatan nyou dengen nyou mebn bacut benda yang nan manfaat kepada aneuk inong kamou nyan berupa ... (dengan menyebut jenis dan kuantitas serta rincian lainnya dari benda yang dibcrikan secara lengkap) (Iafazd pemberian harta peunulang yang dikutip dan hasil wawancara dengan salah satu informan tokoh masyarakat).

Arti dari lafazd yang disampaikan di atas kira-kira adalah : pada mala m ini dengan disaksikan oleh para hadirin semua, saya selaku orang tua dari anak kami yang bemama (dengan menyebutkan nama anak perempuannya) dengan ini meyatakan memisahkan kehiupan berkelurga anak perempuan kami ini dari kelurga kami untuk hidup secara mandiri

memberikan sedlklt benda yang bermanfaat sebagai bekal hidup mereka kepada anak perempuan kami berupa ... (dengan meyebut jenis dan kuantitas seta rinclan lamnya dari benda yang diberikan).

Setelah orang tua si 'anak perempuan melafazdkan pemberian Hareuta Peunulang terse but di atas maka keoal~ de~ rjan tP.tJJ;' Icnmo'mq

kami dengar). Sambutan kepala desa ini penting sebagai pcrnyataan sudah disakslkan dan mi secara hukum adat sangat diperlukan.

Setelah lafazd dlucapkan segera diikuti peyerahan nyata benda- benda yang dlbe"kan oleh orang tua kepada anaknya. Penyerahan nyata ini dilakukan secara slmbolis. Kalau rumah yang diberikan maka yang dlserahkan adalah kuncmya, kalau temak yang diberikan maka yang

J7

(42)

diserahkan adalah talinya dan seterusnya semua secara simbolis, kecuali benda-benda yang berrgerak yang dapat diserahkan secara lansung maka akan diserahkan langsung tanpa simbolis.

Tlndakan melafazkan pemberian harta penulang yang dilakukan oleh orang tua diikutl oleh peryataan telah disaksikan oleh kepala desa dan kemudian dilakukan peyerahan nyata secara hukum adat telah memenuhi syarat tunai dan terang dalam peralihan hak. Olp.h karena itu sejak sa at itu maka benda-benda objek Hareuta Peunulang telah beralih dari orang tua kepada anak perempuannya. Semua harta yang menjadi objek Hareuta Peunulang menjadi hak milik anak perempuan tersebut.

Namun demikian, secara hukum adat peralihan hak dan pemilikannya belum secara penuh.

Pasca pemberian Hareuta Peunulang secara hukum semua objeknya menjadi milik anak sekallpun belum secara penuh. Belum secara penuh maksud masih mcmungkinkan dicabut kembali oleh orang tuanya (lIhat uraian menggenai hal ini pada sub bab berikut). Dalam kelurga baru yang telah dipemengkleh benda objek Peunulang merupakan hak isteri tidak bisa dimiliki olch sisuami, bahkan dalam hal isterinya meningal dunia dan pemberi (orang tuanya) masih ada, suami tidak bisa mewarlsi harta terse but. . Suami hanya mempunyai hak terbatas yaitu hak untuk menikmati, mengolah/memproduksi dan hak untuk bertindak terbatas.

)8

(43)

Terhadap objek penulang yang berupa rumah maka suami hanya berhak untuk menempati tidak untuk memiliki atau melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Hak suami tetap terbatas atas rumah t~rsebut sekali pun misalnya rumah itu direnovasi dengan biaya berapapun oleh suami.

Hak suami juga terbatas terhadap objek Hareuta Peunulang yang berupa faktor produksi (sawah, ternak,toko, dll.). Suami dibolehkan mengerjakan/mengolah/memproduksi dan menikmati hasilnya bersama isten tetapi tidak bisa memiliki, melakukan perbuatan hukum terhadapnya atau melakukan perbuatan hukum yang berkaitannya. Misalnya, suami tidak berhak menjual, menyewakan atau menentukan orang-orang yang akan menggarap atau mengusahakan harta tersebut. Hasil dan objek peunulang yang berupa faktor pruduksi bisa dimiliki secara bersama antara suami isteri (gono gini).

Terhadap objek Hareuta Peunulang yang berupa simpanan, perhiasan emas misalnya, hak suami Juga terbatas. Suami tidak bisa memilikinya.

E. Penarikan kembali Hareuta Peunulang

6tU-~ ~ ~:\l"'v.:.1"1 I"'::'(~f/;;, MtI'.m ~ ~n}enG perratihan hak.

lainya yang ada dalam hukum. Dengan pemberian hareuta peunulang memang objeknya beralih menjadi milik anak perempuan, namun belum

J9

(44)

beralih sepenuhnya, kecuali pemberinya telah meningal dunia (T. Djuned, 1991:4). Artinya masih terbuka kemugkinan untuk ditarik ~embali oleh pemberinya/orang tuanya asalkan alasan-alasan untuk itu ada.

Dari semua kasus Hareuta Peunulang yang menjadi objek penelitian memang tidak satupun ditemui adanya Hareta Peunulang yang ditarik kembali oleh orang tuanya. Namun demikian, dari data sekunder dan data primer yang bersumber dan para informan dapat diketahui bahwa Hareuta Peunulang yang telah diberikan dapat ditarik kembali oleh orang tuanya dengan alasan-alasan sebagal berikut.

1. Tujuan pemberian hareuta peunulang tidak dicapai yang disebabkan oleh : tidak dihiraukan/tidak dimanfaatkan atau diterlantarkan, meninggalnya penerima, dialihkan kepada orang lain seperti digadaikan.

2. Penerima hareuta peunulang durhaka kepada orang tua. 3. Penerima murtad atau keluar dari agama Islam.

40

(45)

A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP

Hareuta Peunulang sebagai suatu lembaga dalam hukum adat Aceh masih eksis dalam masyarakat di Kabupaten Piide. Masih ditemui keluarga yang melakukan pemberian harta kepada anak perempuannya melalalui Peunulang. Masyarakat memahami Hareuta Peunulang sebagai suatu pemberian bekal berupa benda-benda yang bermanfaat kepada anak perempuan yang telah kawin pada saat dilakukan pemengkleh (pemisahan dari keluarga). Hareuta Peunulang di pahami berbeda dengan hibah baik dilihat dari dasar hukumnya, objek dan subJek penerima sekalipun sebenarnya secara hukum keduanya hampir tidak berbeda.

Pada hakikatnya (secara falsafah) Hareuta Peunulang berfungi untuk memperkuat kedudukan seorang isteri dalam keluarga dan untuk mendukung kondisi sosial keagamaan masyarakat Aceh. Hal terlihat dari tujuan tujuan pemberian Hareuta Peunulang. Ada beberapa tujuan dari pemberian Hareuta Peunulang, yang dapat dilihat dari beberapa aspek. Oari aspek hukum tujuanya adalah untuk mengganti mas kawin kepada anak perempuan yang telah diambil oleh orang tua. Oari aspek ekonomi tujuan pemberian Hareuta Peunulang adalah untuk memberi

41

(46)

bekal hidup kepada anak yang akan membentuk keluarga baru dan sebagai bekal untuk mengantisipasi kalau-kalau anak mendapat musibah ditinggal oleh suami. Dari aspek budaya tujuannya adalah untuk menjaga agar anak perempuan tetap bertempat tinggal tidak Jauh atau tetap tinggal dalam lungkungan keluarga dan agar isteri bisa berkedudukan sebagai po rumoh. Ini khusus dalam pemberian Hareuta peunulang berupa rumah dan tanahnya. Dari aspek agama, tujuan pemebrian Harta Peunulang adalah untuk memperkuat syariat.

Sekalipun Hareuta Peunulang khusus diberikan kepada anak perempuan yang telah kawin, namun anak lakHaki tetap berpersepsi positif dalam arti tidak berkeberatan dan dapat menerima dengan baik.

PembNian Harcuta Pcunulang dllakukan pada saat rJladakall

upacara pemengkleh dengan dihadiri oleh kepala desa imam meunasah, tetua kampung, dan tokoh-tokoh masyarakat serta kaum tetangga.

Hareuta Peunulang yang telah diberikan kepada anak perempuan, sekalipun telah beralih haknya, dimungkinkan untuk ditarik kembali oleh orang tua kalau ditemui alasan-alasan untuk itu. Alasan-alasan dimaksud adalah tidak tcrcapainya tujuan pcmhcrian baik kilrcna diterlantarkan atau tid~k tJlrnanf~~tk;Jn, rn,:nlnaa,"ny" fIlm':rII"" nlnll

dialihkan kepada pihak lain. Alasan /alnya adalah ~Jl'au tl!r),,,fI .""k yang menenm~ h.;r';t)!;; rY;I)(jIJI;;nr; durh;;"", }-~(i",J" ('("(I~J

tJ}"'''I''

42

(47)

---~~~---

B. Saran

Mengingat begitu baiknya tujuan pemberian Hareuta Peunulang, tetapi ada daerah-daerah yang masyarakatnya tidak lagi melaksanakannya, maka sebaiknya lembaga Hareuta Peunulang dibudayakan kembali secara lebih baik agar lembaga ini tetap eksis, terutama dalam rangka mengisi keitimewaan Aceh pada masa mendatang.

(48)

DAFT AR PUST AKA

Djuned, Mohd.T. 1991, Peunulang Sebagai salah satu Bentuk Pewarisan di Aceh, Artikel, Dalam Buletin Kanun, Nomor 2/Desember 1991.

Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung

Hurgronje, Snouck, 1985, Aceh dimata Kolonialis, Yayasan Sako Guru, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1971, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta

Uadeen Arys Mansyur, 1979, Pola Pewarisan dalam Masyarakat Aceh, Pusat Latihan Penelitian Ilmu-I1mu Sosial, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Moehammad Hoesin, 1970, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh

Roestini Soesilawati, 1993, Boinah Menurut Hukum Adat Aceh, Tesis Program Pasca Sarjana UGM KPK USU, Medan.

Yusuf Hasan, M., 1999, Kecendrungan Pembagian Warisan Dalam Masyarakat Aceh Besar, Hasil Penelltian, Dalam Jurnal Ilmu Hukum Kanun Nomor 24/Desember 1999.

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

tontang pcndapatan ini berhubungan dengan sctinp kal i pat a ni memperoleh hasil dari tana - man yang telah dipanen baik tanaman tebu maupun tanarnan sclain ta-

eanaan terhadap pemberian Izin HPHH yaitu HPa~ hanya - diberikan kepada Badan Usaha yang berbentuk Koperasi - Prim- er atau KUD yang telah membuka usahanya dalam

'faI&#34;.ggung jawab yang dipikulkan kiyai , baik yang ada k:&#34;!.l tan dengan pencl.idikan/pengajaran , maupun yang berhubungan dengan kehidupan pesantren , aert:rti

Karcna kondisl keuangan i...c1uarga )'ang ucbk Incncukupi ter'Cbul. mendorong sebahagl3n besar pCKena anah. Ilu mela..:ukan pekcrjaannya Tidak ada pcmaksaan dan o

Telaah evolusi doktrin dilakukan dengan hanya memperhatikan substansi doktrin yang berkaitan dengan strategi militer yang diterapkan dalam situasi perang dan dipusatkan untuk

Pusat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri terdiri atas Bagian Tata Usaha yang terdiri atas paling banyak 3 (tiga) Subbagian, dan Kelompok

f. pekerjaan yang memerlukan penyelesaian secara cepat dalam rangka pengembalian kekayaan negara yang penanganannya dilakukan secara khusus berdasarkan peraturan

(2) Dalam hal barang ekspor dilakukan pemeriksaan fisik dan kedapatan jumlah barang ekspor yang diberitahukan dalam PEB berbeda dengan jumlah barang ekspor yang diperiksa