• No results found

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI SEBAGAI IDEOLOGI (Kajian Kritis Teoritis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI SEBAGAI IDEOLOGI (Kajian Kritis Teoritis)"

Copied!
7
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI SEBAGAI IDEOLOGI (Kajian Kritis Teoritis) I Wayan Winaja

Abstract : Science and technology have been the unvaluable achievement of human creation and historically created, “historical shock”. Nevertheles the advance of science and technology brings about new dilemma, which diminize past time reality, inclusively sense of togetherness, beauty, spritulity, morality as well as inclusiveness. What is hurting is that the emergence of sense of arrogance which in turns creta new mitys in the rwenty first century namely worl war. The most recent phenomenon is that the decreased spirit of togetherness, as reflected in one pharase, difference means enemy, thus we lost sense of deepness and is greedy to destroy the nature.

Keywords : Science, Technology, Political Legitimation, Ideology

1. Pendahuluan

Perkembangan ilmu dan teknologi didominasi oleh dunia Barat. Sejak abad ke 18 perkembangan itu begitu pesat ditandai dengan kehadiran revolusi industri, di bawah naungan jiwa dan semangat Zaman Renaissance dan Aufklarung. Bisa dipahami bahwa kebudayaan Barat pun akhirnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.

Zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masing- masing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarungh, yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini (Wibisono dalam Rusli (ed), 1992: 104).

Menurut Koentjaraningrat (1994:2) unsur-unsur kebudayaan yang ada di dunia ini adalah;

sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh

(2)

unsur itu yang akan menjadi telaahan adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan sistem teknologi.

Ilmu dan teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat dilihat, pertama sebagai kekuatan produksi, kedua sebagai ideologi yang didalam termasuk politik, ketiga sebagai kerangka

kebudayaan modern, dan keempat mencari relevansi bagi pembangunan Indonesia (Wartaya, 1987:306). Pada tulisan ini yang akan dibahas adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ideologi.

2. IPTEK Sebagai Legitimasi Politik

Menurut Habermas dalam Widyarsono (1991:91) kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini perlu dilihat dalam kaitannya dengan rasional-bertujuan (Zweckrationales Handeln) yang menjadi berlaku umum. Hal ini mengakibatkan legitimasi-legitimasi lama dibongkar, “hilangnya daya pesona” (disenchanment) dunia, serta munculnya sekuralisasi karena ilmu itu memang sekuler. Hal ini merupakan bagian negatif perkembangan “rasionalitas” tindakan sosial. Dikatakan bahwa rasionalisasi sebagai emansipasi, individualisasi, perluasan komunikasi bebas terhadap dominasi.

Ini terjadi tentu saja dalam kerangka institusional/interaksi simbolik. Sedang rasionalisasi yang didapat dari sistem rasional-bertujuan adalah pertumbuhan kekuatan, perluasan kontrol teknik.

(Marzoeki, 2000:43; Piliang, 1998:29).

Dalam sistem politik, Marcuse dalam Widyarsono (1991:91) menyatakan bahwa prinsip umum dari ilmu adalah apriori yang distrukturkan sedemikian rupa sehingga membentuk kerangka operasionalisme instrumen. Dikatakan bahwa apriori teknologi adalah apriori politik. Prinsip- prinsip teknologi digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut Habermas sistem politik seperti ini terjadi di negara kapitalis. Ini terlihat dalam teknologi baru dan strategi untuk mencapainya. Dari sini muncul inovasi-inovasi yang dilembagakan, seperti badan-badan dunia yang berdalih memberikan bantuan, namun dibalik itu terjadi penetrasi politik yang tidak disadari.

Selanjutnya inovasi-inovasi ini menjadi kekuatan produksi, karena “bantuan“ yang diberikan mengharuskan untuk mengambil komoditi dari negara asal pemberi bantuan. Kekuatan ini memberikan legitimasi sistem politik (lihat kasus-kasus yang berdalih bantuan dari lembaga – lembaga “donor”internasional kepada lembaga negara Indonesia). Sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu. Dan yang patut dicatat pula bahwa ideologi diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic conciousness). Kalau ilmu dan teknologi telah menjadi sikap hidupnya, maka kerangka berfikirnya menjadi didominasi ilmu dan teknologi. Dengan demikian manusia itu telah diarahkan dan diatur

(3)

oleh ilmu dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini sangatlah berlawanan dengan “janji pencerahan” yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan total. Seperti saat ini alam mulai dipermainkan, mendung ditembak laser, ayam dipaksa untuk bisa dikonsumsi pada usia enam (6) minggu. Selain itu yang paling spektakuler adalah dua Perang Dunia sebagai hasil yang paling bertanggungjawab dari saintisme. Rasio manusia ternyata telah menunjukkan dirinya sebagai

“mitos baru”. Mitos dimana IPTEK telah dijadikan alat kekuasaan politik, dan sebuah kemestian, berbeda berarti musuh. ( Anonim, 2003:22 ; Hardiman, 1994:1).

3. Iptek Sebagai Ideologi

Teknologi dan ilmu sendiri menjadi ideologi. Demikian tesis Herbert Marcuse (Wartaya, 1987:308). Menurut Marcuse teknologi dan ilmu telah menjadi cara berfikir yang positif. Ini diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic conciousness). `Kesadaran teknokratik telah mendominasi kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dan teknologi telah menjadi ideologi, karena telah melegitimasi masyarakat dan keadaannya.

Pendapat Marcuse menjadi titik tolak pembahasan Habermas sebagai tanggapan. Hadirnya teknologi dan perkembangan ilmu yang cepat dalam masyarakat telah menimbulkan perubahan.

Perubahan yang sangat mendasar terjadi dalam masyarakat adalah masalah kepribadian ( Arifin dalam Karim (ed), 1992:115). Perkembangan faktor teknik dewasa ini sudah besar untuk menggerakkan proses yang melumpuhkan faktor manusia dan memunculkan sistem “manusia mesin” (Josef, dalam Mangunwijaya (ed), 1983:74). Sedangkan unsur kepribadian terlalu lemah untuk menghadapi penetrasi itu, yang digambarkan dengan melemahnya peran manusia dalam keluarga dan pekerjaan. Sebagai ilustrasi, generasi muda sekarang adalah generasi muda yang dininabobokan oleh mesin (play station, video, game-game lainnya, makanan siap saji, dan lain sebagainya) sebagai manifestasi dari Iptek. Oleh karena itu, Russel dalam Arifin (1992: 116) menyatakan bahwa tanpa memperhatikan aspek kehidupan manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan akan menghadirkan “tirani”. Tirani-tirani telah mendorong aspek gerak ilmu dan teknologi ke arah penyimpangan yang cukup mendasar, karena pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi dibangun atas kemampuannya yang didasarkan oleh kontemplasi (perenungan), melainkan melalui jalur manipulasi (simulakra) (lihat kasus Super Toy, motor dan mobil matic).

Karena itu, sebagai sebuah kekuatan teknologi telah mengembangkan praktek palsu yang tidak lagi berorientasi pada pragmatisme, melainkan karena dorongan cinta kekuasaan. Dalam hal yang demikian, manusia modern sudah tidak lagi mengamati keterbatasan ilmu dan teknologi,

(4)

sehingga tanpa disadari perilaku dalam adopsi, penciptaan, dan pengembangannya telah merusak hakekat kehidupan, baik yang bersifat alami maupun yang bersifat sosial. Ketimpangan- ketimpangan ekonomi, politik, keamanan, sosial, serta moral telah menghadapkan manusia dengan masa depan yang tidak jelas. Tekanan-tekanan moral telah menyudutkan manusia dalam split personality dan frustasi, kegelisahan sosial, serta lahirnya krisis-krisis dalam pelbagai kehidupan manusia. Dan menurut Habermas dalam Widyarsono (1991:103) sejak akhir abad ke-19 semakin kuat arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menandai kapitalisme lanjut, yakni pengilmuan teknologi dan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan teknologi dan kemajuan sains modern.

Model-model interaksi sosial dan pemahaman diri masyarakat sendiri diganti dengan model-model pengetahuan ilmiah. Dengan kata lain, pemahaman diri manusia dibawah kategori- kategori tindakan rasional-bertujuan dan tingkah laku adaptif. Kesadaran jenis baru yang muncul dalam masyarakat kapitalis lanjut ini disebut oleh Habermas sebagai kesadaran teknokratis.

Menghadapi masalah ini, kita mempunyai pemikiran tentang bagaimana ilmu dan teknologi itu mampu mengadaptasi pilar-pilar kehidupan lain, terutama yang mengintrogasikan antara otak dengan hati melalui rasio, moral, seni, dan agama, serta pandangan persaudaraan manusia yang bersifat universal (Suriasumantri dalam Arifin, 1992:116). Habermas melakukan penyelidikan ilmu- ilmu yang mulai diarahkan ke tujuan-tujuan praksis hidup, maka perhatian banyak orang berkisar pada persoalan-persoalan praksis. Ini menjawab pertanyaan ilmu membawa manusia ke mana?

Praxis hidup bagi Habermas merupakan tujuan ilmu-ilmu. Maka peranan ilmu dalam suatu kebudayaan yang telah terbentuk tidak boleh dinilai dari hasilnya di bidang kebenaran ilmiah, tetapi nilai harus diberikan juga pada dampak nyata atas situasi manusia.

Dominasi ilmu dan teknologi harus diletakkan dalam komunikasi aksi. Artinya, ilmu dan teknologi perlu dikembalikan ke arah tujuan-tujuan praksis hidup manusia. Manusia harus mengungkapkan kebebasannya. Ini berhubungan dengan kepentingan etika yaitu kepentingan tanggung jawab dan emansipatoris. Ini mendorong munculnya ilmu-ilmu sosial kritis yang bisa dilakukan dengan self-reflection, karena dalam self-reflection pengetahuan dan kepentingan menjadi satu. Dengan demikian self-reflection ditentukan oleh kepentingan emansipatoris. Dengan ilmu kritis inilah Habermas membebaskan sifat-sifat ilmu yang mendominasi manusia.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ilmu dan teknologi yang telah menjadi ideologi dibebaskan dengan ilmu sosial kritis yang didorong oleh kepentingan tanggung jawab dan emansipasi. Habermas dalam Hardiman (1993:XIV) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan

(5)

teknologi yang melahirkan masyarakat rasionalisme bergaya Barat yang mendasari praktik-praktik totalitarianisme modern mempunyai banyak cacat. Cacat-cacat modernisasi dalam totalitarianisme, hilangnya makna, anomie, penyakit jiwa, alienasi, dan sebagainya. Semua ini adalah akibat dari rasionalisme Barat pada paradigma filsafat kesadaran tersebut. Sehingga pola hidup bergaya

“Barat” dan konsumtifpun akhirnya tidak bisa dibendung.

Cacat-cacat ini hanya bisa diatasi dengan pencerahan lebih lanjut, yakni melanjutkan proyek modernitas dalam wawasan rasio komunikatif. Pernyataan ini bukan sebuah ratapan di kesudahan suatu zaman yang penuh kekecewaan, namun sebaliknya merupakan sebuah harapan dalam sebuah krisis yang dapat mengembalikan zaman pada cita-cita semula yaitu zaman Pencerahan (Capra, 1999: 13-15).

Itu ditempuh untuk mengarahkan perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, ke sebuah cita-cita universal yang melandasi segala praksis sosial yang rasional. Cita- cita ini adalah menuju sebuah masyarakat yang komunikatif. Titik tolak cita-cita ini adalah sejak Horkheimer mempermasalahkan positivisme dalam ilmu-Ilmu sosial, yaitu anggapan bahwa ilmu- ilmu sosial bebas nilai (value-free). Anggapan semacam ini mengental menjadi kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan macam itu hanya bisa diperoleh dengan metode ilmiah. Hal ini kemudian menuai kritik dan dikatakan menyembunyikan dukungan dengan status quo masyarakat di balik kedok objektivitas.

Dalam tulisannya yang berjudul Traditionelle und Kritische Theorie, Horkheimer dengan jeli mengkritik positivisme ini tak kurang sebagai ideologi. Dan dengan teori kritisnya dijelaskannya sebagai teori yang memihak praksis emansipatoris masyarakat (Hardiman, 1993 : xvi-xvii).

Di kemudian hari, Habermas merumuskan dasar epistemologinya dengan mengatakan bahwa segala bentuk ilmu dijuruskan oleh kepentingan kognitif, maka tidak bebas-nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris. Istilah “emansipasi”ini bukan semata- mata sebagai pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperti : perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas, tetapi juga kendala-kendala internal, seperti: gangguan-gangguan psikis, dan “ketidaktahuan”. Seorang mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi ketidaktahuan menjadi lebih tahu. Tetapi kata “tahu” di sini tentu relatif terhadap situasi pengetahuan pada zaman tertentu. Dengan kata lain emansipasi, adalah proses pencerahan atas “ketidaktahuan” akibat dogmatisme.

Pada abad ke-18 emansipasi semacam itu terjadi, karena orang memakai rasionya, bukan iman, dan bukan kepercayaannya. Rasio yang memihak itu menghasilkan emansipasi karena

(6)

terwujud dalam keputusan (decision) untuk emansipasi itu. Di sini, teori dan praksis terkait dalam wujud rasio yang memutuskan untuk mewujudkan kepentingannya, yaitu emansipasi.

Lama-kelamaan ilmu-ilmu positif dan teknologi diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Habermas mengambil kosa-kata Marx bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-18 ini semakin menjadi “kekuatan-kekuatan produktif” di dalam masyarakat. Di dalam kondisi sosial macam ini, menurut Habermas, hubungan teori dan praksis mengalami perubahan. Akibatnya, apa yang dimengerti sebagai “rasio”,

“dogmatisme”, dan “keputusan” juga mengalami perubahan. Kegiatan-kegiatan produktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan, dan administrasi menjadi saling terkait dan saling menopang mengarah pada penaklukan alam, atau apa yang oleh Habermas disebut “kontrol teknis atas alam”. Semua ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan teknik-teknik yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu. Habermas melihat bahwa pada abad ini, lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan, direduksi ke dalam kekuatan kontrol teknis.

4. Simpulan

Ilmu dan teknologi merupakan karya kreatif manusia yang tak ternilai harganya bagi kehidupan manusia, yang secara historis telah mampu menghadirkan “ketercengangan” sejarah.

Pelbagai prestasi dan keberhasilannya untuk mengatasi persoalan manusia secara massal telah banyak menguntungkan manusia, namun akhirnya melahirkan dilema baru. Seperti hilangnya realitas-realitas masa lalu beserta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas.

Bersamaan dengan kemajuan IPTEk maka ekonomi dan kemakmuranpun meningkat, namun melahirkan tanda-tanda lenyapnya kedalaman (deepnes) di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat lebih menyenangi “gaya” ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengenal kulit ketimbang isi. Sehingga tidaklah berlebihan bila saat ini manusia dikatakan berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu krisis yang sangan kompleks dan mutidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan menyangkut, kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan alam, lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik.

Pelbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi memang sepakat untuk menyatakan bahwa, keduanya merupakan piranti kehidupan manusia yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus

(7)

diciptakan keseimbangan-keseimbangan, terutama dengan hadirnya kesadaran manusia tentang kepribadian, moral ataupun etika yang melihat permasalahan sosial secara holistik.

Tuntutan yang demikian memerlukan kontempalsi sosial, sehingga langkah-langkah untuk menentukan masa depan peradaban manusia bukan sebagai suatu jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari perkembangan kebutuhan manusia, namun juga mempertimbangkan kelestarian habitat kehidupan secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi keilmuan memerlukan pandangan- pandnagan yang bersifat spiritual yang akan mampu menerobos kecongkakan manusia dan partikularisasi pikiran itu sendiri.

Daftar Pustaka

Anonim. 2003. Modul Acuan Proses Pembelajaran Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan.

Aifin, MT. “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan” dalam Karim, Rusli dan Ridjal, Fauzie (Ed). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Capra, Fritjof. 1999.Titik Balik Peradaban. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Craib. Ian. 1986. Teori-teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas. Jakarta : Rajawali.

Hardiman, Budi, F. 1994. “Ilmu-ilmu Sosial dan Diskursus Modernisme dan Pasca-Modernisme”.

Makalah dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an No. 1 Vol. V.

Hardiman, Budi, F. 1993. Refleksi Sosial Menuju Masyarakat Komunikatif : Ilmu, Masyarakat, Politik & Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kanisius.

Koentjaranigrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Marzoeki,Djohansjah. 2000. Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu. Jakarta: Grasindo.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung : Mizan.

Wartaya, W.Y. “Ilmu dan Teknologi sebagai Kerangka Budaya Modern”. Basis. Agustus. 1987.

Wibisono, Koento. “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan” dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Widyarsono, A. “Teknologi dan Sains sebagai Ideologi (Rasionalisasi Weber menurut Habermas)”. Teori Kritis Harbemas, Sebuah Alternatif, Thn. XVIII (1991). No. 4.

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

r:lerupakan haai1 akhir yang dicapal dar i serangke1an kegiatan yang di dapat pada pusat Latihan pencl1tian IlmU- Ilcu Sooial.. Acch , selama satu

Kekuasaan sebagai menteri negara urusan pengamanan yang diperoleh tanpa pertarungan fisik seperti yang dipraktikkan kalangan jagoan dan sebagaimana dilakukan Pi’i untuk

'faI".ggung jawab yang dipikulkan kiyai , baik yang ada k:"!.l tan dengan pencl.idikan/pengajaran , maupun yang berhubungan dengan kehidupan pesantren , aert:rti

PUS~ T PENGEIo4SANGAN PENELlTlAN IlMU· IlMU SOSIAl UNIVERSITAS SYIAH KUAlA.. OARUSSALAM BANOA ACEH

PUSAT PENGEMBANGAN PENELlTlAN IlMU· IlMU SOSIAl UNIVERSIT AS SYIAH KUALA.. DARUSSALAM BANDA ACEH

Tujuan yang hendak dica- pai melalui penelitian ini ialah pendiskripsian profil pero- buat jimat sebagai orang yang dianggap memiliki ilmu gaib di.. tengah- tengah

Penelitian ini dilakukan di Sabang dengan judul "Persepsi Masyarakat Sabang Terhadap Perilaku Wisatawan Mancanegara" ini di maksudkan untuk mengetahul

Dengan menggunkan informasi yang ter ja r ing melalul Bua- tu kajian lapangan pada satu unit pemukiman, dan diperluas dengan informasi sekunder, agaknya penelitian