• No results found

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (KAJIAN DARI SISI FUNGSINYA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (KAJIAN DARI SISI FUNGSINYA)"

Copied!
13
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

KEBIJAKAN REPOSISI

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (KAJIAN DARI SISI FUNGSINYA)

Oleh:

Rudy Satriyo Mukantardjo

Reposisi Lembaga kepolisian oleh pemerintahan baru pimpinan Presiden Terpilih Soesilo Bambang Yudhojono (SBY), tidak menutup kemungkinan untuk terjadi. Hal itu sah diambil sebagai bagian langkah kebijakan politisnya yang bisa jadi jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, baik yang terkait dalam arah kebijakan maupun menyangkut struktur organisasi kepolisian. Namun semua dengan catatan sepanjang itu dirasakan sebagai pilihan yang terbaik dan dinilai akan lebih berdayaguna bagi kepentingan pemberian rasa aman dan penegakan hukum yang lebih baik bagi rakyat, dan bukan dimaksud untuk meng”kerdil”kan kembali lembaga kepolisian.

Memikirkan mengenai reposisi kepolisian karena fungsinya diharapkan akan dapat menjauhkan pemikiran yang tertuang dalam bentuk pendapat yang dapat dinilai oleh orang sebagai subyektif atau bernuansa adanya kepentingan. Memikirkan mengenai reposisi fungsi kepolisian diibaratkan dengan sangat mudah seperti “pedal sepeda normalnya diletakkan di bawah dan digenjot dengan kaki, karena sebelumnya telah ditempatkan dibagian setang”.

Sehingga reposisi fungsi sekedar memikirkan dan melaksanakan untuk memindahkan fungsi yang sebelumnya tidak atau kurang tepat mengenai tempat dan tujuan dibuatnya alat (institusi)tersebut.

Sebagai bagian sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan seandai pemerintahan baru mengambil kebijakan reposisi fungsi lembaga kepolisian, maka penulis pertama-tama akan mengangkat tulisan M Oudang dalam bukunya PERKEMBANGAN KEPOLISIAN DI INDONESIA terutama dalam Bab VIII Hubungan dan Kerjasama Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian. Tidak secara keseluruhan persoalan isi dalam bab VIII tersebut diambil. Akan tetapi hanya akan diambil pada era pemerintahan Hindia – Belanda atau jaman penjajahan Belanda terkait dengan hubungan antara Polisi dengan Pamong Pradja dan Polisi dengan Kejaksaan.

Pertama-tama memberikan pertimbangan dari sisi sejarah dan kemudian diikuti dengan pertimbangan yang lebih aktual, maka biasanya diharapkan tidak akan terlampau membangun atau menyulut emosi dalam memahaminya. Sebagai bagian dari persoalan kajian sejarah sepenuhnya harus disadari bahwa apa yang terjadi di negeri ini dimasa kini tidak pernah dapat dilepaskan dari apa yang pernah terjadi dan dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Juga harus dipahami bahwa tidak semua kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintahan sebelumnya - pemerintah Hindia-Belanda – khususnya adalah tidak baik. Ada, tentunya dengan segala pertimbangan yang matang untuk kebaikan masyarakat dan kebenarannya.

Pembahasan materi sejarah posisi fungsi kepolisian pada jaman pemerintahan Hindia- Belanda terbagi di dalam dua bagian yaitu pertama hubungan antara Kepolisian dengan Pamong Pradja (Departemen Dalam Negeri - sekarang)dan kedua hubungan antara Kepolisian dengan Kejaksaan

I. POLISI DAN PAMONG-PRAJA A. Masa Pemerintahan Hindia - Belanda

(2)

Semasa Pemerintahan Hindia-Belanda Polisi merupakan suatu bagian dari Pangreh- Pradja, menjadi suatu alat dalam tangan pembesar-pembesar Pangreh-Pradja. Pada pemerintahan pusat Polisi administratif terlingkung dalam Departemen Urusan Dalam Negeri.

Di daerah gubernur memegang pimpinan tertinggi dalam propinsi. Residen menjadi kepala kepolisian dalam keresidenan, yang wajib memenuhi perintah-perintah gubernur.

Kepala-kepala daerah itulah yang menjalankan kebijaksanaan politik-polisionil sehari- hari, dan dalam hal ini langsung menerima instruksi-instruksi dari Pokrol-djenderal, yang memegang pimpinan umum kebijaksanaan polisionil itu.

Seperti diketahui pada masa itu diadakan perbedaan antara pelaksanaan kepolisian terhadap orang Eropah dan orang Indonesia sebagai akibat hukum acara, yang serba dua.

Dualisme itu terdapat pula dilapangan pengadilan. Para Pegawai Pangreh-Pradja Belanda dalam pelaksanaan kepolisian repressief terhadap golongan Eropah merupakan pembantu- opsir-djustisi, dan dalam hal ini melakukan pekerjaan membantu, dalam pelaksanaan kepolisian terhadap bangsa Indonesia pegawai-pegawai Pangreh-Pradja Begistraat pada pengadilan negeri (Landraad). Jaksa adalah pegawai Pangreh-Pradja.

Selanjutnya kita ketemu lagi peranan pembesar-pembesar Pangreh-Pradja sebagai hakim, hakim pada pengadilan-magistrat, hakim pada Landgerecht, hakim pada regentschapsgerecht.

Pembesar-pembesar Pangreh-Pradja membuat juga peraturan-peraturan.

Demikian Pangreh-Pradja turut serta dalam:

1. kekuasaan pembentukan undang-undang 2. kekuasaan pengadilan

3. kekuasaan eksekutif.

Pimpinan kepolisian dalam tangan Pangreh-Pradja pun dibedakan antara pimpinan dalam tangan fungsionaris-fungsionaris Belanda dan Indonesia, yakni mengenai polisi lapangan.

Polisi lapangan mula-mula senantiasa langsung di bawah pada Pangreh-Pradja bangsa Belanda. Bupati hanya menguasai Polisi Pangreh-Pradja, adakalanya juga polisi kota kecil.

Mengenai Polisi Lapangan dalam tahun 1927 oleh Ie Gouvernements-Secretaris dikeluarkan suatu surat edaran kepada Kepala-kapala Pemerintahan Daerah, yang mengatakan, bahwa Polisi Lapangan langsung membawah pada pembesar-pembesar Pangreh-Pradja bangsa Belanda, tapi dapat juga diperbantukan pada pejabat-pejabat Pangreh-Pradja bangsa Indonesia.

Instruksi itu berhubungan dengan mosi Soedjono c.s., yang diperbincangkan dalam sidang-sidang Dewan Rakyat dalam tahun tersebut, dan diterima dengan suara terbanyak.

Walaupun mosi, yang menghendaki, supaya Polisi Lapangan di Jawa dan Madura membawah kepada Kepala-Pradja setempat, setidak-tidaknya kepada Bupati, sesungguhnya tak dapat disetujui oleh Pemerintah, maksud para pengusul dapat dimengerti dan dipandang layak.

Pemerintah tak dapat menyetujui mosi, karena berpendapat, bahwa dengan demikian kekuasaan dan kedudukan Pangreh-Pradja bangsa Belanda akan dikurangi.

Karena pegawai-pegawai Pangreh-Pradja bangsa Indonesia turut mempertahankan kekuasaan, pun turut bertanggungjawab tentang keamanan dan ketertiban di dalam daerahnya, juga karena perlu diciptakan dan dipertahankan keadaan sehat dilapangan kepolisian di pedalaman, dan untuk mempertinggi faedahnya pemakaian alat-alat kepolisian, maka Pemerintah menganggap suatu sikap lunak seyogyanya. Pada Polisi Kota pejabat-pejabat polisi, yaitu hopkommisaris atau komisaris polisi kl.I menjalankan pimpinan sehari-hari, tapi membawah pada residen.

Polisi Lapangan dalam propinsi membawah pada Kepala Daerah dan bekerja di bawah pimpinan umum pengawasan tertinggi serta menurut perintah-perintah beliau. Sehari-hari

(3)

polisi membawah kepada Kepala pemerintahan setempat dari wilayah dimana kesatuan dikerjakan.

Untuk memenuhi kerjasama yang erat dengan Pangreh-Pradja Indonesia, Pemerintah berpendapat, bahwa apabila ada alasan, patroli-patroli polisi lapangan diperbantukan pada Bupati, kepala Distrik dan Camat; pejabat-pejabat Pangreh-Pradja ini memberikan petunjuk- petunjuk kepada polisi, yang melaksanakan perintah dalam wilayah pejabat Pangreh-Pradja.

Apabila polisi lapangan diperbantukan kepada pegawai-pegawai Pangreh-Pradja Indonesia, maka komandan dari kesatuan (patroli) harus memenuhi petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah dari pegawai Pangreh-Pradja itu, seperti halnya apabila diberikan oleh kepala, pada siapa ia langsung membawah.

Menurut instruksi sementara untuk Polisi Lapangan, maka sebagai suatu ketentuan Polisi Lapangan melakukan dinasnya dibawah pimpinan langsung dari kadernya, dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk umum atau khusus dari Pangreh-Pradja. Pelaksanaan teknis dari tugas yang diberikan terserah kepada pegawai polisi.

Jika pegawai Pangreh-Pradja berpendapat, bahwa dalam hal itu ia harus turut campur tangan dan pegawai Polisi yang memandangnya dari sudut teknis, tidak dapat menyetujuinya, maka pegawai polisi akan mengemukakan pendapatnya yang berlainan. Jika ini sia-sia ia kemukakan, ia harus melaksanakan perintah-perintah, kemudian mengemukakan dengan tertulis hal itu, menurut saluran hierarkis, kepada Kepala Pemerintahan Daerah (Gewest), atau apabila pembesar ini yang memberikan perintah, kepada Inspektur Polisi Umum (Kepala Dinas Polisi Umum).

Jika kekuasaan setempat memberikan perintah kepada polisi lapangan, sedangkan polisi sudah mendapat tugas khusus dari pihak yang lebih tinggi, maka yang harus dikerjakan terlebih dahulu ialah pada umumnya perintah dari yang tertinggi. Akan tetapi apabila dipandang sangat perlu, maka pejabat Pangreh-Pradja, setelah mengetahui perintah dari pihak lebih tinggi, dapat menentukan, bahwa perintahnya yang akan dilakukan terlebih dahulu.

Dalam hal ini tanggungjawab sepenuhnya dipikul oleh pegawai Pangreh-Pradja itu.

Segala soal mengenai kepolisian diserahkan dalam tangan pegawai-pegawai Polisi untuk mencegah merosotnya keadaan-keadaan alat-alat kepolisian.

Pangreh-Pradja Indonesia wajib memberikan bantuan dan keterangan-keterangan kepada Polisi Lapangan, yang diperlukannya dalam menunaikan tugasnya.

Kader polisi yang tertinggi dalam keresidenan, yang menjalankan pimpinan teknis, yakni Technis Leider Polisi Lapangan; pada Gubernur diperbantukan seorang hopkommisaris polisi sebagai kepala Gewestelijke Inspeksi, kemudian diketemukan hopkommisaris d.p.

Recomba; demikian sesungguhnya pimpinan teknispun ada dalam kekuasaan pembesar- pembesar Pangreh-Pradja Belanda. Ada diantara pembesar-pembesar ini yang memperlakukan kader polisi itu sebagai penguasa materiil belaka.

Pegawai-pegawai Pangreh Pradja, baik Belanda maupun Indonesia, dari berbagai pangkat bukan saja melaksanakan kepolisian preventif, tapi juga represif.

Pegawai-pegawai Pangreh-Pradja Belanda menjadi magistrat.

Bupati di bawah perintah residen, ditugaskan memelihara guna mempertahankan kepolisian dalam kabupaten dan mengawasi kepala-kepala distrik dan lain-lain pegawai- pegawai polisi.

Kepala distrik dibawah perintah bupati ditugaskan pelaksanaan sebaik-baiknya tentang kepolisian dalam wilayahnya dan bertanggungjawab untuk itu.

Kepala distrik dan kepala onderdistrik (camat) menjadi magistrat pembantu.

Kepala desa ditugaskan memelihara keamanan dan ketentraman umum dan mempertahankan ketertiban yang baik di desa-desa.

Demikian keadaan dalam susunan pemerintahan Hindia Belanda.

(4)

B. Masa Awal Kemerdekaan

Setelah diproklamasikan Negara Republik Indonesia, Polisi Negara merupakan jawatan tersendiri.

Walaupun dimasing-masing keresidenan ada kepala Polisi Keresidenan, dan di dalam tiap-tiap propinsi seorang kepala Penilik kepolisian (Kepala Polisi Propinsi) mereka ini hanya dilapangan teknis de facto berdiri sendiri, tapi dilapangan penyelenggaraan keamanan belum dapat lepas sama sekali dari Pamong Praja, karena formil Kepala Daerah (Gubernur dan Residen) bertanggungjawab tentang keamanan dan ketertiban umum dalam daerahnya masing- masing dan karena itu memegang pimpinan kepolisian dalam daerahnya. Kepala Polisi Keresidenan, seorang kader dari Polisi Negara, menjalankan pimpinan sehari-hari dengan tidak mengurangi hak dari kepala daerahnya.

Kebebasan diperoleh kepolisian dalam pemeliharaan teknis. Pimpinan teknis di daerah ada dalam tangan Kepala Polisi Keresidenan.

Selanjutnya diterangkan dalam Instruksi Bersama dari Perdana Menteri, Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri, bahwa kepala-kepala daerah sebawahnya residen tetap mempunyai kewajiban kepolisian menurut aturan yang berlaku.

Keputusan Presiden RIS tanggal 16-1-1950 No. 22 tidak memberikan ketentuan- ketentuan yang bertentangan dengan itu.

Dengan keluarnya UU No. 1/1946 wewenang dari pembesar-pembesar Pamong praja sebagai pejabat yang bertanggungjawab dilapangan kepolisian berkurang; hak kekuasaan untuk memberikan izin untuk hal-hal tertentu diserahkan dalam tangan Kepala Polisi.1 Mulailah disini dipisahkan pekerjaan pemerintahan dari pekerjaan kepolisian. Seakan-akan merupakan legalisasi dari tendens menyerahkan pekerjaan kepolisian kepada pegawai-pegawai yang khusus diangkat untuk pekerjaan itu, akan tetapi perkembangan seterusnya terhambat oleh peraturan-peraturan tentang hukum acara, yang diciptakan dimasa penjajahan.

Peraturan tentang hukum acara (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) sampai sekarang masih berlaku sehingga dapat dikatakan, bahwa formil kekuasaan pembesar- pembesar Pamong Praja dilapangan pelaksanaan kepolisian masih tetap seperti sediakala dan Polisi hanya merupakan alat pembantunya saja.

Menurut kenyataan hubungan pimpinan dari Pamong Praja oleh kesatuan-kesatuan polisi tidak dirasakan lagi. Polisi seakan-akan lepas sama sekali dari pimpinan Pamong Praja.

Kerjasama antara polisi dan pamong praja sangat tergantung dari hubungan saling mengerti dari kepala pamong praja dan kepala polisi daerah.

Mengenai penyelenggaraan keamanan di daerah, kepala polisi turut serta dalam staf keamanan, yang diketuai oleh Kepala Daerah. Pembentukan staf keamanan itu memberikan kesan, bahwa diluar itu sukar tercapai kerjasama yang seyogyanya antara instansi-instansi yang bertanggungjawab tentang keamanan, sehingga perlu dibentuk suatu badan koordinasi.

Bila kita memperhatikan perundangan hukum acara yang berlaku terhadap orang-orang Indonesia dari I.R2 kemudian H.I.R., maka dapat dilihat adanya sedikit kemajuan dengan diadakannya opsir justisi, tapi pegawai Pangreh-Pradja tetap menjadi magistrat-pembantu,

1 Dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri beberapa hak kekuasaan yang dahulu dalam tangan assistent- resident dll., dijalankan oleh Kepala-kepala Polisi, misalnya pemberian izin berburu dsb; dalam hal ini Kementrian Pertanian, Kementrian Perhubungan dll. memberikan bantuan.

2 “Inlandsch Reglement”, kemudian “Herziene Inlandsch Reglement” hanya berlaku buat Jawa dan Madura. Buat daerah-daerah di luar Jawa dan Madura berlaku “Rechtsreglement Buitengewesten” (Stbld. 27-227) dan

“Rechtsreglement voor Burgerlijke en Strafzaken in Borneo en de Groote-Oost”.

(5)

tetap menjalankan peranan yang berarti dilapangan represif polisi, walaupun kekuasaannya sekedar berkurang.

Karena H.I.R. masih ciptaan yang sesuai dengan susunan kolonial, disamping hukum acara tersediri untuk orang-orang Eropa, perlu perundangan hukum acara disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang, dengan memperhatikan pula kedudukan kepolisian dalam negara yang merdeka dan demokratis.

C. Analisa posisi dari fungsi

Dari gambaran sejarah tersebut dapatlah diketahui bahwa selama masa pemerintahan Hindia-Belanda fungsi Kepolisian secara administratif berada di dalam struktur organisasi Departemen Urusan Dalam Negeri (Departemen Dalam Negeri – sekarang). Di daerah dimana gubernur sebagai pemegang pimpinan tertinggi dalam propinsi dan di bawahnya terdapat residen/bupati yang menjadi kepala kepolisian dalam karesidenan/kabupaten, wajib memenuhi atau mematuhi perintah gubernur.

Sebagai suatu hal yang kemudian dianggap wajar apabila fungsi kepolisian sebagai penjalan tugas penjaga keamanan dan ketertiban umum berada di bawah seorang gubernur atau residen (Bupati – sekarang) karena pada merekalah tanggungjawab untuk persoalan keamanan di propinsi dan di karesidenannya berada. Dari sisi pemanfaatan instutisi karena fungsinya - polisi sebagai penjalan tugas penjaga keamanan dan ketertiban umum – adalah sangat mudah bagi seorang gubernur atau residen. Karena kapanpun suatu wilayah yang berada dalam kekuasaan seorang gubernur atau residen terganggu masalah keamanan dan ketertiban umumnya, maka gubernur atau residen dapat langsung memerintahkan lembaga kepolisian untuk bergerak menjalankan fungsinya. Di sini kemudian kecepatan reaksi untuk suatu keperluan yaitu keamanan dan ketertiban umum terpenuhi dengan hanya mempertimbangkan dan menjalankan perintah dari gubernur atau residen.

Bagaimana dengan aturan yang sekarang berlaku, yaitu terkait dengan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah – dan tidak menutup kemungkinan undang-undang sebelumnya untuk kedua bidang tersebut -.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. menegakkan hukum;

c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

Pasal 14 (1) dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. ---

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

(6)

Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah provinsi di bidang keamanan dan ketertiban umum atau apapun namanya akan tetapi bermakna yang sama terdapat di dalam Pasal 13, yaitu:

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota di bidang keamanan dan ketertiban umum atau apapun namanya akan tetapi bermakna yang sama terdapat di dalam Pasal 14

c.penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

Dari penjelasan terhadap pasal tersebut terdapat tambahan bahwa yang dimaksud dengan ketertiban dan ketentraman umum pada ketentuan ini termasuk penyelenggaran perlindungan masyarakat.

Menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi perbedaan antara “memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum” dalam Undang-undang Kepolisian dengan

“penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat” dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah? Apakah tidak dalam posisi tumpang tindih walaupun memang masih dalam posisi menunggu adanya peraturan pemerintah untuk kewenangan dalam bidang

“penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat” tersebut?

Tumpang tindih tampaknya adalah ya, karena apa yang akan dilakukan oleh pihak kepolisian dengan apa yang akan dilakukan oleh pihak kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam “memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum” atau

“penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat” tidak ada bedanya. Akan tetapi karena seorang kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota menjalankan kewenangan yang lebih komplek dibandingkan dengan kepolisian. Sedangkan di dalam upaya mencapai nilai keberhasilan terhadap kewenangan yang komplek tersebut sangat tergantung pada berfungsinya instrumen penjalan tugas keamanan dan ketertiban masyarakat. Sehingga bukan suatu hal yang salah apabila di dalam sistem pemerintahan Hindia – Belanda dan bahkan di negara Belanda sekarang institusi kepolisian berada dibawah perintah/kendali kepala daerah, apakah itu gubernur atau bupati/walikota.

Sehingga suatu hal yang dinilai sangat tidak efektif, efisien dan lambat dalam mengantisipasi masalah keamanan dan ketertiban masyarakat apabila institusi kepolisian bertindak sendirian dan hanya melaksanakan koordinasi dengan pihak atasannya saja (Polsek ke Polres dan Polres ke Polda dan Polda ke Mabes Polri)

II. POLISI DAN KEJAKSAAN

Dalam pelaksanaan tugas kepolisian represif kejaksaan menjalankan peranan yang pokok. Dalam UU No. 19 Tahun 1948 ditetapkan dalam pasal 12, bahwa kejaksaan wajib menjalankan pengusutan dan penuntutan atas kejahatan dan pelanggaran. Dalam H.I.R. (Stbld.

1941 No. 44) dapat dibaca bahwa dilapangan pengusutan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum pegawai penuntut umumlah (openbaar ministerie) yang pertama diberikan tugas.

Pegawai polisi menjadi pembantunya, dari pangkat pembantu-inspektur polisi (baca mantri polisi) dijadikan magistrat pembantu. Sebelum perang dunia kedua diketemukan di daerah seberang bahwa juru tulis-juru tulis dan mantri-mantri polisi diangkat menjadi ajunct-jaksa dari masa ke masa.

Penuntut umum terdiri dari para jaksa pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, dikepalai oleh Jaksa Agung.

(7)

Semasa pemerintahan penjajahan Inggris dengan Regulations tanggal 14 Pebruari 1814 pelaksanaan kepolisian dalam prakteknya dijalankan oleh kepala desa. Opsir divisi menyampaikan laporan tentang perkara kepolisian kepada bupati; bupati memberikan laporan itu kepada jaksa kepala; pegawai ini menelitinya dan kemudian memberikan pertimbangan.

Jaksa menjadi penasehat/pembantu dari bupati.

Sesudah tahun 1819 pimpinan pelaksanaan kepolisian (rechts-politie, veiligheids en administrative politie) terhadap orang-orang Indonesia ditugaskan pada residen; pada beliau diperbantukan jaksa kepala. Jaksa membantu residen.

Pelaksanaan kepolisian (rechts- dan veiligheids-politie) terhadap Indonesia sehari-hari diserahkan seperti sediakala pada kepala-kepala kampung/desa di bawah perintah kepala divisi. Kepala divisi membawah pada bupati; pada bupati dipekerjakan jaksa sebagai pegawai dari Pangreh-Pradja, yang melakukan pekerjaan pegawai penuntut.

Dalam tahun 1901 pemeriksaan sementara (voorlopig onderzoek) diatur dan titik beratnya mengalih dari jaksa kepada kepala-kepala distrik dan onderdistrik (Bb. 5650). Jaksa membawah pada Pangreh-Pradja, dan jaksa adalah pegawai Pangreh-Pradja.

Kita melihat betapa besar kuasanya pembesar Pangreh-Pradja dilapangan kepolisian represif, terutama fungsionaris bangsa Belanda. Penututan perkara ditugaskan pada asisten residen. Mengapakah demikian?

Peraturan yang mengatur hukum acara buat Bumiputera, Reglemen Bumiputera, diumumkan pada tahun 1848 bersamaan Reglemen tentang kebijaksanaan dan susunan pengadilan (R.O). Peraturan-peraturan itu tercipta dan mulai berlaku dalam masa kulturstelsel, pada waktu perkebunan menghendaki pemakainan tenaga rakyat Indonesia sebanyak- banyaknya dan hanya mungkin, apabila kesatuan dan kekuasaan dari Pangreh-Praja tidak terpecah; residen harus memegang segala kekuasaan dalam keresidenan. Hal ini dapat dibaca dalam nota Fromberg.

Kepada residen diberikan kekuasaan yang sangat luas; kekuasaan residen sedemikian dirasakan luas, sehingga dahulu ada residen-residen yang merasa dirinya tidak membawah pada prokol jenderal, yang menurut ketentuan 180 dan 181 R.O. menjadi kepala kepolisian represif dan preventif. Ada kepala daerah yang langsung memohon instruksi kepada Gubernur Jenderal, yang sesungguhnya memikul segala tanggungjawab.

Menurut hukum acara terhadap orang-orang Eropa3 polisi harus turut perintah-perintah dari opsir justisi; penting sekali, bahwa polisi mengetahui kehendak dari opsir itu, terlebih karena beliau berhak untuk tidak menuntut perkara. Terlebih pegawai-pegawai polisi, yang menjadi opsir justisi pembantu perlu memperhatikannya, karena beliau dapat bertindak bebas mengenai pengiriman perkara-perkara kemuka landrechter. Perkara yang termasuk kompentensi Landgerecht dan dapat dikesampingkan diterimakannya kepada opsir justisi.

Opsir justisi berhak menetapkan aturan-aturan secara setempat mengenai tindakan dari polisi (rechterlijke), jika perlu dengan mempertimbangkannya dengan prokol jenderal dan Pangreh-Praja.

Pegawai penuntut umum pada politie-rechter berhak memerintahkan pemeriksaan lebih lanjut kepada opsir pembantu (hulp-officier).

Opsir-justisi-pembantu dalam kalangan kepolisian, yakni pegawai-pegawai dari polisi umum, yang berpangkat serendah-rendahnya komisaris polisi klas I.4

Dalam pelaksanaan kepolisian terhadap orang-orang Indonesia residenlah yang merupakan kepala kepolisian dalam daerahnya; dalam wilayah kabupaten bupati yang

3 “Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op Java en het Hooggerechtshof van Ned. Indie”:

Stbld. 1847-40, berlaku mulai 1 Mei 1848; Stbld. 1849-63.

(8)

bertugas menyelenggarakan kepolisian dan mengawasi polisi. Pada bupati (dan assisten- residen) membawah para jaksa.

Dengan dijalankan perubahan dalan hukum acara tahun 1941, yang sementara berlaku untuk beberapa daerah saja, penuntut umum (openbaar ministerie) dilaksanakan oleh opsir justisi pada pengadilan negeri (landraad)dan substituut-opsir-justisi. Tugas utama dari pejabat- pejabat ini adalah menjalankan pimpinan umum dan pengawasan umum yang teliti tentang penuntutan perkara; disamping itu mereka dapat secara langsung turut menyelesaikan perkara- perkara dan juga menjalankan penuntut umum pada persidangan dalam negeri.

Pimpinan sehari-hari dan pengawasan sehari-hari tentang penuntutan parkara dijalankan oleh para magistrat. Assisten residen menjadi magistrat. Apa yang disebut kontrolir kepolisian” dijadikan magistrat luar biasa.

Para jaksa yaitu jaksa kepala, jaksa, dan ajun jaksa dijadikan ajun magistrat, pembantu dari pembesar-pembesar Pangreh-Pradja Belanda dalam melakukan pekerjaan penuntut umum sebagai magistrat.

Seterusnya ditemukan magistrat pembantu, yang mempunyai hak kekuasaan yang lebih luas dari seorang pegawai pengusut (opsporingsambtenaar), dan tugasnya pun sedemikian lebih luas, sehingga melingkupi pula pemeriksaan persiapan (voorbereidend onderzoek).

Kepala distrik dan kepala onderdistrik dijadikan magistrat pembantu; dari polisi umum (baca: Polisi negara) pegawai-pegawai dari pangkat mantri polisi (baca: pembantu inspektur polisi) keatas menjadi magistrat pembantu. Para magistrat pembantu ini menyampaikan laporannya kepada magistrat, yang terhitung penutut umum.

Dimuka kita melihat bahwa Pangreh Pradja memimpin para jaksa, seperti halnya dengan pegawai-pegawai polisi.

Dalam masa pendudukan Jepang, dan kemudian dalam susunan Republik Indonesia (lama), jabatan assistant residen dihapuskan, maka semua pekerjaan tentang penuntutan paerkara, yang dulu termasuk tugas assistant resident, dijalankan oleh jaksa. Karena hapus juga jabatan opsir polisi justisi pada pengadilan, yang dimaksukan dalam buku undang-undang hukum acara terhadap orang-orang Eropa, dan opsir justisi pada pengadilan negeri (lihat Herziene Inlandsch Reglement), maka jaksalah menjadi pelaksana tugas penuntut umum.

Selama peraturan tentang hukum acara belum disesuaikan dengan perubahan masa dan susunan, sementara hubungan antara polisi dan kejaksaan masih berdasarkan Reglement Indonesia yang Diperbaharui, dengan memperhatikan UU No. 19 tahun 1948, sambil mengingat kenyatazan yang timbul dalam perkembangan keadaan pada umumnya, kepolisian khususnya.

Dilapangan pelaksanaan tugas kepolisian represif pegawai-pegawai polisi harus mengindahkan petunjuk-petunjuk para jaksa (pasal 40 ayat 2 R.I.D).

Analisa posisi dari fungsi

Dalam masa pemerintahan Hindia – Belanda dan pada awal pemerintahan setelah merdeka tugas kepolisian dalam fungsi represif berada di bawah Kejaksaan. Sehingga dikenal istilah magistrat pembantu. Penuntut umum adalah Jaksa pada pengadilan negeri. Namun baik pegawai Kejaksaan maupun Kepolisian berada di bawah Panggreh Pradja (Gubernur dan Residen/bupati).

Kejaksaan bertindak sebagai penyidik dan sekaligus sebagai penuntut perkara dan Kepolisian berada di bawah Kejaksaan dalam fungsi penyidikan, adalah suatu struktur yang menurut fungsi sangat dapat difahami. Seorang Jaksa yang bertanggungjawab dalam tugas untuk menuntut seseorang dan membuktikan kesalahan karena pelanggaran hukum di persidangan berhasil atau tidaknya dalam menjalankan tugas tersebut sangat tergantung pada penguasaannya terhadap bukti yang ia miliki Bukti terdiri dari Alat Bukti yang Sah (ABS) -

(9)

yang meliputi Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk dan Keterangan terdakwa - dan barang bukti (BB) – alat untuk melakukan tindak pidana; hasil tindak pidana dan lain-lain -.

Pencarian dan pengumpulan bukti – penyidikan – dalam bentuk pelaksanaan upaya paksa mulai dari penangkapan; penahanan; penggeledahan dan penyitaan adalah menjadi tugas pihak kepolisian represif. Pelaksanaan tugas penyidikan tersebut haruslah selaras, sesuai dan diperlukan dalam pembuktian kasus dan pasal atau pasal-pasal yang disangkakan atau di dakwakan pada pelaku tindak pidana. Keselarasan, kesesuaian dan diperlukan bukti yang dikumpulkan dengan pembuktian kasus dan pasal atau pasal-pasal, hanya mungkin terealisir apabila jaksa sebagai penuntut umum adalah pihak yang mengendalikan atau memimpin jalannya penyidikan.

Hukum acara pidana sekarang – Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 - “masih menyisakan” tentang peranan dari jaksa dalam mengendalikan atau memimpin jalannya penyidikan dalam bentuk SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang dibuat oleh penyidik kepolisian ditujukan kepada jaksa. Juga pra penuntutan yaitu proses penilaian lengkap tidaknya bukti yang diajukan oleh pihak penyidik – kepolisian - kepada kejaksaan.

Namun dirasakan bahwa model pengendalian dan pemimpinan seperti itu adalah boros terhadap waktu dan kurang dapat menjawab terhadap tuntutan akan keserasian, kesesuaian dan keperluan dalam proses pembuktian. Juga tidak diperlukan adanya ketentuan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 27 (1) huruf d Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan yang menyatakan “ Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanannya dikoordinasikan dengan penyidik”. Karena tugas dan wewenang seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat 1 huruf d tidak ada perbedaan dengan tugas dan wewenang pihak penyidik kepolisian pada saat melakukan penyidikan.

III. POLISI DAN JAKSA AGUNG

Setelah membicarakan hubungan antara kejaksaan dan kepolisian negara perlu kiranya untuk meninjau secara khusus hubungan antara Jaksa Agung dan kepolisian. Peninjauan dilakukan dari masa ke masa dan kita memulainya dari masa Hindia Belanda sebelum perang dunia ke-dua.

Pokrol Jenderal adalah kepala kepolisian represif dan preventiv berdasarkan pada pasal 180 dan pasal 181 R.O. Beliau mewujudkan pimpinan umum dari kepolisian.

Sebagai kepala kepolisian beliau dapat pula mencampuri hal-hal mengenai dinas teknis kepolisian. Pada waktu itu kepala dinas polisi umum (dahulu disebut inspektur dari polisi umum), hanya merupakan seorang pejabat penghubung antara Directeur van Binnenlandsch Bestuur dan Pokrol Jenderal.

Kepala polisi umum harus meneruskan segala keterangan yang diperolehnya dalam memelihara dinas teknis kepolisian kepada Pokrol Jenderal, apabila kepentingan pimpinan kepolisian memerlukannya. Dengan demikian maka masalah mengenai organisasi kepolisian, demi kepentingan pimpinan kepolisian (kebijaksanaan politik-polisionil) diberitakan kepada Pokrol Jenderal dan jika perlu diberikan pula pertimbangan atau usul.

Mengenai pelaksanaan kepolisian, pemakaian alat-alat kepolisian Pokrol Jenderal dapat memerintah kepala dinas polisi umum.

Pokrol Jenderal sebagai kepala kepolisian pusat memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Beliau menerima langsung perintah dari Gubernur Jenderal. Yang bertanggungjawab tentang kepolisian terhadap pemerintah Belanda di Den Haag ialah Gubernur Jenderal. Pokrol jenderal tidak bertanggungjawab terhadap Dewan Rakyat (Volksraad)

(10)

yang berkedudukan di Jakarta. Dalam praktek anggota dewan tersebut memajukan pertanyaan yang mengenai kepolisian kadang-kadang dijawab oleh Direktur B.B. atau oleh kepala dinas reserse umum sebagai wakil dari pokrol jenderal. Keadaan demikian memang sesuai dengan hukum tata negara pada waktu itu.

Dalam nota Fromberg dari tahun 1915, dapat dibaca bahwa mula-mula Pokrol Jenderal tidak dapat melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya, karena tidak semua residen sudi memperlakukan beliau sebagai kepala kepolisian pusat; beliau tidak diberitahu tentang kejadian-kejadian di daerah.

Bukan saja pembesar-pembesar Pangreh Pradja, pun penasehat untuk urusan Bumiputera dan Arab, yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi di lapangan agama dan politik, tidak menyampaikan laporannya kepada Pokrol Jenderal, tetapi kepada Kepala Jawatannya, yaitu Direktur Departemen Pendidikan; pembesar ini meneruskan keterangan yang diperolehnya dari penasehat itu langsung kepada pemerintah.

Pegawai untuk urusan Tionghoa, yang tahu tentang seluk beluk dalam masyarakat Tionghoa memberikan keteterangannya kepada Direktur Departemen Justisi, baik langsung maupun dengan perantaraan Kepala Daerah.

Masing-masing Kepala Pemerintahan Setempat menjalankan dilapangan kepolisian kebijaksanaan sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat uniformiteit; demikian tidak dapat disebut adanya pimpinan pusat.

Peraturan tentang hukum acara tidak dapat dirubah, karena perubahan tidak akan sesuai dengan struktur penjajahan, pun karena tiap-tiap perubahan akan memakan biaya yang tidak kecil jumlahnya; oleh sebab itu oleh Pokrol Jenderal tidak dapat diciptakan fungsionaris untuk bertindak sebagai kepala kepolisian pusat.

Pada waktu itu tidak dapat dipertanggungjawabkannya tentang kepolisian berada ditangan Direktur Justisi, karena beliau hanya mewujudkan penguasa (beheerder) dari departemen justisi saja; beliau bukan mewujudkan kepala penuntut umum (o.m.)

Sebaliknya Pokrol Jenderal tidak dapat diserahi penguasaan (beheer) kepolisian; karena beliau bukan kepala dari sebuah departemen. Oleh sebab itu Direktur Departemen B.B.lah yang menjadi penguasa.

Telah dilihat bahwa pimpinan kepolisian pusat represif dan preventiv ada dalam tangan Pokrol Jenderal. Pimpinan pusat ini dimaksudkan untuk menentukan garis-garis yang harus dituruti oleh polisi, memberikan keterangan umum, instruksi dan melakukan pengawasan tertinggi.

Dalam masa pendudukan Jepang tugas kepolisian dari Pokrol Jenderal jatuh ke tangan Kepala Departemen Kehakiman (shibobutyo), kemudian mengalir ke tangan Kepala Departemen Keamanan (chianbutyo), yang mengepalai kepolisian dan kejaksaan. Juga di daerah para jaksa membawahkan pada kepala Bagian Keamanan dari kantor Keresidenan.

Dengan UU No. 7 Tahun 1947 Republik Indonesia ditetapkan bahwa Jaksa Agung menjalankan pengawasan terhadap para jaksa dan polisi dalam pengusutan perkara kejahatan dan pelanggaran. Tentang kekuasaan dilapangan kepolisian preventiv tidak diadakan ketentuan-ketentuan. UU ini dicabut oleh UU No. 19 Tahun 1948; pasal 56 menyatakan bahwa pengawasan oleh Jaksa Agung dilakukan terhadap para jaksa dan polisi dalam menjalankan pengusutan atas kejahatan dan pelanggaran.

Dalam susunan R.I.S. dengan penetapan Presiden R.I.S. No. 22 Tahun 1950 diputuskan, bahwa Perdana Menteri menjalankan kebijaksanaan politik-polisionil “dengan perantaraan”

Jaksa Agung. Semasa RI (lama) digunakan istilah “melalui” di tempat “dengan perantaraan”.

Karena tidak ditemukan suatu pasal yang menerangkan arti sebenarnya dari istilah- istilah itu, maka memberikan kemungkinan perbedaan tentang penafsiran dan dengan demikian masih diperlukan ketentuan tentang kedudukan Jaksa Agung terhadap Perdana

(11)

Menteri pada suatu pihak, Jaksa Agung dan kepolisian negara pada lain pihak. Penafsiran yuridis formil berhadapan dengan penafsiran yang didasarkan atas kenyataan dari perkembangan historis.

Dalam praktek dialami, bahwa kesatuan-kesatuan polisi negara di daerah-daerah menerima langsung perintah-perintah dari Jaksa Agung (c.q Jawatan Reserse Pusat) dan menerima pula instruksi dari kepala kepolisian negara, yang menjalankan pimpinan kepolisian sehari-hari. Tidak mengherankan, bahwa dari para kepala polisi di daerah didengar keluh kesah tentang serba dua dalam pimpinan itu, terlebih apabila instruksi dari sumber itu mengenai suatu masalah dan tidak dapat dikatakan sama bunyinya.

Jaksa Agung mendasarkan kekuasaannya pada pasal-pasal 180 dan 181 R.O., yang berlaku semasa susunan prae-federaal, kemudian dilanjutkan dalam susunan R.I.S.

Tentang hak kekuasaan sebagai kepala kepolisian, yang diperoleh dari pasal-pasal 180 dan 181 “Regterlijke Organisatie”, Mr. Fromberg dalam notanya mengatakan bahwa segala sesuatu cocok dengan hukum-tata-negara-kolonial, dalam hal Pokrol Jenderal pada Hooggerechtshof sebagai kuasa usaha dari pemerintah tentang mempertahankan undang- undang pada pengadilan, langsung berada di bawah perintah Gubernur Jenderal, dan dalam rechterlijke organisatie dianggap sebagai kepala kepolisian. Kemungkinan perubahan dikemukakannya juga, karena menurut pendapatnya pimpinan pusat kepolisian yang dijalankan oleh Pokrol Jenderal, sesungguhnya dapat dipercayakan kepada seorang Inspektur Kepala, yang diperbantukan kepada Departemen Urusan dalam Negeri. Akan tetapi susunan kolonial tidak memungkinkan perubahan perundangan hukum acara; hukum acara bukan serba saja serba dua, tapi pun memberikan lebih dari satu fungsi/tugas kepada pejabat Pangreh Praja (cumulatie van fucties). Justru karena perundangan tentang hukum acara ciptaan kolonial sesuai dengan kehendak dan jiwa para penjajah, perubahan tidak mungkin dan pimpinan pusat tentang kepolisian tidak dapat diserahkan pada lain fungsionair.

Perundangan tentang hukum acara dan pimpinan kepolisian yang diwarisi dari jaman penjajahan tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman dan seharusnya mendapat peninjauan kembali, agar tercapai perimbangan-perimbangan (verhoudingen) yang seyogyanya, yang memenuhi syarat-syarat nasional. Disini lapang usaha bagi para ahli hukum, yang disamping meninjau segala sesuatu dari sudut pengetahuan, harus pula memperhatikan keadaan, yang diciptakan oleh perkembangan historis.

Polisi negara yang sejak berlakunya keputusan Presiden RI No. 11/S.D. dari Tahun 1946, disusul Instruksi Bersama dari Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman dari tanggal 14/2 1947, UU No. 7/1947, diganti oleh UU no. 19/1948, mengikuti perkembangan, sehingga dapat dikatakan melepaskan diri dari ikatan erat Pamong Praja, dan hubungan dengan kejaksaanpun dalam kenyataannya tidak seperti sediakala.

Cita-cita yang hidup dalam kalangan kepolisian untuk mencapai jawatan yang berdiri sendiri, jawatan terlingkung dalam suatu kementerian keamanan, terus berlangsung dalam susunan R.I.S. dan dalam susunan negara kesatuan. Dimuka dapat dibaca tindakan-tindakan Pengurus Besar Persatuan Pegawai Polisi dalam hal ini.

Di bawah ini menyusul keterangan sekedar tentang jawatan reserse pusat.

Pokrol Jenderal mula-mula kekurangan pegawai, sehingga beliau tidak dapat melakukan pengawasan terhadap polisi preventif sebaik-baiknya. Dalam tahun 1920 untuk membantu diangkat advokat jenderal kedua dengan pegawai-pegawainya dan khusus diberi tugas untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat juridis-polisionil.

Dalam tahun itu juga dibentuk pada parket Pokrol Jenderal (Kejaksaan Agung) Dinas Reserse Umum, dibawah pimpinan advokat jenderal untuk kepolisian. Kemudian dimasukkan dalam dinas ini kantor pusat Pemberantasan Uang Palsu dan Dinas Resersi Apiun, yang mula-

(12)

mula berdiri sendiri, masing-masing dalam lingkungan Departemen Keuangan dan jawatan Regie Candu dan Garam (dulu masuk Gouvernments-bedrijven).

Tugas dari Kepala Dinas Resersi Umum ialah untuk meneliti keterangan yang diperoleh dari daerah-daerah dan dari mana saja, yang penting untuk melaksanakan kepolisian. Semua keterangan-keterangan diteliti, yang penting dikutip dan disusun menjadi pemberitaan. Bila dianggapnya perlu dikeluarkan instruksi-instruksi kepada kepala-kepala polisi daerah (dinas resersi) diseluruh Hindia Belanda (baca Indonesia). Bila perlu dilakukan juga perhubungan dengan luar negeri.

Dinas inilah yang dahulu menjalankan pimpinan pusat politik polisionil sehari-hari, walupun segala instruksi-instruksi tidak dikeluarkan atas nama sendiri, tapi atas nama Pokrol Jenderal.

Dalam susunan sekarang ditetapkan, bahwa pimpinan (politik) polisionil sehari-hari dijalankan oleh kepolisian negara; berhubung kepala kepolisian negara bukan saja turut dalam pimpinan/ penguasaan (beheer), tapi pun dibebani tugas operatif (kepolisian), maka beliau dibantu oleh alat-alat operasional, yaitu bagian-bagian Dinas Reserse Kriminal dan Dinas Pengawasan Keselamatan negara, dahulu disebut P.A.M.

Pada kejaksaan agung tetap terdapat dan melanjutkan pekerjaannya; Jawatan Resersi Pusat; jawatan ini tidak didapatkan dalam susunan R.I. (lama) di Yogyakarta.

Analisa posisi fungsi

Pada masa pemerintahan Hindia – Belanda, tergambar bahwa secara adminstratif kepolisian berada di bawah Departemen Dalam Negeri, sedangkan secara fungsional berada di bawah Pokrol Jenderal (Kejaksaan Agung). Karena kepala dinas polisi umum (dahulu disebut inspektur dari polisi umum), hanya merupakan seorang pejabat penghubung antara Directeur van Binnenlandsch Bestuur (Departemen Dalam Negeri) dan Pokrol Jenderal atau Jaksa Agung.

Sedangkan Pokrol Jenderal atau Jaksa Agung adalah kepala kepolisian represif dan preventiv berdasarkan pada pasal 180 dan pasal 181 R.O. Beliau mewujudkan pimpinan umum dari kepolisian. Kemudian Pokrol Jenderal bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal sebagai wakil tertinggi Kerajaan Belanda di Hindia-Belanda.

Hirarkhi ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan dan konsistensi struktural mulai dari yang tertinggi – gubernur jenderal - sampai dengan yang paling bawah – residen/bupati dalam persoalan hubungan kepolisian – kejaksaan dan panggreh praja. Pada tingkat residen/bupati membawahkan baik polisi represif dan preventif dan keseluruhannya berada di bawah gubernur. Kepolisian dalam fungsi represif berada dibawah kejaksaan. Pada tingkat yang lebih tinggi pokrol jenderal (Jaksa Agung) membawahkan fungsi polisi represif dan preventif. Namun Pokrol Jenderal (Jaksa Agung)bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal. Sedangkan secara administratif kepolisian berada di bawah Departemen Dalam Negeri.

Sedangkan apabila dibandingkan dengan pemerintahan setelah Indonesia merdeka manunjukkan hal yang berbeda yaitu khususnya dengan memperhatikan Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 8 ayat (1) “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”; Sedangkan ayat (2) menyatakan “ Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang- undangan”. Tetapi pada tingkat yang lebih bawah yaitu propinsi yang dipimpin oleh gubernur atau kepala daerah tingkat I dan kabupaten/kota yang dipimpin oleh bupati atau walikota atau kepala daerah tingkat II tidak lagi mencerminkan struktur hubungan sebagaimana antara Presiden dengan pimpinan Kepolisian (Kapolri). Karena kepolisian dalam lingkup propinsi (POLDA) hanya mempunyai hubungan struktur kerja dengan Mabes Polri sedangkan

(13)

kepolisian dalam lingkup kabupaten/kota atau POLRES hanya mempunyai struktur hubungan kerja dengan POLDA. Terputus struktur hubungan dengan gubernur atau bupati/walikota.

Pondok Duta, 21 Desember 2004

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

- P.P.T'j, GUJ a "Projek Bone" dalam hal ini diwakili oleh BOEDIOÏÏO, djabatan Kepala Kantor Perwakilan di Makassar, berke- dudukan di Djl, Vlndalas 193 Makassar, dalam

Dalam rangka import untuk molandjutkan pombiajaan untuk kontrak-2 tahun jang lalu, dengan sekedar tambahan untuk baranB-2 jang benar-2 dianggap s~ngat urgent

Rent o ana mulai pendengaran itu sudah dimulai minggu j.l. daji jang^sekarimg mulai didengar adalah golongan D. UntyJi di Daerah?. pua iintuk tiap propinsi/unit telah pula mulai

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan segera mengkoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat untuk

Begitu juga pendidikan perpustakaan yang memberikan matakuliah yang lebih tradisional banyak dipersalahkan dan dianggap “gaptek’ (gagap teknologi). Perpustakaan di

tentang Ketentuan Impor Liquefied Petroleum Gas/LPG dan Tabung LPG 3 kilogram serta memperhatikan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 tahun 2007 tentang

2) pembangunan jalan/irigasi/jaringan yang dilaksanakan secara swakelola berupa biaya langsung dan tidak langsung sampai siap pakai meliputi biaya bahan baku, upah tenaga kerja,

Bupati Kepeia Daerah Tji- llJ;tjap guna pemantapan serta pensulcaeskan Progrrun Kerdja _ Pemerintah Daerah Kebupaten TjUatjap. Gubernur Kepala Daerah Propinsi Djawa