• No results found

NILAI PAODUKSI SUBSISTENSI UNTUK SETIAP RESPONDEN

D. rabungan ~ Pinjaman

Penduduk dasa umumnya mempunyai lebih banyak penge-luaran dibandingkan dengan pendapatannya. Kerene ituleh sebagian baser di entera mareka, biasanya jarang yang memiliki tabungan, bahkan saring pula terpaksa harus me-minjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

(Koentjaraningrat 1975: 95).

77 Gejala serupa inl tampak pula di Dasa Bukit Hagu.

Demikian misalnya, dari responden dapat diketahui bahwa 5e1ama tahun 1983, hanya 1 (2,5) orang yang mengeku memi-liki tabungan di rumah, dengan maksud untuk keperluan pem-biayaan upBeara sunatan. Sedangkan sisanya 39 (97%) orang, mengaku same sakel! tidak memiliki tabungan dengan alasan bahwB, keseluruhan pendapatannya hanya cukup untuk

nuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya.

meme-Walaupun mereka tidak memiliki tabungan deIsm bentuk uang kontan, nemun ada kecenderungan bahuB, bag! merskB yang mamperoleh rajeki, ternyata menyisihkan sebagian

da-ri pendapatannya untuk membel! bends ~rharga, terutarna sakel! perhiasan ernes. Demikian misalnya, dari responden dapat dikatahui ternyata ada sebanyak 11 (27,5%) orang yang pernah membali perhiasan emas pada tahun 1983. Kemu -dian apa~ila ada keperluan yang mendesak, perhiasan ernes

itu dijual. Hal inl dapat pula diketehui dari pengakuan responden ade sebanyak 10 (25%) orang yang menyatakan per-nah menjual perhiasan emes pade tahun 1983. Mellhat ke -nyataan ini, tepatlah apa yang dikemukakan oleh

Koantjaraningrat bahwa :

11 • • • oreng juga saring mambali parhiasan manakela ada

uang, adaleh kerene oleh orang desa perhiassn masih merupakan satu-satunya bareng untuk menanam uang pen-dapatan 18~ih; artinys, mambali parhiasan masih dl-anggap cara yang paling aman ·untuk menyimpan usng.

Kecuali itu, perhiaaan adalah bareng yang paling mu -dah dapat dlgadaikan apabl1a orang sekonyong- ko-nyong par1u uBng" (1975: 93; Sajogyo 1983: 272).

Cara menabung yang lain, ialeh dangan mambe11 tarnak.

Sabab salah satu fungsi ternek ialah sebagai alat pene-bungsn uang (Tohir 1983a: 436) Oemikian rnisalnya, dari res-ponden dapat dikatahul ada 2 (5%) orsng yang membali sspi, dengan alasan untuk menyimpan uangnya. Kemudian ada pula 5 (12,5%) orang responden yang menjual t ernak, yaitu sapi ateu kambing kerene mengalami kesulltan keuangan. Selain ltu, d1kenal pula arisen yang diikutl oleh para ibu rumah tangga. Karena ltulah arisen saring pule disebut perkum-pUlan wanita tidak resmi untuk tabungan dan pergaulan

(PapBnek 1980: 112f.).

7£ Atau menurut H.J. Boeke dikatakan pule ba~ua. arisen ad a-lah lembaga khas priburni, yang biss disebut dangsn isti-lah credit club (1983: 122) .

Oi samping itu, sejumleh responden juga memperoleh uang tambahan biaya hidup dangan cara meminjem. Demikian rnisalnya, dari responden dapat diketahui ada ~9banyak 14 (35%) orang yang mengaku pernah meminjam uang, dengan pe -rincian 5 orang dart temen ateu kerabat, sedangkan sisa-nye 9 orang, memperoleh pinjaman dari bank, sebagai rea-lises! dart kredi~ penanaman karate Kemudian cara lain yang juga bisB dipakai delsm rangka memecahkan kesulitan hidup sehari-hari, ialah dangsn cara ngutang berbelanja d! warung. Hel inl dapat pule diketahui dari pengakuan responden, ternyata ada sebanyak 16 (40%) orang yang

me-ngaku pernah ngutang di warung se1ama tahun 1963.

,

I

I

SAS V

PANDANGAN HIDUP PET ANI TRANSMIGRAN

Pola sikap den kelakuan seseorang pade dasarnya men -cerminkan pandangan hidupnya (Sajogyo 1983: 289) . Karena itulah isl suatu pandangan hiduPI l~~~ ~en komp!ek. ~e -lihat kenyataan itu, make delsm hubungan ini hanya akan dikaji pandangan hidup yang berkaitan dengan pole sikap den kelakuan mereka ~erhadap pekerjaannya, kehidupan ru-mah tangganya dBn pendidikan bag! anak-anaknya .

A. Pandangan Terhadap Pekerjaan

Pandangan hidup peteni transmigran terhadap pekerja-snnye, diperinci leg1 menjadi dUB pokok mesaI ah, yaitu : 1. Pandangsn Terhadap Pertanian Oibandingkan Dengan

Pe-kerjaan di Luer Pertanian

Peteni transmigran di Dasa Bukit Hagu, pada dasarnya telah menyadari bahwa, bekerja keras merupaken salah sa-tu cara untuk tetap biss hidup. Hal ini terlihat dari pandengen mer eke yang mengatekan behwe, untuk bise maken orang narus kerja keres den ligBt (cepat den cekatan) . Sebagai pencerminan dari pandangan ini, jelas dapet di-lihet dari keterlibatan setiap anggota rumah tengga, un-tuk ikut menangani berbagei pekerjaen, baik pekerjaan untuk menceri nafkah, maupun pekerjean rumah tangga.

Pekerjaan mencari nafkah yang dilakukan meliputi ko-giaten di bidang pertanian, dan pekerjaan di luar

perta-nian. Kegietan itu, tidak saja melibatkan tenaga laki-laki, nemun juga tenaga wanita. Oemikian misalnye,

mere-ka bersama-sema menggarap ladang, sawah, mengerjakan industri rumeh tangga, menjaga warung, dll.

Delam kaitannya dengan pekerjaan untuk mBncari naf -kah, make sebegian beser di entera mereka menilai bahw8 bidang pertanian sebenarnya bisa lebih memberikan ke-tentrarnan hidup, jika dibandingkan dengen pekerjaan di lUsT pertanian yang sedang ditanganinya. Demikian

misal-nya, dari respond en dapat diketahui 37 (92,5%) orang me-nilai bahwa pertanian akan lebih memberikan ketentraman,

79

80

apalagi kalau pertanian itu dilengkapi dengan tanah sa -wah, sehingga bahan makanan tidak akan putus. Pandangan ini tsntu saja, tidak bisB dilepaskan dari kenyataan bah-wa peteni Jawa adalah peteni sawah (Geertz 1982: 18f.), den tanaman padi adalah tanaman sUbsistsn (Mubyarto 1978! xx) .

Selein itu, mereka juga berpandangan bahwa, apabila pertanian barhesil, make sebagian dari produksinya bisB dipasarkan, ateu khusus menanarn jenis tanaman untuk di-uangkan, steu disebut pule Iltanamen jantan,r

(Mubyarto

1978: xx) . Dengan cara ini, dibayangkan kehidupan peteni akan tentram, tenang, ad em den ayem. Melihat kenyataan itu, tampaklah bahwa mereka masih terikat pade pandangan hidup yang dikenal delam masyarakat Jawa, yang melukis -kan bahwa "kalau kita ingin hidup tentram, jadilah pete-ni" (Harsono 1984~ 6).

Namun ada pule orang yang mempunyai pandangan ber-bade. Hal ini bisa pula diketehui deri pandangan 3 (7, 5%) orang responden, yang mengemukekan bahwa, baik pekerjaan di luar pertanian maupun pertenian pade dasarnya sama sa-ja, yang panting ada hesilnya, den dari hasil itu, dapat juga dipakai untuk me~cukupi kebutuhan rumah tangga.

Wal aupun sebagian beser di antera mereka memandang bahwa kehidupan gebagai petani adalah tentram, nemun ke-nyetaannya mereka menyadari hal itu 9ullt bisB diwujudkan di Oesa Bukit Hagu. Hal inl tidak bisa dilepaskan dari sistem pertanian yang berkembang di dasa Itu, ialah per-tenian lahan kering dan penuh resiko. Karene

tuk di Oesa Bukit Hagu, pole nafkah berganda

itulah, un-dlpendang sebagai bentuk ideal yang bisB dikembangkan. Pole Ini ti-dak saja dinilai mampu mengimbangi resiko yang dihadapi deIam bideng pertanian, namun juga mampu memelihara kon -disi cukup makan.

Dalsm rangka menciptakan kondisi masyarakat petani yang tentram, maka 60 kepala keluarga petani, telah me -rintis jalan baru, yaitu mulai menanam karet bantuan kredit dart Dinas Perkebunan. Mereka tertarik pada

9] gambaran masa depan yang disampaikan oleh petugas oin09 Perkebunan, yang melukiskan bahwa, en am tahun yang akan datang, tanaman karet sudah bisB disadap, den setiap hari akan menghasilkan uang, sehingga kehidupan akan bisB le-bih tentram.

01 samping itu, untuk mengatasi serangan babi hutsn, agar orang biss kembali barteni, muncullah berbagei ga-gasan. Oemikian misalnya, kelompok tan! di Patok 11 Slok C den 0, begitu pule beberapa orang peten! di Patok IV Slok A-B, memiliki gaga san membuat pagar kawat berduri , yang mengelilingi seluruh unit, atau minimal setiap la-han petani. Cara inl dinilai akan ~erhasil, sabeb mereka melihat contoh yang diberikan oleh Joni dart Patok V Slok S, yang 9udah membuat pagar kawat berduri di huten cadeng-annya, den ternyate berhesil, kerene bebes dari serangan babi hutan.

Nemun untuk mambuet pagar kewat berduri, tentu perlu modal. DeIsm hunungan ini, Karno se~agai Ketua kelompok tani Patok 11 Slok C-D, berpendapat behwa :

IIUntuk membuat pagar, kalau biss ye ada bantuan dari pemarintah. Kalau kite mambel! sandiri resanya pa-yah, soelnya perlu uang. Tapi kalau pemerintah meu, tidak perlu dikesi uang, langsung saja kawat bardu-ri, lalu kite pasang dengan gotong-royong. Kalau kite dikesi uang, takut habis untuk beli ape-apa.

Kalau diberi kawat, tuges kite ken lebih enak, ting-gal paseng, pager jedi den babi tidak bisa menye-rang. Kita bisB tenang barteni!!

Hanya s.aja, sebelum impian kawat berduri menjedi kenyate-an, ateu karet juga belum menghesilkan, bererti

akan tetap memper tahankan pole nafkah berganda.

meraka

2. Pandangan Terhadap Akibat Pekerjean

£!

~ Pertanian

Sidang pekerjaan di luar pertenian, selain member i -ken pendapatan begi suatu rumah tangga, ternyata membawa pule akibat sampingan. Demikian misalnys, dari pengakuan respond en dapat dlketahui.bahwa sebagien besar mengata -ken bahwa pekerjean di luar pertenian ternyata menggang -gu ~ideng pertanian. Namun ads juga yang mengetakan ti-dak mengganggu, bahkan hasilnya bieB disalurkan ke

82

bidang pertanian. Untuk lebih jelasnya hal ini dapat diks-tahui dari pengakuan responden, sebagaimana terlihat pada Tabel.

TA8El XIV

PANOANGAN RESPONOEN TENTANG AKIBAT PEKERJAAN 01 lUAR PERTANIAN

TERHAOAP PERTANIAN

Berdasarkan Tabel itu terlihatlah bahwa ada sebanyak 21 (52,5%) orang yang mengemukakan bahwa, pekerjaan di lusr pertanian mengganggu bidang pertanian. Oi entara

ms-reka edalah para perantau. Kerena itulah apa yang dikemu -kakan oleh para peteni di dese itu, yang mengatakan bahwa merantau merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesulitan delam hidang pertanian, tarnyata ads pule be-narnye.

Kegiaten merentau memang dinilai membawe akibat sam-pingan cukup IUBS, juga terhadap rumah tangga dBn masya -rakat secara keseluruhan, terutarna sakeli bagi mereke yang tarus b.erputar peda lingkaran meranteu.

Pade seat per an tau bekerja, keluarga yang ditinggal -kannya, saring tanpa persiapan yang memadai. Sabeb itulah epabila mereka mengalemi kesulitan, terpaksa memimjam ba

-rang ateu uang pade tetangga, atau ngutang di warung. Se -dangkan bagi perantau yang memiliki orang tua atau mErtua,

••

83

maka keluarganya saring diserahkan kepada mereka, dengan resiko akan terjadi pemencaran rejaki.

01 samping itu, keluarga yang ditinggalkannya, bisB juga ngrombeng barang-barangnya, seperti peralats" dapur, pakaian, arloji, radio cassette, kaca mata, doll.

Selain kesulitan del am usa ha reproduksi rumah tang-98, mereka mengalami pule keko8ongan kedudukan sang ayah, meskipun bersifat temporer. Dengan demikian, rumah tangga sebagai suatu sistem 50sial, akan mengalami ke-timpangan, sabeb sang ayah tidak bisB bp.rperanan seperti yang diharapkan. Hal inl tentu berakibat lebih lanjut

terhadap proses 50s1a119851 snak-snak mereka. Padahal me-nurut Muller, bahwa rumah tangga pade dasarnya ada1ah

tempat pendidikan yang paling dasariah, dan wadah proses sosia1isasi yang sangat menentukan se1uruh perkembangan mental dan sosia1 seorang anak (1980: 44). Anak-anak akan

menga1ami hambatan dalam pembentukkan citra ayah yang tungga1 den bu1at yan9 bisa diikuti dan diidentifikasi

(Mu1der 1983: 70; Goode 1983: 158). Sa1ain itu, rumah-ru-mah tangge perantau, tentu menga1ami pule hambetan deIam manya1urkan kebutuhan bio10gisnya. Sabab rumah tangga se -bagai ke1ompok yang timbu1 kerena hubungan sosiao-seksu-a1 (Goode 1983: 28), manga1ami perpecahan. Sebeb Itu1ah gunjingan bahwa seorang ibu yang berbuat serong selama ditingga1 merantau, ada pula di desa itu.

Para perantau yang berhasi1 akan bisB memenuhi ke-butuhan hidupnya sehari-hari, bahkan ada pule yeng rnampu memba1i benda-bends berharga. Oemikian mise1nya, Kastln

deri Patok 11 SInk A, pernah berhasil mambal i TV den ra-dio cassette dari hasi1 merantau, meskipun akhirnya

di-jual l egi untuk menutupi keperluan rumah tangga.

Namun, bag! perantau yeng gaga1, baik karena ditokoh ateu permintaan tenage 1eg1 sepi. mereka bise pu1ang tan-pe membawa uang, sehingga utang di warung yang ditimbun oleh orang rumah be1um bisa dilunasi. Sedangkan bag! pe

-rantau yang ditokoh, dapat menimbu1kan prasangka negatif terhadap ethnik tertentu, bahkan bise pule

,

84

melahirkan konflik. Demikian misalnys, Sabari dari Patok 11 Slok C, pernah bertengkar dengan si penokoh, meskipun belum sempei menimbulkan tindakan kekerasan.

01 enters para perantau, memang ada yang mengisi

~aktunya untuk berten!. Nemun apabila has!l mErantau ter-dahulu habis, mereka merantau legi. Kesulitan hidup ke-luarga yang ditinggalkannya, kembali dipecahkan dengan cara meminjam, ngutang di warung. ngrombeng etau memen-carka,' kesulitan hidup melalui jalur ikatan kekerahatan.

Oi daerah pedesaan hubungan kekerabatan dan nl1al 9091-al-budaya sedikit banyak memang membantu memberikan per -lindungan terhadap ke!aparan (Soemarwoto 1983: 193).

01 samping itu, bisB pule terjadi psrs perantau ja-tuh sakit. Demikian misalnya, manurut katerangan Mantri Kesehatan yang bertugae di Dasa Bukit Hagu, mengatakan bahwa pade tahun 1981, ada sekitar ~O orang perantau yang datang dari Saree, terserang psnyakit malaria. Ga

-ja1a yang same terjadi legi pade tahun 1983, yang me -nimpa para perantau dari Mbang. Dengan adanya kejadian ini, tentu menambah baban kesu1itan bag! rumah tangga para perentau.

Para perantau saring meningga1kan dess, untuk mema-suki passr tenaga kerja. Pola 1nl berlaku pula di kalangan pembuat tahu dan penjaja opak goreng, hanya ren-tangan wektunya yang labih pendek. Kerene itu mereka su-l i t menuna!kan berbage! kewajiban kemasyarakatan,

m!eal-"ya gotng royong, ronda malam, menghediri kegiatan 8uatu perkumpulan, dll., terutame sakali begi mereka yang t i -dak memiliki tenaga pengganti. Demikian miselnya, ket!ka ada go tong royong di Patok 11 Slok A-B, ads 4 orang ps-dsgang tahu yang absen, kerene sedang berjualan, Mereka dimintai sumbengan untuk menggantikan kewajiban kemasy~­

rakatannya. Begitu pula halnya dengan Kepala Ousun

Sukadamai (Patok V-VI), yang merantau ke Sumtra Selatan 5elama sebulan, sehingga tidak biea melokS3nakan tugas-nya. Karena itulah Kepala Ousun itu, akhirnya dicopot olsh Lurah dan digantikan dengan orang lain.

85

Oi samping itu, kegiatan merantau merupakan pule sa-lah satu tempat berlindung 98mbil meraih rejeki bagi anak-snak putus sekolah, yang pade akhirnya direstui pule oleh orang tuanya, kerene mereka biaB memperoleh percikan steu raceMen rejeki. Kerene itulah saring ads ueepan di kalangan orang tUB, yang mengemukakan bahwa daripeda se-kolah suash-sussh, lebih baik merantau. Hal inl bisB di-pahami, sebab mereka belum bisB menikmati 9scars langsung dari pendidikan, kerene itulah mereka beranggapan lebih balk bekerja secepat mungkin, untuk menambah pendapatan rumah tangga yang sarbs minim (Muller 1980: 46). Kenyata -annya, memang seOagian beser snak putus sskolah, akhirnya ikut merantau. Demikian misalnya, di Patok 11 Blok A-B yang terdiri dari 48 rumah tangga, tercatat 27 anak putus sekolah, yang keseluruhannya terjun dalam kegietsn

merantau.

Kegiatan merantau tampaknya biea merangsang seorang anak untuk putus sekolah. Sebagai contoh dapat dikemuka -kan cupli-kan pengalaman Sunata dari Patck I 810k B sbb. !

l'Anak say a yang wanita kelas III itu, pernah minta berhenti sekolah lantaran mau mer an tau ikut tetang-g8 se~lah yang menjadi pembantu rumah tangga. Terus aku bilang, kemu nak tidak usah merantau, selama aku masih bisa car! makan. Kalau aku tidak bisa cari ma -ken, beru kemu yang cari maken. Setelah saye begitu-kan die ma~ ma9uk legi'l.

Dengan edenya snak-anak putu9 sokclah ateu tidak bi-sa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tlnggi, kemudian merBka ikut merantau, maka timbullah para per an -tau nujangan. Suatu hal yang menarik, ternyata di entera perent.eu wenita bujengen, ada yeng melakuken "prilak·(J me-nyimpang yait.u sebagai wanita tuna o5uo511a" (KartonO(198l!

199f.) . Demikian misalnya, seorang pembentu rurnah tengga yang bekerja dl Slang Tufat, tertangkap bssah sedang me

-dlhukum oleh masas. Tindakan lacurkan dirinya, sehingga

inl membawa akibat lebih lanjut, yaitu Petugas Keamanan di daerah itu, mengirim Burat ultimatum kepada Petugas

Keamanan di Ossa Bukit Hegu, yang mem!nta eupaya dalam jangka waktu 10 har!, samua pembantu rumah tangga d!

86 Slang Tufat den Krueng Geukeuh ditarik pulang. Apabila

b3-tas waktu itu habis, mereka akan ditangkapi den dipulann -ken S6cara peksa. Ancaman inl menimbulkan kegelisahan don pembantu rumah tangge banyak yang pulang, nemun hanya ber-aifet sementara, den kemudian kembali lag1 ke ~empat pe-kerjaannya.

PeristiwB yang hampir same terjadi pule di Oasa Bukit Hegu, yeitu seorang perantau wanita pulang 98mbil menye-lundupkan temen perianya. Akibatnya masyarakat marah, ter

-jadilah tindakan kekerasan den mereka dikawinkan secara pekea atau I'kawin tangkapantt

01 entera rumah-rumah tangga yang menangani bidang pekerjaan di luat pertanian, ternyata pedagang atau pemi-lik warung dinilai kehidupannya yang paling enak. Mereka digambarkan banyak uang, dan kalau perlu S8suatu untuk ru-mah tanggs, hanya tinggal mengambil. Hanya saja, kenyataan inl menimbulkan pula gunjingan, yaitu pemilik warung dika-taken memiliki tuyul, yaitu makhluk ajaib yang mampu mem-berikan tambahan kekeyaan secare gaib dan tersembunyi. Ka-rana itulah menurut Clifford Geertz, tuyul disebut pula makhluk halus yang kari~ (1983: 26),

Pamilik warung yang digunjingkan memiIiki tuyul, ada dUB orang, yaitu d1 Patok 11 Slok

B

den d1 Patok III Slok

B.

Dsmikian misalnY8, Heru dar1 Patok 11 Slok S menceri-treksn ebb.

"Warung itu kaya, tapi die nyupang cari orang tUa min-ta tuyul . 01a sering puIang ke Jaws untuk nyupang.

Oi Jawa banyak orang tue yang biSB ngas! kite tuyul.

O! sini katanya juga ada itu di Madan dan Landing. Anak warung itu due orang mati tidak sakit. Juga due orang dari Petok Ini mati tidak sakit setelah pulang dari warung itu. Lalu ibu Amat hampir 9aja mati, yang membuat ya warung itu. Orang itu mati untuk dikesi tuyul pekei tumbal. SudahIah pokoknya kalau namanya orang dagang tidak ada yang lurus".

Kemudian pemilik warung di Patok Ill, yang digunjingkan memil!ki tuyul, memceritrakan pengalamannya sbb. :

"Oul u eku jualan di sudut rumah no. 1 itU4 Orengnye tldak punya anak den aku dianggap anaknya sendiri.

Rumannya kunangun sehlngga balk. Tahu-tahu isteri orang itu met! mendadak. Akulah yang dik!ra

87

membuat orang itu mati. Katanya aku ngasikan tu -yul. Diusirlah eku dari sane, Pak Lurah 1a1u ngas!

aku tempat d~gang. Aku banyak rugi, lain memba -ngun rumahnyst lain diusir. Tapi mane aku punya tuyul",

Berdesarkan uraian di etas terlihatlah bahwa ke-percayaan akan tuyul yang berakar kuat delsm kebudayaan Jaws (C. Geertz. 1983: 26f. ) , ternyata masih bertahan di Oesa Bukit Hagu, meskipun eksistensi tuyul itu sandir!, sulit dibuktikan seCaIa empiris. Menurut Onghokham, ke -percayaan serups inl biase dijumpai delsm masyarakat agraris, sebagai luapsn paresesn kurang senang, kerene orang daBS sa ring me~asa ditipu oleh pedagang. Hal 1n1-lah kemudian menimbulkar. dongengan tentang pedagang ka -ya -yang menjual jiwa pada setan (198A: 34r.). Kenya-taannya memang "para pedagang itu begitu banyak punya muslihat", demikian kate P~ter ~ainez, sebagaimena

dl-kutip olah Goenawan Muhamad (1984: 15). Namun, keyakin -an Ini membawa akibat ad-anya parase-an sallng mencuri -gai, sehingga bisa mengundang lahirnya masslah 90sial.

Me.skipun peker jaan di luer pertanian, terutama sa -keli merantauJ membawa akibat sampingan yang cukup lu-as den komple~, ~amun untuk ke luer dari lingkaran me-rantau tidak1ah mudah. Pamong Oesapun tidak hisB berbu-at banyak untuk melnrang orang merantau.

salnya keterangan Luran Ossa Bukit Hagu, kut

Demikian mi -sebagai ber i

-"Kerni t.ahu bahwa kegietan merantau menggan~gu

per-tenlen dan benyek menimbulkan mesalah bagl mesya-rakat den keluarganya~ Tetep! untuk melarang mere-ka marantau bageimana legi, sabeb kalau tidak ~e­ rantau keluarganye bisB tidak maken".

Para perantau juga sudah menyedari berbaga! kes u-liten yang timbul sebagai akibat dar1 adanya kegiata n merantau. Namun untuk berhenti merantau ternyata

sulit, sebab merantau diniIai sebagai selah satu

amat cara daIam memenuhi kebutuhan rumah tanggat bahkan merupakan sumher rajeki yang tak habis-hebisnya.

88 DaIam rangka menertibkan kegiatan merantau, Pamong Oesa talah menetapkan peraturan bahua, setiap perantau diuajibkan untuk membawa suret keterangan bepnrgian yang ditandatangani oleh Lurah. Umur suret itu dUB bu-lan, sesuai dengan batas maksimal seseorang bo!eh me-rantau. Apabila suret itu mati, bisB diperpanjang 1ag1.

Mereka yang maneari Buret, diharapkan membeyar

Rp 1.000,00 , dengan perincian Rp 500,00 untuk kas dasa, sedangkan sisanya untuk dena pembangunan.

Namun kenyataannya, tidak semua perantau mematuhi peraturan yang berlaku, sabeb mBteka seting pergi seca-ra diem-diem. Hal ini tidak saja ketene prosedurnya

Namun kenyataannya, tidak semua perantau mematuhi peraturan yang berlaku, sabeb mBteka seting pergi seca-ra diem-diem. Hal ini tidak saja ketene prosedurnya