• No results found

PEKERJAAN DI LUAR PERT ANI AN PADA PETANI TRANSMIGHAN JAWA DI DESA BUKIT HAGU. KECAMATAN LHOK SUKON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "PEKERJAAN DI LUAR PERT ANI AN PADA PETANI TRANSMIGHAN JAWA DI DESA BUKIT HAGU. KECAMATAN LHOK SUKON "

Copied!
119
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

PUSAT LATIHAN PENELITIAN ILMU-ILMU SOSIAL. ACEH LAPORAN HASIL PENELITIAN

PEKERJAAN DI LUAR PERT ANI AN PADA PETANI TRANSMIGHAN JAWA DI DESA BUKIT HAGU. KECAMATAN LHOK SUKON

I(ABUPATEN ACEH UTARA

NENGAH BAWA ATMADJA

Staf Pengalar pada Univ. Udayana, Singaraja Faku\tas Keguruan dan 'Imu Pcndldikan

DARUSSALAM - BANDA ACEH

1984

..

.'

'

.

'.

'0

:.:. •

,

~

"

,

. ...

.,

(2)

I

KATA PENGANTAR

8erkat rakhmat Tuhen Yang MaMa Esa, penelitian 1nl akhirnya dapat diselesaikan, walaupun masih jauh dari ke- sBmpurnaan. Leporsn inl merupakan hasil penalitlan yang diadakan deIsm rangka mengikuti program pad a PLPIIS Aceh, dengan mengam~il lakesi di Ossa Bukit Hagu, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara.

Terwujudnya lepersn inl, tidak bisa dilepaskan dari bimbingan den pengarahan 8apak Dr . M. All 8asyah Amin, Or. Dayan Dawood selaku Direktur den 8apak Dr. Wolfgang Clausa, sebagai Tenege Ahli Utama pada PLPIIS Aceh.

Selein itu, penulis memperoleh pule bantuan dari berbagei pihak, yaitu VIIS den Unsyiah yang secara 1an9- sung menangani program inl. Ketua Jurusan Sejarah, Oaken FKIP dan Aektor Universitas Udayana 8ali, yang teleh me m- berikan ijin untuk mengikuti program ini. Pemerintah Oae- rah lstimawa Aceh, baik pada tlngkat Propinsi, Kabupaten Aceh Utara, Kecamatan Lhoksukan maupun Oesa Bukit Hagu, yang banyak memberikan bantuan teknis. Khusus terhedap oasa Bukit Hagu, penulis banyak memperoleh bantuan dari Lurah dan Pamong oesa 1ainnya, warga masyarakat, teruta- me sakeli 8apak Surip Supriyono sekeluarga, yang membe- rikan kesempatan untuk menumpang di rumahnya, 5elama pe- nelitian ini berlangsung. Para Staf Pegawai PLPIIS, pa-

ra ahli di lingkungan Unsyiah den teman- teman peserta PLPIIS yang lainnya, benyak pule membantu, lewat berba-

gei diskusi. oemikien pula kepada semus plhak yang tidak dapet disebutkan satu persatu, nemun ikut pule member i- ken bantuan. Untuk semuanya itu, penulis mengucapkan te- rima kaslh, sabeb etas bantuannyelah penelitian Ini bisa diselesaikan, seperti yang diharapkan.

iii

oarussalam, Awal Juli 1984 Penulis

(3)

OAF TAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

...

11 i

iii iv v vi HALAMAN PERSEMBAHAN •••••.••.••.••••••••••.••••••••

KAlA PENGANTAR ••.••••••••••.••••.••••.••••••••••••

OAf TAR 151 . . . • . . .• OAF TAR lABEL ••••.••.•.••..•..•••..•••.•.••..•.••••

ABSTRACT

... ... ...

,

... .... . .

SAS I. PENDAHULUAN ••••• •. •. •..•••.•.•..••••••••.

A. Later Belakang MesaIah •.•.•....••••••.

B. Ruang Lingkup dan Tujusn Penelitian •••

C. Kstangka Teoritis . . . , . . . • . . . . • D. Metodologi Penelitian . • . . . • . . . • •

1 1 3 4 12 SAS II. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .•. ••••••• 15

A. Letak, Pole Perkampungan den Aumah-

Rumah di Oesa Bukit Hagu •....•..•••••• 15 B. Sejarah Dasa . •..•.•••••.••• ... •.••••.. 16 C. Pamerintahan Oase ..••.•..•.•••.• , ••• ,. 23 O. Rumeh Tangge Sarts Hubungan Sosi~lnya.. 24 E. Barbagei Bentuk Perkumpulan •.•.•••. , . . 26

SAS Ill. POLA PEKERJAAN PENCARIAN NAFKAH ••.•••••.• 28 A. Pekerjaan Sebagai Peteni •.••.•.••.•••• 28

e .

Pekerjaan di Luer Pertanian ••.•••••• •• 31

1. Motivesi yang Menimbulkan Pole Sum-

b~r Nafkah Berganda .••••...••••.••• 31 2. Jenis-Jenis Peker3san di Luer Perta-

n~an ••••••••••••••••••••••••••••••• 35 SAS IV. SIAYA HIDUP 01 DESA SUKIT HAGU • . . . 51

SAS

SAS

A. Pendapaten Rumah Tangga ...••••••• 51 B. Pengeluaran Rumeh Ten.gga ••••..••••.••• 66 C. Produksi SUbsistensi .•..•....•...••••• 71 O. Tebungan den Pinjaman ..••..•.•....•••• 76

V. PANDANGAN HIDUP PETANI TRANSMIGRAN •••••••

A. Pandangan terhadap Pekerjaannya •••••••

1. Pandangan terhadap Pertanian Oiban- dingkan dengan Pekerjaan di Luar Pertanian .•.. •.• •.•.• ' .•••••.••.••..

2. Pandangan terhadap Akibat Pekerjaan

79 79

79 di Luer Pertanian •• ••••...•••. .•.•. 81 B. Pandangan terhadap Kehidupan Rumah

Tangganya ••...•..• . .•.. .. ...•. •.•••••• 88 C. Pandangan terhadap Pendidikan Anak-

Anaknya .. ... . ••.. . . . • . . . . •••.••. . 93

VI. KESIMPULAN

... ... .. ...

101

DAFTAR KEPUSTAKAAN ••.••••.•.•.•••..••..••.•••••••• 104 LAMPIRAN PETA KASUPATEN ACEH UTARA •.••.•.••••••••• 114

iv

(4)

, .

DAFTAR TABEL Tabel

Halaman

I Keadaan Panduduk oasa 8ukit Hagu pade tahun 1983 ••.•.. .• . . • • • . . •. . • . . . • • . . . • . •• . •••••• .. 24 11 Pendapatan Responden dari Sektor Pertanian

pade Tahun 1983 •••••••.••••••••••••••••••• •• 52 I I I Pole Komb.inasi Peker jaan di Luer Pertanian

yang 01tangani oleh Responden den Rata - Rata Pendapatannya untuk Setiap Kategori ••••••••• 53 IV Sumber Pendapatan dari Beberapa 8idang Lain

dengan Berbagai Kombinasinya ••..••.••••••••• 54 V Pendapatan Responden dari Luar Sektor Perta-

nian • • • . • • • • • . • . • .. • . . . • . . •••.••.••••••••••. 56 VI Pendapatan Akhir Responden deri 8idang

Perta-

nian den 8idang Pekerjaan di Luer Pertanian •. 57 VII Sumbangan Pendapatan Pekerjaan di Luar Perta-

nian terh~dap Pendapatan Rumah Tangga Respon-

d e n . . . .. . . .•. 57 VIII Pendapatan Rumah T8ngga Pak Kastin .•••••.••. 63 IX Pendapatan Rum8h Tangga Pak Sehat ...•• . . • • . . 65

X Perincian Rata-Rata Psngeluaran Rumah Tangga Per 5ektor untuk Setiap Responden ••••••••••• 66 XI Nilai Produksi Subsistensi untuk Setiap Res-

ponden • • . • • . . • • . . . • . . . .. . • . • • • . . • • • • • • • . 73 XII Pendapatan Responden dari Pertanian, Pek~rja-

an di Luar Pertanian dan Produksi SUbsistensi 74 XIII Teksiran Keadaan Kemiskinan Rumah Tangga Res-

ponden dangan Memakai Ukuran Sejogyo •••••..• 76 XIV Pandangan Responden tentang Akibat Pekerjaan

di Luar Pertanian terhadap Pertanian ••••.•• • 82 XV Pandangan Responden terhadap Kehidupan Rumah

Tangganye Dibandingkan dengan Tehun Permulaan ketika Bermukim di oasa Bukit Hagu ••••.••••• 89

X~I Pandangan Responden terhadap Kehidupan Rumah Tangganya Dibandin9kan dangan di Jawa ••••••• 90 XVII Paresaan Responden Selama Bermukim di Oasa

Bukit Hagu •..••••...•.•...••...••••••••••• 91 XVIII Pandangan Responden terhadap Kehidupan Rumah

Tangganya di Mesa Depen •.•. •• , ••••••••••.•• • 92 XIX Cita ~ Ci~a PQdi~ikDn yang . Diinginkan Res-

ponden untuk Anak- Aneknya . • . . • . •.•• . •.••••.. 95 XX Sarene Pend1dikan Formal di Oese Bukit Hagu.. 97 XXl Pandangan Responden ten tang Cite-Cits PekGr-

jaan Anaknya •. •. • . . . • . . . ..•••.•••••••••. 98

v

(5)

A 8 5 T RAC T

The village of 8ukit Hagu, located in kecamatan lhoksukon, North Aceh, is a settlement of transmigrants from Java.

Although agriculture was initially planned to be their main source of livelihood, the villagers presently derive

the bigger part by far of their incomes from a variety of non- agricultural economic activities. The reason for this development is the risk involved in agriculture due to the condition of the farmland, the climate and various crop

pests. As crop yields were not sufficient to satisfy their needs, farmers sought additional sources of income by

making use of specific skills they had acquired while still in Java. Through these activities outside

agriculture, they arB able to sustain their households.

This occupational multiplicity, howeever, does also have negative effects on the development of agriculture as well as on the families concerned and village society

in general.

The majority of the villagers are rather pessimistic about their future. So far their incomes are barely

sufficient to more or les9 satisfy basic needs, whil e agriculture does not guarantee safety in the long run.

The villagers are aware of the importance of formal education for their children. Many of them would rather have their children achieve a higher social status

becomin~ government employees.

vi

(6)

SAS I

PE N 0 A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalsh

Indonesia adalah sebuah negare egraris. Seat inl di- perkirakan sekitar 55% penduduk Indonesia melakukan ke- giatan pada sektor pertanian (Sumaharja 1983: 5; BAPPEDA Daerah Istimewa Aceh 1983: 6; lJirosardjono 1983: 15). Te- rutema sakel! masyarakat pedessan int1 pekerjaannya eda- lah pertanian (Soekanto 1982: 146; Marbun 1980: 19) .

Masyarakat pedesaan memang keb~nyakan menjadi pate- ni. Namun banyak pule di enters mereka yang melakukan pe- kerjaan di luar sektor partanian. Bahkan ada di anteranya yang mengkombinasikan keduanya sehingga timbullah pola nafkah berganda (Sejogya 1978: 5f. ) . Penggambaran masya- rakat pedesaan, biasanya secara otcmatis dianggap sebagai masyarakat peteni. Akibatnya anggota masyarakat yang me- lakukan pekerjaan di luar pertanian, kurang memperoleh kajian ilmiah dart kalangan peneliti masyarakat

(Koentjaranin9rat 1975: 23) .

8eberapa penelltian yang pernah menyinggung tentang pekerjaan di lusr psrtanian, entera lain dilakukan olsh Koentjaraningrat (1975), yaitu terhadap dua masyarakat pedesaan yang terletak di sebelah aelatan Jakarta. Kamu- dien Rukmadi Warsito (1975) menulis pule sebuah karya i1- miah tentang hal yang sams, yaitu merupakan hasil samping- an deri penelitian sosio-agro- ekonomi di daerah pengalran Juana-Uelahan.

Apabila diperhat!kan kedua karys ilmiah !tu, pada ,

dasarnya ada1eh hasil penelitian terhadap beberapa desa non transmigresl. Sedangkan penelitian terhadap desa

transmigrasi yang S8cara khusus mengkaji masalah yang sa- me, yaitu pekerjaan d! luar pertanian, tampaknya belum banyak memperoleh perhatien. Padahel sabagaimane diksta-

ken olsh Col in MacAndraws dan Fachrurrozie bahwa salah setu faktor penting deIsm pengembangen proyek transmigra- si, adalah dengen menciptakan lapangan pekerjaan di luar pertanian, terutama sakeli pada daerah-dserah yang

1

(7)

2

kering, d! mane pembangunan sarene 1riga51 tidaklah me- mt}"gkinkan (1982: 135).

Hal yang same dirumuskan pule delam salah satu ha- sil Seminar dan Lokakerya tentang Transmigrasi, yang di- selenggarakan oleh Pusat Pembinaan Sumberdaya Manuala

(PPSM 1980: 13) , yang juga meni1.i per1unya bidang- bi- dang pekerjaan d! lusr pertanian, sehingga memungkinkan para peteni transmigran untuk memperoleh pendapatan tam- bahsn, seauei dangsn bakat dan kemampuannya.

Meskipun Colin MacAndrews, fachrurrozie dan PPSM me- nilal sang at panting adanya pekerjaan di lusr pertanian yang perlu dikembangkan di daerah transmigrasi, nemun penjelasan yang lebih terperinci mengenai messIah itu, ma-

sih kurang memadai.

01 samping itu, memang harus diakui, sepertl apa yang dikemukakan oleh Kampto Utomo bahwa, mempelajarl masalah

transmlgrasi di mana saje, pade dasarnya adalah sangat me- narlk (1975: xii). Hal itu memang ads benarnya, terbukti dari adanya banyak buku den artikel yang membahss tentang transmigrasi. 8eberapa di antaranya ialah buku yang ditu- lis oleh M. Amrs1 Sjsmsu (1956), Kampto Utomo (1975), Suharso et al. (1976), H.J. Heeren (1979) , hasil Seminar den Lokakarya ten tang Transmigrasi yang disunting oleh PPSM (1980), kumpulan artikel yang disunting olsh Colin

MacAndrews dan Rahardjo (1982) , kumpu1an artikel yang di- sunting oleh Joan Hardjono (1982) , dll.

8eberapa ertikel dalam maja1ah atau suret khabar juga membicarakan masalah transmigrasi, misalnya arti- kal yang ditulis eleh Joan Hardjono (1980), William L.

Collier (1980), Sadjo Soewardi et al. (1980) , Masri Singarimbun (1980), d11.

Apabila diperhatikan isl dart buku-buku dan arti- kel-ertikel itu, ternyata juga belum ads yang secara

khusus mengkaji messlah pekerjaan di luar pertanian yang berkembang di daerah transmigrasi. Kebanyakan di antara- nya membahas mesalah transmigrasi mema~ei pendekatan sosial ekonomi deIsm arti umum, ekologis dan sejarah.

(8)

3

Sus tu hal y8n9 menarik ialah karya-karya ilmiah terse- but, masih kurang menaruM perhatian tBrhadap messIah transmigrasi yang ada di Oaerah Istimewa Aceh. Keba- nyaksn di antaranya membicarakan tentang transmigrasi yang berkaitan dengan daerah Sumatra Selaten, Sulawesi dan Kalimantan.

Bertitik tolak dari kenyataan itulah, make peneli- tian inl justru untuk lebih memusatken perhatian pade masyarakat transmigrasi, yang mengambil pekerjaan di luar pertanian. Oatanya diambil dari masyarakat dasa transmigran Jawa yang bermukim di Oasa Bukit Hagu, Ke camatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Beradasarkan pengetahuan penulis, tampaknya penelitian terhadap dasa itu belum pernah dilakukan, terutema sakali yang khusus berkaitan dengan masaIah pekerjaen d! luar pertanian.

B .

Rueng Lingkup ~ Tujuan Penelit!an

MesaIah yang ditelaah dalam penelitian ini, diba- tasi deIsm ruang lingkup sebagai berikut :

1. Latar belakang adanya kegiatan di kalangan peten!

transmigran Jawa di Dssa 8ukit Hagu, untuk mengambil pekerjaan di lusr pSTtanian, padahal mereks sebenar- nya diharapkan mampu mengembangkan sektor pertanian sebagai mata pencarian utama. Hal ini dilihat der!

seg! faktor yang mendorong den menarik mereka untuk melakukan kegiatan tersebut. Pengalaman masa lampeu sebeIum mereka ditransmigrasiken jugs dilihat, gebeb biae jadi hal itu ikut pule mewernai keputusan mers- ks deIsm memilih den mengambil pekerjsan di luar pertania n •

2. Gambaran ten tang jenis-jenis pekerjaan di lUBr par- tenisn yang ads di dass itu, yang menysngkut tentang serena yeng dipakai, proses kegiatan itu, hubungan

manuais yang terlibat di daIamnye, den pengaturan output yang dihasil kan sampai mendatangkan pendapat- an.

3. Gambaran tentang akibst yang ditimbulkan oleh adanya pekerjaan di lusr pertanian, baik tBrhadap sistem

(9)

pertanian itu sendiri, kehidupan masyaraket desa, maupun terhadap pendapatan kaluarqa delam rangkan me- manuhi kebutuhan hidupnya.

4. Gambaran.tentang penilaian mereka terhadap pekerjaan di lusr pertanian, dibandingkan dengan sektor perta- nian del am kaitannya dengan prospek kehidupan kelu- ergs di mesa depan.

Tujuan daripada penelitian ini, dimaksudkan sebagai langkah untuk mencoba menggambarkan secara lebih lues den mendalam tentang berbagei aspek sosial ekonomi dan

kultural deri kegiatan peteni transmigrasi, dalam rang- ka melakukan pekerjaan di lua~ pertanian. Aspek 90sial ekonomi yang dimaksud ialah, kegiatan mereka tidak saja dilihat sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup, malainkan juga diperhatikan berbagai masalah 50- sial ekonomi yan~ mendorong atau sebagai akibat dari adanya kegietan di luar pertanian, baik terhadap kehi- dupen masyarakat desa seeara keseluruhan, maupun terha- dap kehidupan keluarga sebagai kelompok sosial yang ter- keeil. Sedangkan aspek kultural dimaksudkan untuk mama - hami nilai-nilai, konsepsi- konsepsi den faham-faham yang membimbing tindakan mereka den yang memberi makna pada

penga1eman den lingkungan mereke (Mulder 1983: xviii).

c.

Kerangka Teoritis

Indonesia dewasa inl menghadepi beberepa mesaIah ke- pendudukan den salah sa tu di antaranya ialah mesalah pe- nyebaran penduduk yang tidak mer~ta (Oay 1977: 1). Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah melaksanakan perogram

transmigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari daerah

yang padat penduduknya ka daerah yang jarang penduduknYB, den mesih berada dalam batas suatu negara (Hearen 1979:

7; PPSM 1980: 1). Melalui program transmigrasi, diharap- kan mereka dapat melakukan tata huni lahan, dalsm artisn memakei lahan untuk pemukiman, sumber dan tempat kehidup-

an (Soepardi 1983: 4).

Tujuen transmigrasi, tentu saja tidak semete-mata

(10)

5

untuk memindahkan penduduk dart daerah yang padat huni ke daerah yang langka huni, melainkan yang terpentlng la- lah meningkatkan kesejahteraan, integrasi nasional ante- ra suku, den meningkatkan produksi bahan- bahan makanan khusus beras den lain-lain komoditi (Tohir 1983b: 129;

Oay 1975: 132; 5ingarimbun 1979: x-xi) . Untuk mencapai tujuan itu, make setiap keluarga transmigran diberikan lahan pertanian sekitar 4-5 ha, untuk mereka yang dimu- kimkan di daerah kering tanpa pengairan, atau sekitar 2 ha untuk daerah pemukiman yang sudah ada pengairannya

(Subroto 1976: 29). Dengan adanya pemberian lahan 1nl, diharapkan akan lahir masyarakat pedesaan transmigrasl yang mengelola bidang pertanian sebagai mata pencaharian- nya yang pokok.

Menurut A.T. Masher sebagaimana dikutip oleh Su'ud et al. (1983: 2) bahwB, pertanian pada dasarnya adalah sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas prOBes pertumbuhan tanaman den hewan. Sedangkan Moelyadi

8anoawidjojo mengatakan bahwa :

"Pertanian adalah sagala kegiatan yang ditujukan ter- hadap usaha-usaha reproduksi secara organis, make akan meliputi kegiatan-kegiatan didelam kelima sek-

tornya, yaitu pertanian rakyat, perkebunen, peternak- an, perikanan, dBn kehutananrl (1974: 39; TeMit 1983a: 1) •

Kemudian Mubyarte menyarankan pembagian bidang pertanian itu menjadi dua yeitu :

" ••• usaha tani rakyat dan perusahen pertenian. 01- tinjeu dari sagi ekonomi, pertanian rakyat sebagai pertanian keluarga (pertanian subsisten atau sete- ngeh subsisten), sedangkan perusahan pertanian adalah merupakan perusahan pertanian yang diusaha~

ken sepenuhnya secara komersial "(19S1: 15).

Bertitik tolak dari pembagian ini, make delam pembica- raan selanjutnya, yang dimaksud dengan pertanian, ditu- jukan khususnya terhadap usaha tani rakyat.

DeI am hubungennya dengan pertanian, maka orang yang mengelo1a sebidang tanah untuk usahe tani disebut peteni (PPSM 1980: 28j bandingkan Landsberger dan

Alexandrov 1981: 8f.). Petani yang melaksanakan usaha

(11)

6

tan! pade dasarnya berperan sebagai juru tan! dan penge- 101a (Su'ud et a1. 1983: 79f. ) .

Satiap petani di delam usahanya tantu memiliki tu- juan yang bersifat ekonomis, yaitu memproduksi hasil-ha- sil partenian apakah untuk dijual, ataupun untuk dip er- gunakan cleh keluarga sandiri (Su'ud et al. 1983: 85) , Untuk memperoleh hasil partenisn make petani memerlukan sejumlah input produksi yang meliputi tanah, air, bibit,

pupuk, hewsn, tenaga kerja, inseksida, kredit den pers- latan kerja (Deuster 1982: 141) . Kemudian malelui proses

produksi SBcara biologis, make petani memperoleh pengha- silan yeitu del am bentuk barang- barang hasil partenisn yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga ateu di-

pesarkan. Dengan memasarkan hasil pertaniannya, petani akan bisB memperoleh pendapatan yaitu, penghasilan beru-

pa uang yang diukur dalam jangka waktu tertentu, umpama- nya semtnggu, sebul an, sctahun, atau jangka waktu yang

lebih lama (Kadariah 1981: 26).

Para petant dalam melaksanakan kegiatan usaha tani- nya, ten tu memiliki suatu perhitungan. Kenyat aannya me- mang

"Semua petani memikirkan biaya dan penerimaan, teta- pi beberapa diantaranya dinyatakan dalam uang, se- dangkan yang lainnya bersangkut paut dengen kedu- duken den tanggung jaweb tiep- tiep pateni itu dida- l am mesyarakatnya. Jika keluerge peteni itu meng- konsumsi sendiri sebagian dari hasil usaha taninya, maka keperl uan akan bahan makanan sehar i-hari den hasil- hasil l ain dari usaha taninya akan merupakan faktor utama didalam pemilihan usaha-usaha didal am usaha taninya. 8agi hasil yang ditanam untuk dijual, pemilihan usaha- usaha itv akan dipengarvhi oleh mu- dah ateu tidaknya mencapai pesar untuk bermacam-ma- cam hasi1 itu dan oleh harge pasarnya masing- masing"

(Su'ud et al . 1983: 89f.) .

Tentu saja para peteni, selain memperhitungkan biaye, harga dan pendapatan seperti tersebut di atas, tidek me- ngabaikan mot iv memperoleh kepuesan yang didapat dari

pekerjaan itu, steu perhitungan-perhitungen 509iologis den kul tura1 (Kaderiah 1981: 48; Suhono 1980: 114) .

Mereka tidak hanya mBmerlukan kepuasan biologis, me1ain- kan juga kepuasan psikologis (HBrsojo 1977: 125; Suhono 1980: llO) .

(12)

7

Menurut Sumitro Ojojohadikusumo (1981: 1), bahwa ma- nusie memiliki lime jenis kebutuhan pokok yang selalu di- usahakan untuk dipenuhi yaitu pangan, sandang, pemukiman, kesehatan den pendidikan. Ada pule yang mengidentiflkasi- ken kebutuhan pokok itu menjadi tujuh kebutuhan dasar yang terdiri dart: 1) makananj 2) pakaian; 3) perumahanj

~) kesehatanj 5) pendidikan; 6) kebersihan den transpor- tesij den 7) partisipasi (Sumardi den Evers 1~82: vi) .

Delam rangka memenuhi kebutuhan itu, A9nurut Alfred R. Leteiner, sebagaimane dikutip cl eh 8an~un den Hesyir dikernukakan bahwa :

I'T~hap parterna ia akan manear! seslatu yang depat di- maken untuk menghindari rasa laper. Tahap kedua ba- ru ia memikirkan perlindungan tubuhnya sendiri mau- pun gangguan dari pihak luar y~g akan memusuhi- nya. Tahap ketiga baru dia akan berusaha mencari ka- wan. Tahap keempat dia akan beI1Jsaha melebihi kawan- kawannya agar dia lebih diharg£i" (Bangun dan He5yir 1976: 54) .

Jadi dapat disimpulkan bahwa manusja akan lebih dehulu memenuhi kebutuhan primernya yaitu maka~ , perumahan dan sandang, baru selanjutnya memikirkan ma!alah-masalah lain seperti pendidikan, kesehatan, re~reasi, dll.

Kebutuhan manusia itu, pads dasarnYl biss diusshakan untuk dipenuhi melalui salah satu sektor mata pancarian hid up yaitu pertanian, yang disebut puIs )ektor tradisio- nal (Hidayat 1978: 419) . Hanya saja mung<i~ sekter parta- nian belum mampu sepenuhnys untuk memen~hi ;eluruh kebu- tuhan tersebut. 8eberapa fakter yang dapat mtnjadi mQny8~

babkannya lalah, lahan yang sempit; pen~airan yang jelek, patensi usaha tan! yang rendah, keadaan iklim, 1angguan hama, bencane slam dan pemasaran hasil pertanisr. yang ku- rang menguntungkan.

01 samp1ng itu, dalam sektor pertenisn di das'eh pedesaan, siklu8 pemakaian tenaga kerja tergantung l~ri musim. Ada seat- saat yang banyak menyerap tenaga kerj, dBn $ebaliknya ada pula saat-seat yang kurang memerlu'~n

tenaga kerja. Kerene itulah di deerah pede sa an terdaoat pengangguran total maupun pengangguran musiman

(13)

s

(Sirowo 1974: Slf.). Keadaan seperti inl tentu ikut pula mempengaruhi tingkat pendapatan petan!, yang akhirnya akan mempengaruhi juga usaha mereka deIam memenuhi kebu- tuhan hidupnya.

Petani yang belum bisa memenuhi kebutuhannya, apa - lag1 yang berkaitan dengan kebutuhan primernya, make un- tuk memperoleh tambahan pendapatan, mereka bisa mengam- bil pekerjaan upahan sebagai salah satu car a bagi rumah tangga pedesaan untuk berpartisipasi di pesar tenaga kerja, atau bisB juga mereka mensuplai tenaga kerjanya bagi kegiatan non pertanian (Squire 1982; 100).

01 daerah pedesaan ada beberapa kegiatan di luar pertanian yang dikenal pule dengan iatilsh sektor infor- mal non pertanian, yeitu unit- unit usaha yang tidak atau sed!kit sakal! menarima proteksi akonomi secara ream!

dari pamerintah. Sektor in! terdiri dari lima sub-saktor

ya!~~, industri pengolahan, angkutan, bangunan, jass dan perdagangan (Hldayat 1978: 418f. ). Kemudian Rukmadi Warsito, berdasarkan penelitiannya di Lembah Juans, mem- buat penggolongan pekerjaan di luar pertanian yang ads di daerah tersebut, yang meliputi industri rumah

bakulan, buruh, tatan!age padi den memanfaatkan kungen (1975: 38~f.; bandingkan Koentjaran!ngrat 63f.).

tangga, 11ng- 1975 :

Bedasarkan uraien di etas, maka dapatlah d!rumuskan bahw6, yang dimaksudkan dengsn pekerjaan di lusr perta- nian ialah, kegiatan yang dilakukan oleh patani untuk memperoleh sejumlah penghasilan atau pendepatan, den ke- giatan Itu bisB saja seme sakel! lepes dari pertanian, ataupun bisB juga masih ada hubungannya. Jadi mereka da- lam memperoleh penghasilan atau pandapatan tidak secara langsung mel!batkan diri pade proses pertumbuhan taneman dan hewan.

Dalam pelaksanean kegiatan di luar bidang pertanian ini, ada pule yang merupakan ~uatu proses produksi untuk

menghasil~an sejumlah output tertentu. Karena itulah di- perlukan sajumlah unsur produksi yaitu, alam, tenega

(14)

kerja, modal den pengelolaan (Su 'ud et al. 1983: 76). Sarang yang dihesilkan, disampaikan kepada kansumen le- wet pemasaran. Pemasaran saring didifinisikan sebagal :

I' • • • suatu sistem yang mencerminkan hubun9an- hu-

bungan yang melembaga (institutionalized) delam per- gaulan masyarakat, yang mempengaruhi care-cara, ke- cepatan den volume arus barang sejak dari produsen

sempei ke konsurnen" (Vasni 1972: 1.12) .

Melalui pemasaran make mereka baru memperoleh pendapatan yang siap dipakai untuk memenuhi kebutuhannya.

DeIam rangka memenuhi kebutuhan itu, mereka memer- lukan jase atau barang, yang bisB didapat melalui paser atau pertukaran. Kemudian produksi pertanian yang dihe - silkannya, selain untuk dikonsumsi bagi kebutuhan keluar- ga sandiri, tantu bise pule dipasarkan. Bagian produksi pertanian yang dikonsumsi sandiri, disebut produksi sub- sistensi (Evers 1982b: 321). Namun, produksi subsistensi memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu meliputi :

"Apa yang diproduksi sendiri dikonsumsi sendiri dan apa yang dikonsumsi sendiri diproduksi sendiri. Tentu saja perkataan sendiri ini tidak mutlak satu orang, mungkin satu keluarga (besar atau keeil)

satu masyarakat keeil atau sekelompok orang-orang.

Banyak barang-ba~eng dan jasa- jasa yang tidak me - lalu! pasar dan tidak melalui pertukaran

ll (Akbar 1980: 62; Evers 1982e: 16f. ) .

Jadi ptoduksi subsistensi meliputi produksi barang dan jass olah anggota-anggota rumah tangga untuk digunakan sandiri «(vets 1982b: 326). Dengan cara seperti itulah,

make 5uatu rumah tangge bisa pule mempertehankan kalang- sungan hidupnya.

01 daerah transmigresi, muneul 9uatu maayarakat pe- teni yang oleh Heeren (1979: 143) disebut pule dengan

iatiIsh masyarakat baru. Menurut Winsenmius sebegaimana dlkutip oleh Hearen, dikatakan bahwa daerah pemukiman yang baru memilikl eiri-clri khas yaitu:

"A. Faktor ekonomi : 1) kurang modal; 2) kurang la-

pangan kerjs; 3) difor9nsiasi ekonomi tidak be- ssr; 4) tingkat kemakmuran yang awalnya randeh;

5) kurang pengalaman (organisasi) i 6) parten ..

tangan dengan lin9kungan sosial;

B. faktor sosial : 7) susunan umur yang khusus para

(15)

lU kolon1; 8) rasie kelamin yang khusus; 9) adat isti- adat yang kasar; dan la) seleksi u (1979: 143) .

8alurn terhitung 1agi hambatan yang sering ditimbulkan oleh lahan yang kurang menguntungkan bagi petani, dala~1

rangka meningkatkan tarap hidupnya (Rughby 1983: 1). Kn-

rene keadaan secerti itulah, maka di daerah pemukiman yang baru terjadi mobilitas 50sia1 dari seg1 geografi, misalnya pergi ke tempat lain untuk memperoleh pekerja- an dan pendapatan yang lebih baik. Bisa juga terjadi mu- bilitas sosia1 dari s8g1 sosia1 ekonomi, misalnya

gentian pekerjaan, ateu mobilitas 50sia1 dar i s8g1 per- psi- kis, mis81nya penyesuaian yang cepat terhadap lingkung- an yang baru (Hearen 1979: 144) .

Apapun jenis pekerjaan yang diambil, balk daIam bentuk pergantian peker ja·an, maupun penggabungan peker-

jaan, maka tujuannya yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. 8isa juga untuk modal kelanjutan usaha, disimpan dalam bentuk uang kontan, atau mambali benda- benda tertentu yang dianggap berharga. Hanya saja barapa besar pendapatan dan waktu yang dihabiskan untuk melaku- kan kegiatan pada bidang pertanian ataupun di luar parta- nian, tidaklah mudah untuk menghitungnya. Dalam kaitan ini, Koentjaraningrat berpendapat bahwa:

" ••• p roporsi penghasilan serta jumleh waktu yang di- hebiskan pade kedua sektor itu selalu berubah, den

seb~gai akibatnya emet sukar ditentukan, tidak ha- nya perbedaan antara petani dengan non peten! me- lainkan juga antara pekerjaan utama dengan peker ja- an sekunder" (1975: 26) .

PPSM menilai bahwa petani yang memiliki pekerjaan di luar pertanian ada pule manfaatnya. Sebab hal itu

tidak seja bererti mereka memiliki pekerjaan sampingan, melainkan memungkinkan pule meraka memperoleh pendapat- an tambahan deIsm bentuk uang tetap. Dengan demikian hasil pertanian biaB dimanfaatkan untuk modal cadangan.

Adanya modal cadengan, memungkinkan mereka untuk lebih berani mengambil resiko delam menerima inovasi. Tetapi bisa juga terjadi, yaitu panekanan yang berlebihan ter- hadap pekerjaan di luar pB~tanian, membawa akibat

(16)

11

5smpingan, antars lain lahan menjadi terlantar (1980:3f) . Oi samping itu, tentu harus pule diperhatikan bahuB, untuk memahami prilaku wanusia te:-masuk juga petsni, ma- ke sistem nilel budaya den sikap yang dianutnya perlu d'- ketahui. Sebeb kedua unsur i~u, menimbulkan pole- pole cu- ra berfikir tertentu, yang akhirnya akan mempengaruhi pu- le tindakan mereka dalsm hal membuat keputusan panting deIam hidupnya (Koentjaranlngrat 1982a: 15) .

Sehubungan dengan hal itu, Redfield berpendapat ten- tang nia1ei- nilal petan~ yaitu :

11 • • • kete.rikatan yang delam dengan tanahnya sandiri ,

sikap hormat terhadap tempat tinggal dan kebiasaan nenek moyang; kekAngan terhadap menceri diri sandi- ri secara individual demi keluarga dan komunitas, kecurigaan tertentu, barcampur dengan penghargaan terhadap kehidupan kota, etik yang sederhana dan bersifat duniawi" (J.982: l l l f . ) .

Sedangkan Koentjaraningrat berpsndapat bahwB, sistem ni- la1 budaya peteni Indonesia khuBusnya Jawa, yeitu mereka beranggapan bahwa hidup pad a hakeketnya buruk, tetapi untuk diusahakan menjndi suatu hal yang baik den menye- nangkan. Mereka beranggapan bahwa manllsia itu kerja un- tuk hidup saja den mereka hanya berorientasi terhadap hari sekareng, den kurang meperl1itungkan hadi depan. Se- lain itu, mereka berusaha mcncari keselarasan dengan alam den biasanya menghadapi sesamanya dengan jiwa go-

tong royong (Koentjaraningrat 1982a: 23f.) .

Oi samping itu, Oaburn dan Nimkoff mengatakan seba- gaimane dikutip oleh Tohir, bahwa kehidupan perekonomi an

itu ditentuken oleh banyak faktor, di antaranya :

Ill) lingkungan alam (environment); 2) warisan sosial (social heritage), pendangarl hidup, adat istiadat dan lembaga-lsmbaga yang diwariskan mesa lampau: 3) keturunan (heridity); 4) hidup bermasyarakat

(the group) , bagaimana kedu~ukan dan pandangan me- ngenai ekonomi, bagaimana sifat dan akhlak dari masyarakat" (19838; 52).

Tentu saja sistem ni1ai dan faktor- faktor tersebut perlu diperhat1ken, untuk 1eb1h memperoleh pernehaman terhedap

prilaku 9091al ekonomi yang diperlihatkan oleh petani.

(17)

12

D. Metodologi Peneli tien

1. Lakes! Penelitian den Pengambilan Sampel

Penelitian inl dilaksanakan di OBsa Bukit Hagu, Ke- camatan LhoKsukon, Kaoupaten Aceh Utara. Oesa itu adalah sebuah dase transmigrasi, yang penduduknya barasel dari Jawa. Sel ain berteni, banyak penduduk dass itu yang mela- kuksn pekerjaan di lusr pertanian. Hanye saja berapa jum- Ish rumah tangga yang memiliki pekerjaan di lusr pertani- an, tidak ada eataten yang resmi.

Keadaan serupa ini menyebabkan timbulnya kasulitan delsm mengambil sampel. Kerene itulah prosedur sampling den basarnya sampel tidak ditentukan secara ketat, sabeb penelitian inl hanya dimaksudkan untuk mengumpulkan data deskriptif den tidak ada maksud mengetea sejumlah hipo-

teaa.

Adapun prosedur sampling yang ditempuh adalah se- bagal berikut : Mule-mula rumah tangga yang memiliki pe- kerjaan di luar pertanian dikelompokkan ke deIam tiga go- 10ngan yait.u : 1) industri rtJmsh tangga; 2) pedagang stau membuka warung; den 3) MerantBu. Bidang industri ru-

mah tangga diperinci lagi menjadi lime sub-bidang, yang empat di antaranya diketahui jumlah rumah tangga yang

t.erlibat di dalamnya, yaitu : 1) pembuat tahu delapan ru- mah tangga; 2) pembuat tempe lima rumah tangga; 3) pem- buat (penganyam) tampah empat rumah tangga; 4) pand&i be-

si satu rumah tangga; dan 5) pembuat kerupuk opak tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Mereka yang berdagang ateu membuka warung sejum1ah 15 rumah tangga. Sedangkan yang merantau aecara pasti jumlehnya juga tidak

diketahui.

Empat sUb- bidang kegiatan den satu bidang kegiatan yang dikatahui jumlah anggotanya, maka setengah dari ma-

sing-masing jumlah anggota itu dijadikan sampel . Teknik pengambilannya memakai simple random sampling. Dengan cara ini, make jumlah sampel menjadi 16 rumah tangga, yang perinc1annya sebagai berikut: 1) pembuat tahu

(18)

13 empat rumah tangga; 2) pembuat tempe dua rumah tanggaj 3) penganyam tampah dua rumah tangga; 4) panda! best sa- tu rumah tangga; den 5) pedagang atau membuke warung tu-

juh rumah tangga.

Sedangkan untuk bidang pembuatan kerupuk op~k dan merantau, sampelnya ditentukan memakai teknik snowball sampling. Dengan cara lni, make sampel ditentukan mula!

dari kelompok keeil yang sudah diketahui, lalu diminta untuk menunjukkan kawannya masing- masing. Kemudian kawan- kawan inl diminta pule untuk menunjukkan kawannya masing- masing dan begitu seterusnya, sehingga kelompok itu 58- nantiasa bertambah besar (Nasution 1982: 114). 8erape be- sar jumlah sampel untuk setiep ke!ompok itu, tidak diten- tuken den yang dipakai pertimbangan ialah tingkat keje- nuhan data, ukuran validitas den relisbilitas. Selain

itu, data didapat pule dari beberapa orang informan, mi- salnya Pamong Desa, Guru SD, Guru SMP, Mantri Kesehatan, Petugas Oin8s Perkebunan, dll .

2. Teknik Pengumpulan Data ~ Ana1isa Data

Pengumpu1an data di1akukan dengan wawancara den ob- servesi. Rumah tangga yang menjadi sampe1 dikunjungi den diwawancarai kepalanya, dengan memakai kuestioner yang ssragam se~agai pedoman. Dalsm ha1-hal tertentu juga di-

pakai in-depth interview.

Delam rangka menghitung jum1ah pendapatan mereka da- ri pekerjaan di luar pertanian, make diusahakan untuk me- nanyakan kepeda para petani, tentang bulan- bulan apa seja mereka bekerje di luar pertanian, kemudian delsm bulan

itu berapa hari rata-rata bekerja dan diusahakan mencari hart kerja riilnya. Kemudian ditanyekan pule rata- rate penerimaan setiep hart kerjanya.

01 samping itu, untuk memperoleh gambaran tentang kese1uruhan pendapatan setiap rumah tangga responden, ditanyaksn pula pendapatan yang mereka terima dari per-

tanian den kegiatan- kegiatan lai n yang biss mendatangkan uang. Kemudian produksi subsistensi daIam bentuk barang,

(19)

14 juga diuangkan dengan memakai perbandingan harga barang yang sama, kalau didapat leuat pasar. Hanya saja, produk- si sUbsistensi dalam bentuk jasa kerene suIit menguang- kannya terpaksa diabaikan. Namun tetap harus dicatat bah- wa produksi sUbsistensi ~alam bentuk j asa memang memain- ken parensn panting delam kehidupan suetu rumah tangga (Evers 1982a: 16f.). Kemudian ditanyakan pule pengeluar- an setiap rumah tangga responden, dengan memperhitungkan

~ barang den jass yang dikonsumsi den didapat lewat pasar.

Dengan cara inl diharapkan memperoleh sua tu perhi - tungan yang agak mendekati kebenaran, ualaupun sudah ten- tu tidak terlepas dart kesalahan. Sabeb untuk memperoleh data mengenai pendapatan dan penge1uaran rumah tangga yang akurat memang sangat1ah sukar (Sajogyo 1983: 185) .

Teknik ana1isa data bersifat deskriptif kua1itatif dengan mengutamakan pengkategorian data yang didapat di lapangan. Ua1aupun demikian, analisa kuantitatif tidak diabaikan.

(20)

8AB I I

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Letak, Pole E!.LkampUnQB'.! ~ Rumeh-Rumah ,2.1 Oasa 8ukj;.~

Hagu

Oesa Bukit Hagu keadaan tanahnya berbukit-bukit den terletak di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Jarak desa itu dengan ibukota Kecamatan sekitar 16 km ke sreh timur laut. Jalan yang menghubungkan desa itu dengan ibukota Kecamatan dapat dilalui mobil. Setiap hari paling tidak ada tiga buah mobil yang menghubungkan desa itu de- ngan ibukota Kecamatan.

Lues desa itu 5s1uruhnya 1.650 ha, dengan perincian tanah pekarangan 125 ha, lahan J 375 ha, den lahan IT 1.000 ha. Sedangkan sisanya yaitu seluas 150 ha tanah mi-

Iik dasa, yang dipakai untuk fasilitas 90sia1 (Sosrodihardjo 1980: 101).

Lahan 11 yang merupakan huten cadengan, mengelilingi desa itu. Hanya di sebelah selatan, yaitu pade bagian yang berbatasan dengan Oesa Bola Mas dan Aluelohop, ling-

keran hutsn itu mulai terputus, sabab sudah dibuka oleh penduduk untuk lahan pertanian.

Pole perkampungan di desa itu, terdiri atas enam Pa- tok (gang, lorong) yang letaknya berjauhan satu sama la-

innya. Di entera setiap Patok diseling! oleh ladeng yeng bongkor. Jarek entera eatu Patok dangsn Patok lainnya se-

kitar

eoo

meter, kecuali Patok V dan

VI

barjarak sekitar 400 meter.

01 tengah- tengah Oesa 8uki t Hagu, terdapat jelen utama yang membagi dass itu atas dua bagian. Kemudian pa- de setiap Petok, jelsn itu dlpotong oleh jelsn kampung,

sehingga terbentuklah perempaten. Kecuali pade Patok J,

berbentuk pertigaan dan sebagian perumahan penduduk ber- ada di pinggir jelan utama. Sedangkan perumahan penduduk

yang lainnya, berjejer di pinggir jelsn kampung memben- tuk pola linear (Babcock 1983: 78) .

15

,

f ,

(21)

16

Setiap Patok dibagi menjadi beberapa Slok. Patok T

VI terdiri dari due SIok, yaitu Bldk A den B. Patok 11, III den IV terdiri dari empat SIok, yaitu SIok A,

a , c

den O. Sedangkan Patok V terdiri dari tiga SIok, yaitu Slok

P,

8 den C. Patok V den VI hampir seluruhnya dihuni

cleh transmigran dari JawB Timur. Mereka tinggal menge- lompok, sebab perumahan itulah yang telah siap dltempati ketika mereka tiba untuk perterns kalinya. Sedangkan ~atok yang lainnya dihuni oleh transmigran dari Jaws Tengah.

Perumahan penduduk di dass itu, seluruhnya adalah ru- mah jatah, sehingga bentuknya seragam. Rumah itu berdin- ding papan, berlantai tanah den beratep sang, dengan ukur- an sekitar tujuh kali lime meter. Terdiri dari satu kamEr

tamu, dua kamar tidur, satu kamar makan, den setu ruen~n keeil untuk dapur. Semua rumah tengga rata-rate memili<i sumur, yang sekaligus dipakai tempat mandi dan mencuc ..

B. Sejarah ~

Oesa 8ukit Hagu ditempati Dleh para transmigrar se- jak tahun 1977. Terdiri dari 500 KK (kepa1a ka1uarg

J,

dengan perincian 400 (80%) kepala keluarga berasal jari Jawa Tengah, dan sisanya yaitu 100 (20%) kepala ke:ua:ga barasel dari Jawa Timur. Alesan mereka pindah ialal,

ingin memperbaiki kehidupan rumah tangganya, den ~ge ing1n memiliki tanah pertanian, terutama sekali tanah

uah sebagaimana yang dijanjikan Dleh petugas transmigra·i.

Selain itu, ada pula di enters mereks yang pindah keren di daerah asalnya saring di1anda bencana alam.

Sesuai dengan pereturan yang berlaku, make para transmigran selein memperoleh jatah lahan den perumahant mereka mendapatkan pula jaminan hidup (jadup) 5e1ama se·

tahun, pembinaan kerokhanian, bantuan bibit-bibit-

an, perlengkapan pertanian den pertukangan, layanan ke- sehatan dan berbagai latihan ketrampilan (SubagiD 1976:

28). Lahan I den pekarangan yang mereka terima masih berbentuk hutan tebangan, sehingga harus dibersihkan,

,

(22)

yang disebut dengan istil ah rnerun. Untuk itu, mereka mempero!eh upah yaitu uang pembakaran.

17

Walaupun mereka talah memperoleh berbagei bantuan dari pemerintah, namun kekurangannya tentu harus dipenutli oleh rumah tangga itu sandiTi. Untuk memenuhi kekurang- an itu, ads yang masih bisB memanfaatkan SiSB bekalnya dari Jawe, atau terpaksa ngrombeng barang-barang dibawa ke Pasar Cot Girek. Bahkan bantuan persIatsn den bibit- bibitan dari pemerintah ramal pule diperjual belikan.

Selain itu, untuk menambah pendapatan, mereka diberikan pule ijin untuk menjual aisa-sisB kayu pembakaran yang ads di ladangnya. Hal inl sesus! dengan ijin yang dike- luarkan oleh Dines Kehutanan Oaerah lstimewa Aceh Kesa-

tuen Pemangkuan Hutsn Aceh 11, dengen suratnya No.

4661/V 1/7.

Pada awal tahun 1978, panen pad! dan palawija sudah oerakhir untuk partarns kalinya di desa itu. Hasilnya cu- kup baik, yaitu sekitar 400- 500 kg per KK, ditambah le- gi dengan hasil palawija. Tenaman itu bisa tumbuh subur, sabab tanah baru dibuka, ditambah lagi siea-eisa pemba-

karan, yang memang bisa pule menambah kesuburan tanah (Soemarwoto 1983: 253; Radjaguk9uk 1984: 4) .

Selain kesulitan dalsm hal memenuhi kebutuhan hidup, mereka mengalami pula kesulitan dalam proses integrasi, ke arah tumbuhnya konsensus daripada sebagian beser 8ng- geta masyarakat terhadap norma-norma yang bersifat fun- damental. Hal inl disebahkan oleh adanya kenyataan bah- wa mereka berasal dari beroagal daerah. Demikian misal-

nya, mereka yang barasal dari Jawa Tengah, membedakan dirinya lagi ke daIam beberapa kelompok kedaerahan, yaitu orang Jawa Tengah Kebumen, Purbalingga, Tegal, CiIacap, dll . Bahkan mereka yang berasal dari satu dae-

rah atau dase, saring menyebut dirinya keluarga kita, padahal kalau ditelusuri mereka sebenarnya tidak ada hubungan kekerabatan.

Melihat kenyataan ini, dapatlah dikatakan bahwa

,

I

I

(23)

10

masyarakat Ossa aukit Hagu tard!ri dari fraksi-fraksi sosial dengan sistem norma yang berbeda. Sebeb deIam ma- syarakat Jawa memang dikenal adanya sub-kultur misalnya sub-kultur Sala-Jogya, Jawa Timuran, den Jaws Pesisiran (Tempo No. 24 Tahun XIII 1983: 31j Kasihan den Abdullah 1976: 163) . Keadaan masyarakat setups inl, memudahkan t inl-

bulnya tingkah laku beru yang "semau guel' , menurut 981e- rs den kreterianya sendiri-sendiri. Bahkan bisa pule me- ngundang lahirnya konfllk (Kartano 1981: 21; Nasikun 1974: 59).

oua fraksi 90siel yang ads, yaitu Jaws Tengah den Jawa Timur, mudeh terseret ke deIsm kancah konfl11<. Wa- laupun semula konflik itu bersifat pribadi, nemun kerene ads r~a in group, ternyata mudah melibatkan banyak orang. Demikian misalnya, pad a tahun 19B1, sekelompok

orang dari Jawa Timur 5ambil membawa senjata, beramai- ra- mai memasuki Patok 11, untuk menghukum seseorang yang di- nilal kurang adil dalam menyelesaikan urusan muda-mudi. Begitu pula dalam pertandingan sepak bola, sering berubah menjadi arena untuk mempertunjukkan rase solidaritas ter- hadap fraksi sosial. Oemikian miaalnya, delem pertanding- an sepek bole pada ekhir tahun 1983, diramaikan puIs de-

ngan adu tinju den edu kesaktian, sehingga fraksi sosial Jaws Timur ke 1uar sebagai pemenang.

Selein frak9i 909ia1 etas dasar i katan kedaerehan, Baa pula freksi s05ia1 etas dasar ikatan keagamaan. Seba- geimane dikataken oleh Clifford Geertz, bahwa penghayetan keagmaan orang Jawa sering dibedakan menjadi golong8n santri den abangan (1983: 152f. ; Nasikun 1974: 65;

Koentjaraningrat 1964: 140) , make gejala serupa Itu, tam- pak pule di Oesa Bukit Hagu. Oemikian misalnya, pad a ta- hun 1983, ketika ~ Patok II! nan99Bp (mengupah) wayang

kulit, berkaitan dengan adanya upacara sunatan, diperotes oleh sekelompok oyeng yang disebut kelompok santri. Mere- ka menilai wayang adalah harem, karena itu tidak pantas dipertujukkan , apalagi oleh Keum "sebagai orang yang

(24)

19

mengurus messIah-mesalah keagamean" (Kodiran 1975: 339) , Golongan lain menilai wayang tidaklah harem. Mere- ka tetap menyukai wayang, sabeb rnenurut Lind, sebagaima- ne dikutip oleh Hotman Siaryaan, dikatakan bahwa wayang merupakan selah satu lambang kebudayaan Jawe, den tidak

bisB dipisahkan dari kehidupan orang Jawa (1993a: 83f.).

Mel ihat kenyataan ini, tidaklah rnengherankan bahwa messIah wayang bisB mengundang konflik. Nemun semua kon- flik yang pernah terjadi di enters mereka, pad a akhir- nya bi sa diselesaikan dengan cara musyawarah, sehingga ledakan 909ial delam bentuk kekerasan, misalnya pembu-

nuhan ateu mengerusakan , dapat pule dihindarkan.

Walaupun interaksi enter para transmlgran, kursng mulus, namun dalsm ksitannya dengan orang Aceh, mereka memilikl sikap yang sama. Mereka membedakan dirlnya de-

ngan orang Aceh, dan menyebut kelompoknya dangan istil ah kita orang Jays atau kita orang Trans. Delam ha1 inl, mereka merase senesib, sabab itu1eh cenderung membeda- kan dirlnye dengan masyarakat di luarnya (Jalaluddin 1976: 93) .

Hubungan entara orang JaYa dsngan orang Aceh, ter- nyata diYsrnai pula oleh ketidak sarasian. SemuIa keti- ka orang JaYs sampai di Dasa Bukit Hagu, ada kecenderung- an mereka dinilei sebagai orang miskin. PeniIaian serupa

ini memang saring dijumpai pada daerah-dserah penarima transmigrasi (Heeren 1979: 140).

01 aamping Itu, sebagaimane dikstakan olsh Mochtar Nairn, bahwa masyaraket transmigrasi sering merupakan kan- tong-kantong enk1af yang terisolir. Mereke hidup dengan

ke~udayaannya sandiri, yang berbeda dengan keadaan pen- duduk as11 di sekitarnya (1976: 187f. j Heeren 1979:141).

Ape yang dikatakan olsh Mochtar Nairn, rnernang tampak pu- la di Oasa Bukit Hagu.

Menurut Koentjaraningrat, bisa juga terjadi bahw8 penduduk di sekitar pemukiman transrnigrasi memiIiki 51- kap negatif, karena steriotipe dan rase iri hati . Sebab pemerintah mernanjakan para transmigran dsngan berbagai

(25)

20

fasl1itas, tanps menghiraukan peilcuduk asl1 (1982b: 350) . Gejala serupa inipun ~anpak pu13 delsm hubungan entera orang Jaws dengan orang Aceh. Te:bukti dart adsnya 9un-

jingan orang Aceh yang nengatuknn bahwB, orang transmi- gran adalah allsk ernes ata~ snak pemerintah. Orang Aceh merasa diabai~an, seningga b~rlakulah pepRtah Aceh yang

berbunyi "buye tambue ~..=!..£. uongdong. bUVe tamong meurasek-

ki. Maksudnya, orang yang k~mud~an datang ternyata yang lebih banyak mendapatkan ~euntung~ntr (Jalaluddin 1976:

93) .

Melihat kenyataan itu, In~ka hubungan enters kedua kelompok 50sial itu, sala:n bisB melahirkan kerja same, tantu bisB juga melahirkan ketegangan. Hubungan dan ker- ja same di enters merel~a yang paling intensif, terutama sakali terjadi lewat pasar. Scbab motivesi pedagang da- lam kontaknya d9ngnn kelompok s~._ial lainnya, lebih ba- nyak berorientasi pade keuntullgan dengan memperluas pe- masaran, tanpa me~ihat ~lRPU yar19 terlibat di dalamnya

(Ka.1han dan Abdullah 1976: 126; Naim 1976: 187;

Heeren 1979: 139). SedDn9tca~ m03alah yang secara langsung menyebabkan timb'Jlnya kntagang3n, ialah masslah tanah, yang memang merupakon ~aleh sctu sumbar ketegangan yang umum terjadi pad a dae=ah-dccrah penerima transmigrasi

(Babcock 1983: '/7).

Pada awal Oese~bel 1977, mesalah tanah mulei tam- pek di desa itu. Hal ini dapat diketahui dari Lepersn Manager Preyek dangan ~tJratnya No. : 8.045/TA.O/Pre-II/

XIII??,

yang melaporkan adEnya kogiatan penduduk di se- kitar proyek , yang mema~uvi wilayah pemukiman tarnsmi- gran untuk menanarn tanamar. keras. Pehyerobotan Ini ke- mudian dilarang oleh CaMat LhoGltkon dengan Pengumuman

No. : 1821/3.

Timoulnya sengketa ini, tidek biss dilepaskan dart adanya batas hu"tan yang kalur. Selain itu, tampaknya orang Aceh mere sa pula berhak memanfaatkan hutan itu, berdasarkan prinsip HtJlcum Ad~t yang memang membenarkan seseorang mengubah T;mah He~}. Allah menjadi Tanah

(26)

21

Haggul ~, atas ijin Keuchik (Fakultas Hukum Universi- tas Syiah Kuala 1975: 184) .

Puncak ketegangan hubungan entara orang Aceh dengan Olrang Jaws, terjadi pade tahun 1977 . Hal ini berkaitan dengan larinya pengikut Pengacau Liar Hassn Tiro (PLHT) ateu Aceh Merdeka (AM) ke huten di sekitar Dasa Bukit Hagu. Pade tanggal 2S den 26 Desember 1977, due rurnah di Patok V, yaitu rumah No. 27 den 30 dibakar cl eh PLHT. Kemudian PLHT menyebarkan pule selebaran yang isinya en- tars lain memuat semboyan bahua, orang Jawa harus pulang ke Jawa den daerah Aceh hanya untuk orang Aceh.

Dengan edanya ancaman ini , make warga transmigran menjadi tidak tenang, sabeb salah satu kebutuhan dasar mereka yaitu, kesel ametan jiwa den harte bendanya teran- eam (Soekanto 1981: 85) . Namun setelah para penglkut PLHT ban yak yang dltangkap atau menyerahkan dirt, make

saeara parlahan-lahan keamanan di dasa itu pulih kemba-

H .

Waleupun hubungan antere orang Jawa dengan orang Aceh, diwarnai oleh ketegangan, namun pada akhirnya mere- ka mul ai &1sa saling menerima kenyataan yang ada.

Hubungan mereka tampak eemakin baik, sejalan dengan se- makin baiknye prasarana perhubunga'n den semakin menlng- ketnya arus pemasaran barang atau jasa. Oran'g Jal.le mul ai ada yang biea berOahasa Aceh, bahkan beberapa pedagang Aceh di Pasar Lhoksukon, ada juga yang biea memakai ba- has a Jawa untuk menerik para pembeli. Perksl.linan cam- puran mulai pula tampak. Paling tidak sampai tahun 1983, ada sekitar 12 orang wanita Jewa yeng kawin dengan perie

Aceh.

Berdasarkan uraien di atas, terlihatlah bahwa ada kesul itan yang dihadapi oleh para transmigran dl daerah pemukimannya yang baru. Sebab Itulah sampai tahun 1983, ada sebanyak 63 KK t ransmigran yang meninggal kan proyek.

Mereka pergi karena merase tidak kerasen. Paresean t idak kerasan itu timbul kerena orang sullt mendapatkan rajeki,

iklim den faktor alamiah lainnya yang kurang sesuai, dan

(27)

22 lingkungan masyarakat yang tidak cocok (Soemarwoto 1983:

47; Sunaryo 1982: 6). Menurut J .H. Boeke hal itu bisa pule terjadi kerene orang tidak memillki darah pelopor, sehingga apabila pindah segera akan kembali lagi ke dae- rah asa1 (19B3: 90) .

Meskipun ada transmigran yang lari, nemun ada pule transmigran swakarsa den transmigran keluarga yang da- tang ke dass itu. Mereka umumnya datang kerene diajak atau menyusul keluarganye. Alasannya ialah, tertarik clah peluang untuk mengisi rumah den tanah yang diting- galkan clah para transmigran yang lari. Se lain itu, me- rake juga tertarik clah berita mel alui hubungan Buret menyurat, yang mengatakan di Aceh mudah manesri maken kerene ramainya permintaan tenaga kerja pade pasar tena- 9s kerja. Sebab itulah apa yang dikemukakan olsh Otto Soemarwoto, bahwa orang Jaws akan bergairah bertransmi- grasi ke luar Jawa, apabila diketahuinya ada kesempatan kerja (19B3: 193), ternyata tampak pu1a di Desa Bukit Hagu.

Oengan adanye perputaran arus ~ransmigrasi, maka tidak ada lagi rumah yang kosong di Oesa Bukit Hagu. Be- lum terhitung legi oleh adanya pecehan KK, yang bisa pu- la memenpati rumah yang kosong. Bahkan pad a tahun 1geO, mula! tampak adanya KK yang tidak bertanah. Karena itu- 1ah ada sebanyak eo KK di anters meraka terpaksa mangi- kuti transmigasi loke1 ke Unit Oes8 V Lengkahan. Mereka terdiri dari 35 pecahan KK dan 45 KK transmigrasi swa- kerss dan transmigrasi ke1uarga.

Pada tahun 1983, berakhirlah mesa pembinaan terha- dap dasa itu, den pengurusan selenjutnya diserahkan pa- de Menteri Delam Negeri, untuk diintegrasikan ke deI am

administ~asi pemerintahan desa di bawah pengawasan Pe- merintah Daerah (Subagio 1976: 28). Untuk itu, maka pa- de tang gal 30 Agustus 1983, diadakanlah pemi1ihan lur-' Dengan terpilihnye Lurah, make 1ahirlah sebua~

kerene telah memiliki empat persyaratan utama

(28)

23

"1) mempunyai rakyat yang menetap; 2) mempunyai wi- layah desa yang tegas batas-batasnY8; 3) mempunyai

pamon~ dass dengan lurah sebagai pucuk pimpinannya;

den 4} memperlihatkan kegiatan-kegiatan masyerakat sebagai kesatuan desall (Utomo 1975: 64)

Oasa itu tetap memakai nama Dasa Bukit Hagu, kecua- li nama Patok diganti dengan Dukuh atau Dusun. Patok V dan VI kerene letaknya berdekatan, digabungkan menjadi

satu, sehingga dasa itu dibagi menjadi lime Dusun yaitu:

1) Dusun Bukit Harapan Mulia; 2) Qusun Bukit Amen; 3)

Ousun 8ukit Tentram; 4) Dusun aukit Bahagia; den 5) Du- sun Bukit Sukadamai.

C. Pemerintahan Oasa

Dasa Bukit Hagu ketika berada di bawah pengawasan Dapartemen Transmigrasi, diatur oleh seorang Kepala Unit Penempatan Transmigrasi (KUPT) . Tugas KUPT ialah mengatur, mem~ina dan mempersiapkan desa yang berada di bawah kekuasaannya, agar dalam jangka waktu lime tahun, bisa berdiri sandiri. Karene ituleh desa serupa itu se- ring disebut dase parsiapan atau pradesa (Ndraha 1981: 36)

Namun sajak tahun 1983, berakhirlah masa pemblnean tarhadap dasa itu, make pemerintahan dass sspenuhnya di- serahkan kepada Lurah den Pamong Desa yang lainnya, se- suai dangan ketantuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979,

tentang Pemerintahan Dasa (Soedjono 1981: 9f. ).

Berdasarkan isi undang-undang itu, dapatlah diketa- hui bahwa, Lurah atau Kepala Desa, 1Tberkedudukan sebagai slat Pemerintah, slat Pemerintah Daerah den alat Peme-

rintah Dasa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa 'T (Hendajeningrat den Hindratmo 1904: 76) . Delam masyarakat Jawa, Lurah adalah pimpinan paling atas de-

lam struktur kekuasaan baik sacara formal maupun infor- mal (Tjiptoherijanto dan Prijono 1983: 20) .

Delam malaksanakan tugasnya, Lurah dibantu olah Sekretariat Desa, yang terdiri dari dUB unsur yaitu, Sekretaris Desa atau Carik den Kepala-Kepala Urusan

(Soedjono 1981: 19). Kepala- Kepala Urusan di desa itu,

(29)

I

26

terdiri dari : 1) Kepala Urusan Pembangunan; 2) Kepala Urusan Kesejatrahan Rakyat; 3) Kepala Urusan Keuangan; 4) Kepala Urusan Pembantu Umumj 5) Kepala Urusan Agama; den 6) Kepala Urusan Kesenian. Kemudian untuk setiap Dusun, diang- kat seorang Kepala Ousun, yang berfungsi sebagai pelaksana tugas Lurah dengan wilayah tertentu (Soedjono 1981: 20).

Oi samping itu, ads pul e Lembaga Musyawarah Desa, Lem- bag a Ketahanan Masyarakat Ossa (LKMD) den Wakil Lurah. Ja- batan Wakil Lurah sebenarnya tidak ada diatur delam Undang- Undang No . 5/1979 (Soedjono 1981: 13f. ; Handejaningrat dAn Hindratmo 1984: 78f.) . Walaupun demik ian, jabatan i tu se- ngeja diadakan untuk menambah kerukunan entera fraksi sosi- al. Lurah mewakili fraksi 50sia1 Jawa Tengah, sedangkan Wa- ki1 Lureh ada1ah mewakili freksi sosial Jawa Timur.

D. Rumah Tan99a Serts Huhungan Sosia1nya

Pade akhir tahun 1983, penduduk Oasa Bukit Hagu tardi- ri deri 2.788 orang, dengan perincian 1.333 (47,81%) orang 1elaki den 1.455 (52,19%) orang wanita. Untuk lobih jelasnya ha1 itu dapat di1ihat pade Tabe1 :

T ABEL I

KEAOAAN PENOUOUK OESA BUKIT HAGU PAOA TAHUN 19B3

Umur/tahun

o

6

5 9

l a - 14 15 - 19 20 - 26 25 - 29 30 39 40 - 49 50 - 59 60 ke etas

Total

Jenis

Lak i 237 231 170 125 89 B6 163 137 61 34 1.333

ke1amin Wanita

264

,

241

,

157

,

137

,

102

,

107

,

256

,

111

,

50

,

3D

,

1.455

Total

501 472 327 262 191 193 419 248 111 64 2.788

Sumber : eataten Statistik pade Kantor Kepala 00e8 Bukit Hagu tahun 1983 .

(30)

25 Mereka te~gabung ke delam 536 rumah tangga. Dengan demi-

kian setiap rumah tangga rata- rata beranggotakan sekitar 5 oran9.

DeIsm masyarakat Jaws rumah tangga ateu somah pada dasarnya adalah kelompok kerabat yang pokok, meskipun ti- dak selamanya diwujudkan oleh tempat tinggal yang terpi-

ash, nemun sel alu olsh dapur tersendiri (Geertz 1981: 26j Koentjaraningrat 1964: 151).

Rumah-rumah tangga di dasa itu, kebanyakan terdlri dari keluarga batih. Hanya sebagian keeil yang terdiri da- ri keluarga lues. Latar bel akang pendidikan setiap kepala keluarga, sebagian besar tidak pernah menikmati pendidik- an formal . Demikian misalnya, dari responden dapat dike- tahui ada sebanyak 38 (95%) orang yang termasuk tipe ru- mah tangga keluarga batih, sedangkan sisanya yaitu 2

(5%) orang termasuk tipe rumah tangga kaluarga lues.

Pendidikan formel mereka ialah, 26 (65%) orang t idak se- kolah, 13 (32,5%) orang Seko1ah Dasar dan 1 (2,5%) orang

SMTP.

Aumah-rumah tangga itu pada dasarnya adal ah unit 50- sial yang dipimpin olsh kepala rumah tangga, dan juga me- rupakan unit desar dalam kegiatan produksi, konsumsi dan reproduksi (Sajogyo 1983: 49j H. Geertz 1983: Si Goode 1983: 4f. ). Karana itulah satiap rumah tangga di dass itu, barsema-same menangani berbage! bidang pekerjaan, baik untuk pekerjaan rumah tangga, maupun pekerjaan mencari nafkah. Semus uang ateu bareng yang dihasilkan umumnya dikumpulkan menjadi "dens bersama". yang kemudian dipa- kei untuk keperluan rumah tangga (Sajogyo 1983: 31) .

Delam kehidupan sehari-hari anggota suatu rumah tang- ga saring berhubungan dengan anggota rumah tangga yang l ainnya. Mereka berusaha memelihara kerukunan, yang di- nyatakan dengan tegur sapa sebagai "ritual sosia1 yang sopan" (Mu1dcr 1983: 66) den melalui berbagai "sistem

tolong menolong" (Koentjaraningrat 1980: 166) . Seseorang sering dimintai tolong untuk membantu me~ingankan

(31)

26

pekerjaan, penderitaan orang lain atau menyumbang deIsm selamatan, perayaan kelahiran, kematian, sunatan atau upa- eara pernikehan. Agar mendapatkan pertolongan den bantuan, orang harus saling tolong-menolong apabila diperlukan.

Sikap saling membantu inl merupakan bagian dari adat-isti- adat den norma-norma yang berlaku (Mulder 1983: 66) .

Selain itu, rumah-rumah tangga itu dituntut pule un- tuk rnelakukan berbagei kewajiban bagi masyarakat. DeIsm kaitan inl rumah tangga menyumbangkan beberapa hal kepada masyarakat, yang meliputi kelahiran, pemeliharaan pi.ik anggota keluarga, penempatan anak delam masyarakat, pema- syarakatan den kontrol 90s1el (Goode 1983: 4f. ). Kemudian kepala rumah tangga atau peria, juga mewaki l i rumah tang- ganye deIam kegietan s091al dan politik (Sajogyo 1983:49).

Demiki an misalnya, mereka ikut gotong royong, ronda malam, menjadl plmpinan pemerintahan des8, lkut berbagal perkurn- pulan, kecuall perkumpulan yang khusus bagi kaum wanita.

Akhirnya interaksl s091al yang juga penting, ialah pada puset-pusat pertemuan tldak resml, yaitu di warung, rumah jaga at,au gardu, dll. Nemun bi9a juga ter jadl, bahwa seseorang berkunjung ke rumah tetangganya, hanya sekadar untuk jagongsn atau ngobrol.

E. Berbagai Bentuk Perkumpulan,

Berbagai bentuk perkumpulan yang ada dl Desa Bukit Hagu, antera laIn perkumpulan di bidang ekonomi, kesenien dan DIsh raga den perkumpulan keagamaan.

Perkumpulan di bideng ekonomi yang terpenting islah koperasi konsumsi, yang diberi name Koperasi Bukit

Makmur. Selein itu, ada pule perkumpuIen arisen, yaitu arisan beras dan uang. Arisen beras disebut pule dengan

nama jimpitan. Kemudian ada juga kelompok tani, sebagai wadah para petani untuk membicarakan berbagai masalah pertanian.

Perkumpulan kesBnian ada beberepa rnacam. Berdasar- ken penggolongan yang dilakukan oleh Clifford Geertz,

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

Namun Baat ini tidak boleh bekerja pada hari jum ' at bukan lagi merupakan sesuatu yang di latar belakangi oleh ajaran agama atau telah kehilangan nilai

killlb, dan Musabaqab Tilawatil Qur'an (MTQ). Begitu pula hari-hari besar Islam lainnya seporti peringatan Isra' dan Mi'raj, Wmn baru Islam, dan Nuzulul Qur'arJ.

Dalam kehidupan wanita pekerja di industri bBtu-bata yang aOO di Desa Miruek Tarnan memperlihatkan adanya interaksi sosial yang tidak banya terbatas pada satu

kalau semua ini dilakukan, pengunjung akan banyak yang datang. tetapi ini tidak dilakukan mengingat segala sesuatu hal o tetapi mereka mengandalkan kepercayaan orang

Pengelolaan sumberdaya perikanan laut periu dilestarikan. Di satu sisi menjadi bahan konsumsi bagi masyarakat pada umumnya, dan di pihak lain sumber potensi

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-barang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara

Hal itu memperkuat juga hasil pe- nelitian Bagong Suyanto bersama tim Balitbang Propinsi Jawa Timur (2004) tentang peranan keluarga mampu di pedesaan. Namun

(2) Tanda pendaftaran tipe atau varian kendaraan bermotor untuk diproduksi di dalam negeri dinyatakan tidak berlaku apabila kendaraan bermotor yang didaftarkan tersebut tidak