• No results found

Catatan Teknis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "Catatan Teknis"

Copied!
4
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

Pembangunan Sektor Keuangan & Swasta

Maret 2011

Indeks Kinerja Logistik Indonesia:

Pemicu di balik Agenda Reformasi

Catatan Teknis

Apa yang dimaksud dengan Indeks Kinerja Logistik (LPI)?

LPI Bank Dunia mengukur berbagai indikator kinerja logistik di 155 negara. Nilai LPI ditentukan oleh hasil survei terhadap tenaga profesional di bidang logistik yang bekerja di perusahaan ekspedisi angkutan barang multinasional dan perusahaan jasa pengiriman ekspres yang besar. LPI dihitung berdasarkan enam indikator: (1) Efisiensi proses kepabeanan/clearance, sehubungan dengan kecepatan, kesederhanaan dan prediktibilitas formalitas oleh instansi pengawas perbatasan; (2) Kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi; (3) Kemudahan mengatur pengiriman dengan harga kompetitif, yang menunjukkan ketersediaan koneksi transportasi internasional yang terjangkau di suatu negara; (4) Kompetensi dan kualitas pelayanan logistik (misalnya operator transportasi, perusahaan pengurusan jasa kepabeanan/customs brokers);

(5) Kemampuan untuk jejak lacak kiriman ketika mengirim ke suatu negara tertentu; dan (6) Ketepatan waktu yang menunjukkan frekuensi kiriman untuk diterima oleh penerima kiriman dalam waktu yang dijadwalkan atau diharapkan sehingga mengukur keterandalan dan prediktibilitas rantai penawaran.

Berdasarkan hasil analisa Bank Dunia terhadap pengalaman banyak negara di bidang rantai penawaran maka keenam indikator ini terbukti paling tepat untuk menggambarkan kondisi logistik di suatu negara.

Fungsi utama LPI adalah memberikan indikasi umum mengenai kesenjangan terbesar

dibandingkan dengan negara- negara lain, memberitahukan situasi logistik, mendorong dialog pemerintah-swasta dan memicu momentum untuk reformasi. LPI juga dapat digunakan untuk menandai bidang-bidang kebijakan yang mungkin perlu diintervensi serta memantau kemajuan reformasi, meskipun ukuran-ukuran lain yang bersifat spesifik-negara diperlukan untuk analisa yang terperinci.

Hasil LPI Indonesia tahun 2007 dan 2010

Secara keseluruhan, peringkat LPI Indonesia mengalami penurunan signifikan yang mengkhawatirkan dari peringkat ke-43 pada tahun 2007 menjadi peringkat ke-75 pada tahun 2010 dan tetap berada di urutan ketiga terbawah dari negara-

Gambar 1. Nilai dan peringkat LPI 2010 untuk Indonesia dan negara- negara ASEAN+6

Gambar 2. Indikator nilai LPI 2007 dan 2010 untuk Indonesia

2.33 2.37 2.46 2.76

2.96 3.12 3.14 3.29

3.44 3.49 3.64 3.65 3.84

3.97 4.09

0 Myanmar (133)

Kamboja (129) Laos (118) Indonesia (75) Vietnam (53) India (47) Filipina (44) Thailand (35) Malaysia (29) Cina (27) Korea Selatan (23) Selandia Baru (21)

Australia (18) Jepang (7) Singapura (2)

3 4 5

2 1

0 1 2 3 4

+0.18 --0.53 -0.43

-0.23 -0.29 -0.30

-0.28

2007 2009

-0.43

Ketepatan waktu pengiriman berdasarkan jadwal atau perkiraan waktu pengiriman Pelacakan dan penelusuran pengiriman Kualitas pelayanan logistik Kemudahan dalam pengiriman barang Kualitas Infrastruktur Efisiensi proses persetujuan Nilai/skor keseluruhan dari LPI

Sumber: LPI 2007 dan LPI, Bank Dunia Sumber: LPI 2007 dan LPI, Bank Dunia

negara ASEAN+6 (Gambar 1). Hampir sepertiga (26%) dari penurunan ini disebabkan oleh kinerja negara- negara lain yang relatif lebih baik:

kinerja logistik secara keseluruhan telah mengalami peningkatan di seluruh dunia, dengan nilai relatif yang lebih tinggi pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007.

Alasan utama penurunan ini adalah memburuknya kinerja Indonesia pada 5 dari ke-6 indikator (Gambar 2). Negara-negara lain dengan tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah mempunyai nilai LPI yang lebih baik, seperti Vietnam dan Filipina, yang mencerminkan upaya yang lebih keras untuk melaksanakan reformasi dan memperbaiki kinerja logistik di negara-negara tersebut.

Public Disclosure AuthorizedPublic Disclosure AuthorizedPublic Disclosure AuthorizedPublic Disclosure Authorized

60107

(2)

Alasan di balik kabar buruk

Meskipun sebagian besar indikator mengalami penurunan nilai, indikator jejak lacak kiriman mengalami penurunan terbesar dari ke-6 indikator. Indikator ini mencerminkan tersedianya pelayanan jejak lacak intensif- teknologi yang dibutuhkan dalam seluruh proses kepabeanan dan jasa pengiriman. Pelayanan jejak lacak seringkali membutuhkan investasi swasta yang signifikan dan hal ini sangat bergantung pada koordinasi instansi pemerintah dan penyedia jasa logistik di seluruh rantai penawaran. Rendahnya nilai Indonesia untuk indikator-indikator tersebut mencerminkan kurangnya kemitraan pembinaan kepercayaan, rendahnya kualitas penyedia jasa dan instansi pemerintah yang masih harus berjuang untuk memperbaiki tingkat efisiensinya.

Meskipun kurangnya koordinasi antara penyedia jasa swasta dan instansi pemerintah, masih ada sedikit peningkatan (0,18%) pada indikator ketepatan waktu pengiriman untuk mencapai tempat tujuan dalam waktu yang dijadwalkan atau diharapkan. Peningkatan yang minim ini memperlihatkan bagaimana perusahaan-perusahaan

ekspedisi telah menyesuaikan diri dengan merosotnya kondisi logistik di Indonesia sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk memperhitungkan dengan lebih akurat waktu tibanya kiriman di tempat tujuan.

Anjloknya peringkat Indonesia bukan menunjukkan adanya permasalahan baru. Selain kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah dan agen sektor swasta, alasan di balik kabar buruk terutama dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Ketidakefisienan proses kepabeanan (Gambar 3):

Meskipun Indonesia telah berupaya mengurangi “pita merah” di pelabuhan dengan membentuk National Single Window dan pelayanan 24/7, sistem tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan sehingga menyebabkan duplikasi beberapa kegiatan dan biaya yang lebih tinggi.

Dokumen dalam bentuk tercetak (hardcopy) masih digunakan dalam proses sedangkan informasi mengenai status kargo tidak transparan atau tidak tersedia bagi publik, dan sistem secara keseluruhan kurang dikoordinasikan antara berbagai

instansi yang berwenang dan penyedia swasta. Data kinerja LPI 2010 yang tersedia masih terbatas sehingga mempertegas keterlambatan: inspeksi fisik dilakukan terhadap 11% kiriman padahal inspeksi rata-rata di negara-negara yang memiliki kinerja terbaik di kawasan regional hanya 2% sampai 5%, dan rata-rata jumlah instansi pemerintah yang terlibat dalam interaksi adalah 3,67 padahal di negara-negara dengan kinerja terbaik di kawasan regional hanya dua instansi.

2. Rendahnya kualitas infrastruktur (Gambar 4).

Terdapat kesenjangan yang besar dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional di seluruh infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi, yaitu pelabuhan laut, bandara, jalan dan jalur kereta api. Perbedaan nilai LPI Indonesia dan kawasan regional jauh lebih kecil di sektor pergudangan serta teknologi informasi dan komunikasi (ICT), sejalan dengan besarnya tingkat investasi dan partisipasi swasta di kedua sektor tersebut.

Karena Indonesia mengandalkan

Gambar 3. Waktu impor dan waktu clearance di Indonesia mencapai 1 sampai 2 hari lebih lama daripada rata-rata di kawasan Asia Timur & Pasifik dan negara-negara berpeng- hasilan menengah yang lebih rendah

Gambar 4. Kualitas terendah infrastruktur di Indonesia terutama terdapat pada sarana jalan, jalur kereta api, ban- dara dan pelabuhan laut, dibandingkan dengan rata-rata di negara-negara ASEAN+6

5.12

2.14

5.35

3.36

1.55

4.93

3.28

1.84

6.12

0 1 2 3 4 5 6 7

Dengan pengawasan fisik Tanpa pengawasan fisik Waktu impor Indonesia

East Asia & Pacific Lower middle income

Telkom & IT Pergudangan/

transloading Jalur Kereta Api Jalan darat Bandara udara Pelabuhan laut

ASEAN+6 Indonesia

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0

Sumber: LPI 2007 dan LPI, Bank Dunia Sumber: LPI 2007 dan LPI, Bank Dunia Perkembangan Sektor Keuangan & Swasta

Catatan Teknis

(3)

koneksi maritim antar pulau, maka tingkat biaya dan ongkos (fees and charges) di pelabuhan laut sangat mengkhawatirkan:

biaya-biaya tersebut diperkirakan mencapai sekitar 50% lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional.

3. Rendahnya kualitas dan kompetensi penyedia jasa.

Penyedia jasa logistik telah mengalami sebagian besar proses kepabeanan yang sulit dan infrastruktur yang tidak memadai. Meskipun investasi swasta yang lebih besar dilakukan di sektor pergudangan dan telekomunikasi sehingga mengurangi biaya perusahaan perdagangan, sektor-sektor yang terkait dengan penyediaan jasa logistik (misalnya industri angkutan truk dan perkapalan, PPJK dan perusahaan ekspedisi) merupakan korban langsung dari kurangnya investasi pada infrastruktur pelabuhan, jalan dan jalur kereta api. Selain itu, prosedur administrasi yang menyita waktu dan rumit untuk mengangkut muatan ke seluruh tanah air menyebabkan tingkat biaya dan ongkos untuk pelayanan tersebut berada di antara yang tertinggi di kawasan regional sehingga menghambat kemampuan perusahaan Indonesia untuk memanfaatkan globalisasi dan membatasi pertumbuhan usaha kecil dan menengah. Pemahaman yang lebih dalam mengenai tantangan yang dihadapi industri ini, termasuk kebijakan persaingan, rintangan tarif dan tinjauan terhadap kerangka peraturan, dibutuhkan untuk menarik keterlibatan yang lebih besar dari investor swasta di bidang ini sehingga biaya bagi para pengusaha dapat ditekan.

Dalam analisa indeks LPI, perlu diingat bahwa LPI menggabungkan penilaian kuantitatif dan kualitatif

dengan perspektif internasional maupun domestik mengenai kinerja logistik. Bagian pertama dari survei ini mengandalkan indikator- indikator kualitatif berdasarkan penilaian kinerja para pakar swasta terhadap mitra usaha mereka sendiri, sedangkan bagian kedua terdiri dari penilaian kualitatif dan kuantitatif terhadap lingkungan, proses dan rantai penawaran logistik domestik, yang dilakukan oleh para tenaga profesional internasional yang berkedudukan di negara yang dievaluasi.

Karena LPI adalah suatu survei yang didasarkan pada pendapat dan pengalaman pelaku logistik yang mempunyai pengetahuan paling banyak di bidang rantai penawaran, indeks ini mencerminkan ketidaknyamanan umum para pengguna jasa logistik.

Pengalaman memperlihatkan bahwa pendapat sektor swasta penting: pandangan mereka secara langsung mempengaruhi pilihan jalur dan gerbang pelayaran serta mempengaruhi keputusan banyak perusahaan mengenai lokasi produksi, pilihan pemasok dan seleksi pasar sasaran. Hal ini juga menegaskan bahwa ukuran rintangan yang bersifat kualitatif dapat mencakup perbedaan-perbedaan yang signifikan di berbagai negara yang mencerminkan penilaian terhadap kondisi aktual di lapangan serta maknanya bagi perusahaan- perusahaan.

Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk mengurangi hambatan yang besar, seperti disahkannya UU Pelayaran tahun 2008, UU Pos tahun 2009, penerapan operasi pelabuhan selama 24/7, promosi pelabuhan kering (dry ports) untuk mengurangi kemacetan, dan implementasi National Single Window yang saat ini sedang berlangsung, hal-hal tersebut belum dapat diwujudkan menjadi hasil yang positif bagi para responden.

Oleh karena itu, meskipun angin perubahan sudah mulai dihembuskan

ke arah yang tepat, kekuatannya masih belum dirasakan: kesenjangan implementasi seperti kurangnya koordinasi dan buruknya penetapan prioritas atas tindakan-tindakan yang mendesak menghalangi angin perubahan untuk berhembus lebih kuat.

Kabar baik

Indonesia telah mulai mengakui dan menata kembali kebijakan- kebijakannya untuk mengatasi kesenjangan implementasi: terdapat partisipasi aktif dari perwakilan sektor swasta dalam pembahasan untuk mengusulkan tindakan baru dalam rangka menyusun cetak biru logistik, dan konsultasi yang sering dilakukan sehubungan dengan sistem single window saat ini telah menghasilkan penetapan prioritas yang lebih baik terhadap tindakan-tindakan yang memerlukan perhatian paling besar. Seperti halnya di masa lalu, Pemerintah Indonesia telah meyusun banyak rencana induk untuk secara serius meningkatkan infrastruktur maupun cetak biru logistik dan multimoda. Namun tidak seperti di masa lalu, Pemerintah sekarang telah mengakui pentingnya tindakan yang terkoordinasi antara kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga. Urgensi situasi, yang sebagian didorong oleh hasil LPI, telah menghasilkan agenda reformasi komprehensif baru yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas domestik dan internasional di Indonesia. Inisiatif ini akan mensinkronkan berbagai rencana dan meningkatkan tahap konsensus antar kementerian untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan.

Upaya pemantauan tingkat tinggi oleh pemerintah dan sektor swasta untuk menindaklanjuti pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut, seperti melalui LPI, akan membantu menjaga angin perubahan tetap berhembus di Indonesia.

Perkembangan Sektor Keuangan dan Swasta Catatan Teknis

(4)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

Natalia Cubillos-Salcedo ncubillos@worldbank.org Ph. 62 21 52993000 Fax 62 21 52993111

FPSD Unit

World Bank Office Jakarta

Jakarta Stock Exchange Building Tower 2, 12th floor Jl. Sudirman Kav 52-53

Jakarta 12190, Indonesia

Kunjungi situs web kami:

http://www.worldbank.org/id/fpd

Catatan Teknis bisa diunduh dari situs tersebut Perkembangan Sektor Keuangan & Swasta

Catatan Teknis

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

bahwa guna meningkatkan pendayagunaan Tim Nasional enimbang Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi perlu menambah tugas dan keanggotaannya sebagaimana ditetapkan

Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan dan peningkatan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu, dipandang perlu

Menimbang : bahwa dalam rangka mendukung terselenggaranya tertib administrasi pemerintahan dan peningkatan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu, dipandang perlu mengubah

(1) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota

Dalam rangka pengakhiran program ekonomi dengan IMF tersebut, Pemerintah telah menyusun paket kebijakan ekonomi yang dilaksanakan terutama dalam tahun 2003 dan 2004 dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-barang dalam Pengawasan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara

bahwa dalam rangka peningkatan ekspor dan peningkatan investasi dimaksud, perlu diciptakan suatu kondisi yang kondusif yang dapat mendorong peningkatan iklim ekspor dan investasi

Pada saat berlakunya Peraturan Presiden ini segala kegiatan penanggulangan kemiskinan yang menjadi tugas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nasional, TKPK Provinsi,