• No results found

Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/36319 holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Setyawati, Kartika Title: Kidung Surajaya Issue Date: 2015-11-12

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/36319 holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Setyawati, Kartika Title: Kidung Surajaya Issue Date: 2015-11-12"

Copied!
15
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

The handle http://hdl.handle.net/1887/36319 holds various files of this Leiden University dissertation.

Author: Setyawati, Kartika Title: Kidung Surajaya Issue Date: 2015-11-12

(2)

PENDAHULUAN

Konteks Penelitian

Khasanah kesastraan Jawa Klasik sangat luas jangkauannya dan ini merupakan rekaman yang masih ada sebagai warisan budaya Nusantara. Bila dibandingkan dengan banyaknya bahan yang tersedia, studi teks sastra Jawa Klasik sangatlah kecil, termasuk diterbitkannya edisi teks dan terjemahan. Jangankan membicarakan studi lanjut, studi teks yang mendasar pun terbilang sedikit dan sayangnya banyak yang tidak memadai untuk dijadikan kajian lanjut. Hal ini terjadi biasanya karena peneliti mengabaikan studi teks, kritik teks, dan terjemahan yang memadai. Bagian yang baru disebut di atas itu biasanya dilewati dan peneliti ingin tergesa-gesa menganalisis sebuah teks. Kiranya penelitian atas teks adalah mendasar dan harus dilakukan oleh siapa pun yang mengadakan penelitian dengan bahan manuskrip. Bila bahan sudah tersedia dengan baik, terjemahan juga demikian, bahan ini siap untuk dijadikan studi lanjut, baik dalam bidang sendiri maupun secara interdisipliner. Banyak terbitan alihaksara dari aksara Jawa tersebut yang tidak mencantumkan sumber naskahnya.

Hal ini menyulitkan bagi peneliti untuk melacak kembali ke naskahnya bila terjadi salah cetak, misalnya. Salah satu karya kesastraan Jawa Klasik yang tidak populer yaitu koleksi naskah Merapi-Merbabu. Karya ini terselip di antara karya sastra Jawa Klasik lain yang lebih gemerlap, misalnya karya-karya skriptorium kraton dan kadipaten yang dari segi tampilan naskah jelas lebih cemerlang. Dari suatu koleksi yang terabaikan ini, yaitu koleksi naskah Merapi-Merbabu, teks Kidung Surajaya diambil sebagai bahan penelitian. Terbatasnya pengetahuan atas latar belakang budaya, bahasa, filosofi terhadap karya-karya kidung, khususnya kidung dalam khasanah koleksi naskah Merapi-Merbabu, menyulitkan peneliti untuk mengkaji sebuah karya sastra kidung (dalam hal ini Kidung Surajaya) secara lengkap. Karena itu jangkauan studi ini terbatas pada satu bagian saja, dari beberapa aspek yang dapat diteliti lebih lanjut, yaitu suntingan teks, terjemahan, analisis makna isi teks, dan catatan teks.

Kisah ini menceritakan perjalanan Ki Singamada yang bersedih hati sepeninggal orang tuanya yaitu penguasa di Majapahit, pergi dari kota raja menuju gunung berhutan. Di dalam perjalanan itu Ki Singamada berjumpa dengan beberapa orang ajar yang memberi nasihat tentang laku tapa. Di dalam perjumpaannya dengan salah seorang ajar, Singamada diabiseka dan mendapat nama Surajaya atau sebutan yang lainnya Surawani. Perjalanan Surajaya diwarnai perjumpaannya dengan Ni Tejasari, seorang bidadari kahyangan yang turun ke dunia, yang kemudian menjadi saudara misannya. Mereka berdua saling jatuh cinta. Surajaya juga mendapat banyak

(3)

pengagum dari para perempuan yang ditemui di tempat para ajar. Pada suatu perjalanan Surajaya bertemu dengan Ragasamaya, mereka saling mengangkat saudara. Ragasamaya terus menyertai Surajaya sampai akhir perjalanan dengan memberi nasihat dan penghiburan. Pada suatu saat mereka berpisah, Surajaya bertapa seorang diri, sementara Ragasamaya hidup bertani di tempat lain. Di dalam tapanya Surajaya didatangi Sang Hyang Suksma yang kemudian menganugerahi nama Hantakarana. Bersama dengan Ragasamaya yang datang berkunjung, Hantakarana mengusahakan moksa. Hantakarana berhasil moksa, Ragasamaya tidak berhasil karena masih memikirkan hal-hal duniawi. Cerita diakhiri dengan pulangnya Ni Tejasari ke Kahyangan, kembali menjadi bidadari Tunjungputih, disambut teman- temannya sesama bidadari. Pada bagian tengah (pupuh 5) Kidung Surajaya, terdapat lukisan cerita perang antara lima bersaudara yaitu Panjiwisaya, Banyakputeran, Lalana Huwah-hawih, Mahisabo†o dan Lalanasambu melawan tiga bersaudara yaitu Ki Sora, Ki Samun, dan Gajahpaningset. Lukisan perang itu disaksikan oleh Surajaya dan Ragasamaya dengan diam-diam dari tempat persembunyian.

Kidung Surajaya merupakan genre siswa lelana brata. Pada dasarnya genre ini sejenis dengan genre santri lelana. Behrend (1995:384-385) membuat kriteria santri lelana sebagai berikut. (1) Tokoh utamanya seorang santri, seorang yang memuja Allah, ahli dalam ilmu agama, dan pelaksana syariat Islam yang mengabdi pada ngelmi dalam segala bentuknya. (2) Si santri tokoh harus anglalana ngideri bumi, maksudnya mengembara di alam pedesaan. Alasan langsung mengembara biasanya karena hilangnya saudara. (3) Episode-episode mungkin beragam, penggunaan alur tempelan dengan merangkai episode bergaya Jatiswara merupakan ciri inti ragam ini (santri lelana). (4) Si santri biasanya (tidak selalu) membela aliran mistik radikal yang menyeleweng. Hal ini menyebabkan perbenturan dengan penguasa yang lebih ortodoks dan mungkin terancam hukuman mati, kecuali bertobat. Ketika hukuman mati dilaksanakan, ia menghilang atau luput karena kesaktiannya. Dengan demikian, hal itu membuktikan kebenaran dirinya serta pandangan agama si santri.

Karena Kidung Surajaya tidak persis memenuhi kriteria santri lelana seperti yang dikatakan Behrend tersebut, maka penulis memakai istilah siswa lelana brata, menceritakan seorang siswa pergi berkelana mencari pencerahan jiwa. Dengan mengacu butir-butir di atas yang disebut Behrend tentang santri lelana, maka Kidung Surajaya sebagai genre siswa lelana brata kriterianya seperti berikut. (1) tokoh utamanya seorang ‘bodoh’ yang mencari pencerahan jiwa dan raga, tidak ahli dalam bidang ilmu agama ataupun hal pengetahuan tentang keagamaan. (2) Si siswa tokoh cerita ‘berkelana mengelilingi dunia’ anglelana angideri bumi, dengan alasan pengembaraannya untuk bertapa, agar dapat mengubah tingkah laku segala nafsu yang bernoda (dasamala) yang menyebabkan dukacita, menyebabkan raga sengsara.

(3) Alur cerita Kidung Surajaya lurus. Di pupuh 5 ada cerita lain yang bisa dikatakan

(4)

berdiri sendiri yaitu perang di Jebugwangi dengan tokohnya 5 bersaudara, yaitu Panjiwisaya dan empat saudaranya berperang melawan tiga bersaudara, yaitu Ki Sora dan dua saudaranya. (4) Setelah berguru kepada beberapa ajar, si siswa bertambah pengetahuannya dan terbuka pikirannya. Ajaran dari para ajar tersebut mendorong si siswa lebih maju lagi untuk mendekat pada tujuannya, yaitu tapa. Setelah tapa dilakukan, jiwa si siswa melesat pergi meninggalkan badan dan tidak kembali lagi.

Kidung Surajaya digubah dalam tujuh pupuh dengan pola macapat, berbahasa Jawa Pertengahan dengan nuansa Jawa Baru yang kental, beraksara Buda. Yang menjadi kekhasan Kidung Surajaya adalah bahwa kidung ini merupakan salah satu koleksi naskah Merapi-Merbabu; sementara koleksi naskah Merapi-Merbabu belum banyak diteliti. Sepanjang pemeriksaan atas katalog-katalog yang tersedia dan terjangkau, Kidung Surajaya tidak ditemukan di tempat lain selain di PNRI.

Dipandang dari sudut naskahnya, Kidung Surajaya cukup tua umurnya, yaitu abad 17 M.

Alasan pemilihan kidung ini sebagai bahan penulisan tesis karena dilihat dari sudut karya sastranya karya sastra Kidung Surajaya cukup menarik untuk disimak.

Kidung Surajaya setidak-tidaknya mewakili karya sastra yang dihasilkan pada abad 17 M, khususnya karya sastra hasil skriptorium Merapi-Merbabu; dan karya sastra Jawa Klasik pada umumnya yang ditulis di Jawa. Hal lain yang menjadi alasan dibuatnya penelitian ini bahwa diperkirakan Kidung Surajaya adalah khas karya para ajar yang berdiam disekitar daerah lereng gunung Merapi-Merbabu. Kidung Surajaya tidak sendirian dalam kekhasan ini, kidung lain yang sejenis adalah Kidung Ragadarma dan Kidung Subrata.

Kidung-kidung yang sudah diterbitkan selama ini adalah kidung dengan latar belakang historis legendaris yaitu Kidung Sunda (Berg 1927), Sundayana (Berg 1928), Harsawijaya (Berg 1939), Ranggalawe (Berg 1930), Sorandaka ( van den Berg 1939). Kidung lain dengan cerita Panji yaitu Wangbang Wideya (Robson 1971), kidung dengan tema ruwat Sri Tanjung (Prijono 1938), Sudamala (van Stein Callenfels 1932). Kidung dengan sumber cerita Tantri yaitu Tantri Pisacarana (Suarka 2007) dan Tantri Kediri (Revo Arka Giri Soekatno 2009).

Zoetmulder mengatakan bahwa kebanyakan kidung ditulis di Bali (Zoetmulder 1983:33), tidak mungkin menetapkan satu kidung pun ditulis di Jawa (Zoetmulder 1983:170). Sri Tanjung dan Sudamala kemungkinan ditulis di Jawa Timur (Zoetmulder 1983:510). Dalam penelitiannya terhadap sastra kidung, Zoetmulder tidak menemukan satu karya pun yang tanggal penulisannya dapat ditentukan. Selanjutnya, Zoetmulder menyatakan di dalam kidung dalam hal mendeskripsikan busana tokohnya dibahas sampai detail dan diulang-ulang, warna pakaian, pola pakaian, jenis manikam atau bunga yang dipakai dengan perhiasan tradisional. Dalam lukisan keindahan alam jarang ditemukan bukti bahwa penyair

(5)

langsung mengandalkan observasi pribadi seperti yang ada dalam kakawin.

Kebanyakan cerita ditempatkan dalam atau sekitar salah satu kraton di Jawa dan kraton Balilah sebagai modelnya (Zoetmulder 1983:511-512). Kecuali Sri Tanjung dan Sudamala, kidung-kidung yang disebut di atas bercerita dengan fokus istana sentris, tokohnya raja, pangeran, kerabat kerajaan.

Di dalam Kidung Surajaya deskripsi yang paling menonjol adalah nasihat para ajar dan kisah perjalanan tokohnya. Lukisan lain berupa lukisan pemandangan alam terutama sawah-sawah, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungan yang ada di sepanjang jalan atau di tempat para ajar, pemandangan di pertapaan, suasana pertapaan, upacara pentahbisan Surajaya, jenis flora dan fauna di sekitar pegunungan yang dilalui tokohnya, sirih sebagai penyambut tamu dan sebagai ‘hidangan’ setelah makan, alat penanda waktu yang dibunyikan. Menurut peneliti, lukisan-lukisan di atas itulah yang dilihat oleh penyair Kidung Surajaya, kalau pun si penyair tidak mengadakan perjalanan langsung untuk mengadakan observasi tentang keindahan alam semuanya yang dia tulis.

Persamaan kidung-kidung historis legendaris, Panji (dalam hal ini diwakili oleh Wangbang Wideya) dan dua kidung ruwat seperti yang disebut di atas dengan Kidung Surajaya adalah sebagai berikut. (1) Dari segi bentuk sastra, semua kidung yang dimaksud di atas berpola metrum macapat (kecuali Harsawijaya, Wangbang Wideya) ada yang dengan variasi pola bait berpasangan, ada yang menambah dengan metrum kawitan (Sri Tanjung). (2) Tokoh dan ceritanya bersifat lokal (tidak mengadopsi dari tokoh India). (3) Penyairnya bukan pujangga dari kalangan istana.

Perbedaan kidung-kidung historis legendaris, Panji, dan dua kidung ruwat di atas dengan Kidung Surajaya adalah sebagai berikut. (1) Hanya dalam Kidung Surajaya saja ada bait-bait dengan metrum lain yang tersebar secara acak dalam pupuh induknya. (2) Dari segi cerita, isi Kidung Surajaya menitikberatkan pada perjalanan dan nasihat yang diberikan para ajar kepada tokoh cerita yang mengembara dengan tujuan tertentu. (3) Tujuan pengembaraan si tokoh adalah untuk bertapa, menghilangkan nafsu yang bernoda yang menyebabkan raga sengsara.

Kidung-kidung yang dibicarakan Zoetmulder tersebut di atas dan Kidung Surajaya sama-sama ditulis oleh penyair yang bukan dari penyair istana, tetapi kiranya masing-masing penyair mempunyai tradisi dan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Zoetmulder dalam membicarakan para kawi ‘penyair’ menyatakan bahwa ada kawi negara ‘penyair yang tinggal dan bekerja di karaton’, kawi wiku

‘penyair yang menjalani kehidupan religius’, dan kawi sunya ‘penyair yang hidup bagai seorang pertapa’ (Zoetmulder 1983:187). Penyair Kidung Surajaya kiranya berasal dari penyair yang mempunyai tradisi menekuni olah batin yang bertujuan pada laku tapa.

(6)

Pada kidung-kidung historis yang sudah diterbitkan masih sedikit dilakukan pembicaraan secara lebih mendalam, misalnya terjemahan dan pembicaraan teksnya.

Pembicaraan yang lebih maju yaitu dengan terbitnya kidung Wangbang Wideya dengan genre cerita Panji (Robson 1971), yang berisi teks, terjemahan disertai catatan dan penjelasan. Tahun 2007 telah dilakukan penelitian atas Kidung Tantri yaitu Tantri Pi¢acaraøa (Suarka 2007), disajikan teks, terjemahan, dan analisis sastra sehubungan penciptaan kidung tersebut. Revo Arka Giri Soekatno (2009) meneliti Tantri Kƒ∂iri.

Dari skriptorium naskah sejenis dengan Kidung Surajaya yaitu dari lingkungan penyair di luar istana, dalam khasanah sastra Sunda dapat disebut di sini karya yang dikerjakan oleh Noorduyn dan Teeuw (2006, dan edisi bahasa Indonesia 2009) yaitu Three Old Sundanese poems (Tiga Pesona Sunda Kuna). Tiga Pesona Sunda Kuna memuat tiga puisi Sunda Kuna yaitu Para Putra Rama dan Rawana, Pendakian Sang Ajnyana dan Bujangga Manik melintasi Jawa. Dalam hubungannya dengan Kidung Surajaya, cerita Para Putra Rama dan Rawana diabaikan.

Dari segi isi cerita Kidung Surajaya merupakan perpaduan antara Pendakian Sri Ajnyana dan Perjalanan Bujangga Manik melintasi Jawa. Cerita Sri Ajnyana diawali dengan kisah tokohnya yaitu Sri Ajnyana berkasih-kasihan dengan Puah Aci Kembang yang dikeluarkan dari kahyangan turun ke dunia (SA 1-41. Sri Ajnyana- selanjutnya disebut SA, angka dalam SA maupun BM yaitu Bujangga Manik berasal dari baris-baris teks dalam Tiga Pesona Sunda Kuna). Sri Ajnyana turun ke dunia sebagai manusia di Gunung Damalung (SA 50). Ratapan penyesalan kedua tokoh tersebut (SA 42-157). Sri Ajnyana memutuskan untuk ke gunung mencari penolong supaya dapat keluar dari penderitaan (SA 158-166). Sri Ajnyana bertemu dengan Sang Mahapandita yang memberinya nasihat untuk menghapus dosa harus pergi bertapa (167-225). Permenungan nasihat Sri Mahapandita oleh Sri Ajnyana (SA 226- 329). Datang utusan dari kahyangan memanggil Sri Ajnyana ke kahyangan (SA 330- 354). Perjalanan Sri Ajnyana ke kahyangan (SA 355-365). Di kahyangan.

Penggambaran masing-masing kahyangan para dewa (SA 366-404). Pasamuhan para dewa kemudian bubar (405-466). Sri Ajnyana melihat-lihat keadaan kahyangan di sana-sini, pengarang mendeskripsikan secara detail: meru, tiang, lantai, ukiran, hiasan dengan permatanya, tanaman dengan bunga, taman, wangi-wangian (SA 467-669).

Sri Ajnyana ingat pernah tinggal di situ, dia bersedih dan teringat ketika dikeluarkan dari kahyangan untuk turun ke dunia (670-682). Sri Ajnyana bertemu dengan Puah Aci Kuning. Deskripsi rinci pakaian Puah Aci Kuning (SA 683-690). Sri Ajnyana bertanya kepada Puah Aci Kuning tentang keberadaan Puah Aci Kembang (SA 691- 737). Rayuan Puah Aci Kuning kepada Sri Ajnyana, gambaran kamar tidur Puah Aci Kuning tentang tirainya, selimutnya, kelambunya, tikarnya, bantalnya, baju-baju di rak (SA 738-859). Puah Aci Kuning menggoda untuk mencobai Sri Ajnyana. Puah Aci Kuning memberi nasihat agar dapat melepaskan diri dari dosa (SA 860-906). Sri

(7)

Ajnyana minta diri untuk melanjutkan perjalanan (SA 907). Sri Ajnyana melihat-lihat kahyangan sampai di tempat Puah Lakawati (SA 908-957). Sri Ajnyana bertanya tentang keberadaan Puah Aci Kembang kepada Puah Lakawati (SA 958-975). Nasihat Puah Lakawati pada Atma Wisesa (Sri Ajnyana) (SA 976-1031). Nasihat Puah Lakawati kepada Atma Wisesa bagaimana caranya jika ingin bebas dari rasa sakit dan lepas dari marabahaya (SA 1032-1061). Atma Wisesa mohon diri untuk turun ke bumi lagi, menetap di bumi menyatu dengan manusia (SA 1062-1087).

Kisah Bujangga Manik melintasi Jawa berisi daftar panjang nama tempat, sungai, gunung yang dilewati oleh Bujangga Manik. Bagian cerita lain yang ditulis secara rinci dalam perjalanan Bujangga Manik adalah gambaran tentang kapal yang ditumpanginya untuk kembali ke tempatnya semula, gambaran tentang kebiasaan menyajikan sirih dan segala perlengkapannya, adat melamar, informasi tentang menenun dalam kegiatan para perempuan di tanah Sunda zaman dahulu.

Cerita Bujangga Manik secara ringkas seperti berikut ini. Seorang bangsawan Sunda yaitu Pangeran Jaya Pakuan yang kemudian disebut Bujangga Manik meninggalkan istana untuk pergi ke arah timur. Bujangga Manik tidak menjawab ketika ditanya ke mana arah tujuannya (BM 41). Perjalangan dilanjutkan dengan menyebut sederet nama tempat, sungai, dan gunung. Sampai di Pamalang Bujangga Manik dengan menumpang kapal kembali ke tempat asalnya lewat Sunda Kelapa, Ancol kemudian sampai di rumahnya kembali (BM 145). Lukisan keadaan rumahnya, lukisan ibunya yang sedang menenun, lukisan tirai-tirai dalam rumah, lukisan sirih dan perlengkapannya yang dihidangkan ibunya untuk menyambut kedatangan anaknya (Bujangga Manik). Uraian panjang tentang Putri Ajung Larang yang meracik sirih sebagai lamaran kepada Bujangga Manik (BM 356-396). Bujangga Manik menolak lamaran sang putri dan berkata akan pergi mengembara lagi ke timur (BM 659). Penyebutan nama tempat, sungai, gunung yang dilalui Bujangga Manik.

Bujangga Manik bertapa di Balungbungan (BM 840), ke Bali (886), gambaran perahu yang ditumpanginya (BM 897). Dari Bali Bujangga Manik menumpang perahu ke Palembang. Gambaran perahu dengan segala perlengkapannya (BM 994). Di hulu Sungai Citarum Bujangga Manik bertapa (BM 1283). Bujangga Manik mencari tempat tinggal untuk penyucian diri (BM 1319-1320), pergi ke Gunung Patuha (BM 1400), membangun pertapaan, bertapa (BM 1430) 9 tahun lamanya kemudian meninggal, rohnya bertemu Dorakala.

Hal yang utama dalam Kidung Surajaya adalah nasihat para ajar yang didatangi Surajaya selama perjalanan pengembaraannya. Nasihat-nasihat para ajar tersebut mendorong Surajaya maju untuk melakukan tapa. Gambaran upacara pentahbisan Surajaya, gambaran tempat, pertapaan yang disinggahinya, lukisan pertapaan, tempat sepanjang jalan, penyebutan flora dan fauna yang dilihat Surajaya sepanjang perjalanan tersebut.

(8)

Persamaan cerita Sri Ajnyana, Bujangga Manik, dan Surajaya adalah petualangan religius tokohnya dengan porsinya dan kekhasannya masing-masing. Sri Ajnyana menitikberatkan pada pencarian Sri Ajnyana ke kahyangan untuk menemukan Puah Aci Kembang, perjalanan tokohnya di kahyangan dari kahyangan yang satu ke kahyangan yang lain, rincian nasihat Puah Aci Kuning dan Puah Lakawati kepada Sri Ajnyana. Puah Lakawati menyebut Sri Ajnyana dengan sebutan Atma Wisesa. Kisah Bujangga Manik bagian terbesarnya berisi rincian seluruh tempat yang dikunjungi, yang dilihat dari jauh, yang dilewati. Dari teksnya diketahui Bujangga Manik belajar di Damalung, bertapa di beberapa tempat. Bujangga Manik tidak pernah menyebut nama gurunya atau pembimbing spiritualnya, tidak menyebut laku tapa seperti apa yang dijalaninya, tidak ada wejangan maupun ajaran spiritual.

Bujangga Manik menyebut dirinya Ameng Layaran (BM 123).

Singamada dalam perjalanan hidupnya berganti nama dua kali yaitu menjadi Surawani atau sebutan lainnya Surajaya dan menjadi Hantakarana. Surajaya mempunyai beberapa guru spiritual yang menasihatinya dengan panjang lebar tentang menghapus noda badan, laku tapa, menghilangkan godaan badan. Seperti halnya Bujangga Manik, Surajaya di akhir hidupnya bertapa kemudian meninggal. Sri Ajnyana, Bujangga Manik dan Surajaya mempunyai nama atau sebutan lain selain namanya sendiri.

Gunung Damalung tampaknya penting dalam cerita Sri Ajnyana, Bujangga Manik, dan Surajaya. Sri Ajnyana turun ke dunia sebagai manusia di Gunung Damalung (SA 50), Bujangga Manik dikatakan baru saja pulang dari tempat perguruan, tempatnya belajar di Gunung Damalung atau sebutan lainnya Pamrihan (BM 595-596), Surajaya atau dalam nama Hantakarana meninggal di Pamrihan lereng sebelah barat.

Kiranya skriptorium Sri Ajnyana, Bujangga Manik dan Kidung Surajaya sama-sama berasal dari lingkungan di luar istana, biasanya disebut mandala atau pertapaan. Dari isi masing-masing teks, peneliti menduga bahwa ketiga penyair cerita ini mempunyai latar belakang ‘pengetahuan’ dan fokus dalam menulis yang berbeda.

Menurut Noorduyn (1982:414) Bujangga Manik ditulis abad 15 atau lebih kemudian, atau awal abad 16 sebagai batas akhir. Kidung Surajaya ditulis 1607 MM (tahun Merapi-Merbabu).

Teeuw dalam membicarakan Tiga Puisi Sunda Kuna dalam hal ini Sri Ajnyana dan Bujangga Manik sangat rinci membicarakan sistem keagamaan, struktur kesastraan, sistem metrikal, sifat formula, teknik penceritaan. Pembicaraan Kidung Surajaya dalam hal ini tidak secermat analisis Teeuw. Pembicaraan Kidung Surajaya lebih sederhana dalam membicarakan metrum, dan lebih fokus dalam membicarakan apa yang tersirat di balik yang tersurat seperti yang dianjurkan oleh pengarang Kidung Surajaya.

(9)

Karya sastra yang dekat dengan genre siswa lelana brata adalah genre santri lelana yang sudah banyak dibicarakan, misalnya Centhini, Cebolek, Jatiswara yang merupakan karya sastra dari abad 18-19. Teks dari koleksi naskah Merapi-Merbabu yang pernah diteliti adalah Kuñjarakarna berupa teks prosa Jawa Kuna (Molen 1983, versi terjemahan dalam bahasa Indonesia 2011), Arjunawiwåha berupa kakawin, puisi berbahasa Jawa Kuna (Kuntara 1990), Lilis Restinaningsih (2009) meneliti Kakawin Sena, sebuah puisi Jawa Kuna yang tidak lagi mengindahkan aturan metrum Jawa Kuna.

Landasan pemilihan Kidung Surajaya sebagai bahan penulisan tesis ini berpangkal dari penelitian yang sudah dimulai sebelumnya dan belum selesai karena kendala dana, yaitu Kidung Subrata yang juga merupakan koleksi naskah Merapi- Merbabu. Peneliti memutuskan mengambil teks yang dekat dengan Subrata, salah satunya yaitu Kidung Surajaya. “Dekat” di sini dimaksudkan dalam skriptorium yang sama, pokok cerita juga tidak terlalu jauh berbeda, yaitu tentang moksa. Meskipun demikian, dari segi isi cerita tampak jelas sangat berbeda. Alasan lainnya yaitu:

penerbitan teks-teks kidung yang sudah ada sebagian besar berasal dari skriptorium Bali. Dengan diterbitkannya teks Kidung Surajaya yang berasal dari Jawa, peneliti ingin melihat seperti apa teks-teks kuna yang ditulis di Jawa. Barangkali sudah saatnya teks-teks kuna dari Jawa diberi perhatian, untuk didudukkan dan disejajarkan teks-teks Jawa yang ditulis di Bali. Dengan demikian, akan menambah bahan diskusi dalam khasanah sastra Jawa.

Zoetmulder (1983) mengatakan bahwa kidung menyediakan bahan yang luas untuk penelitian Sejarah Kebudayaan Jawa-Bali, tetapi bahan belum cukup tersedia.

Peneliti dalam hal ini setuju dengan pendapat Zoetmulder. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan satu lagi bahan untuk penelitian Sejarah Kebudayaan Jawa- Bali yang sedikit lebih maju. Dengan makin banyaknya teks kidung diterbitkan akan memberikan sumbangan informasi pada sastra Nusantara, karena isi kidung sebagian besar cerita dari Nusantara.

Hal menarik dari Kidung Surajaya, disamping faktor aksaranya, yaitu aksara Buda, isi ceritanya belum diketahui sehingga merupakan sesuatu yang baru. Hal ini mendorong untuk mengetahui bagaimana kidung yang ditulis di Jawa. Alihaksara dari aksara Buda merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti. Setelah diketahui jalan ceritanya pun, penyair Kidung Surajaya mengharapkan untuk mencari tahu makna dibalik yang tersurat. Dari pernyataan tersebut pembaca dibuat ingin mencari tahu maknanya. Adanya pola metrum lain dalam pupuh yang dipakai dalam Kidung Surajaya itu menarik karena agak tidak lazim hal demikian dalam sastra Jawa Klasik (lihat Bab II dalam membicarakan metrum). Dari segi kekunaan naskah, Kidung Surajaya, khususnya, dan naskah Merapi-Merbabu pada umumnya, mewakili naskah yang cukup kuna. Adanya teks sejenis dengan Kidung Surajaya yaitu Ragadarma dan

(10)

Subrata yang cukup banyak salinanannya kiranya menunjukkan adanya minat dan popularitas teks dengan isi siswa lelana brata dengan tujuan moksa di dalam masyarakat pendukungnya. Barangkali ini berkaitan dengan pernyataan Bujangga Manik dalam laporan perjalanan melintasi Pulau Jawa menyatakan bahwa wilayah Damalung (Merbabu) sekitar abad 15 merupakan pusat studi keagamaan (Noorduyn 1982:416). Hal ini kiranya perlu dibuktikan dengan meneliti teks-teks seperti tersebut di atas; dan Kidung Surajaya mengawalinya.

Kesulitan dalam menangani Kidung Surajaya mula-mula ada pada aksaranya yang belum dikenal oleh peneliti, cerita belum diketahui sebelumnya. Dalam proses menerjemahkan suatu teks tampaknya agak lebih mudah bila telah diketahui ceritanya secara garis besar lebih dahulu. Lebih-lebih bila teks itu berupa puisi seringkali tidak seleluasa dan sejelas prosa ketika menguraikan ceritanya, mengungkap maksudnya.

Hal ini sama-sama kita maklumi bahwa dalam puisi terbatas “ruang”nya karena terikat dengan aturan-aturan pembentukan puisi tradisional, dalam hal ini macapat.

Kata-kata dalam Kidung Surajaya banyak kehilangan ataupun kelebihan aksara yang standar menurut pemahaman peneliti sehingga mengganggu kelancaran dalam pemahaman menerjemahkan. Ketidakajegan kata yang digunakan, pemakaian kata yang kadang-kadang memakai kata Jawa Kuna, kadang-kadang memakai kata Jawa Baru, ini juga menyulitkan dalam pemahaman peneliti. Penentuan arti kata dalam terjemahan harus tepat apakah konteks kalimat itu sedang memakai bahasa Jawa Kuna ataukah bahasa Jawa Baru. Kesulitan lain dalam menerjemahkan adalah pemutusan kalimat langsung dialog antara tokoh-tokohnya: sampai di mana sang tokoh berbicara kemudian digantikan pembicaraan tokoh lain. Kesulitan lainnya adalah keterbatasan pengetahuan peneliti tentang materi yang sedang dibicarakan tokoh-tokohnya. Poerbatjaraka (1964:76) ketika membicarakan Kidung Subrata berkomentar bahwa Kidung Subrata memuat filosofi tinggi:

Filosofienipun Kidung Subrata kenging dipun wastani inggil. Pantjén tijang Djawi jén prakawis filosofie, rumijin mila, nama sampun inggil. Nanging tjƒ†anipun ingkang kapratelakakƒn ing Kidung Subrata, angél sangƒt.

‘Filosofi Kidung Subrata bisa disebut tinggi. Memang orang Jawa dalam hal filosofi, sejak dahulu sudah tinggi. Jelasnya yang dibeberkan dalam Kidung Subrata sangat sulit’.

Dalam meneliti Kidung Surajaya ditemukan kendala-kendala yaitu belum banyaknya penelitian atas naskah-naskah Merapi-Merbabu pada umumnya, apalagi karya sastra kidung. Dengan tidak adanya penelitian terdahulu terhadap kidung dari koleksi naskah Merapi-Merbabu dan sedikitnya penelitian atas naskah Merapi- Merbabu pada umumnya menyebabkan tidak tersedianya bahan referensi. Hal ini menyebabkan hingga saat ini belum diketahui dengan jelas bagaimana bahasa, tata bahasa, filsafat, agama penulis teks-teks naskah Merapi-Merbabu yang menjadi latar

(11)

belakang penulisan Kidung Surajaya pada khususnya dan naskah Merapi-Merbabu pada umumnya. Hal ini menimbulkan hambatan bagi peneliti dalam meneliti Kidung Surajaya. Dengan segala keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan sarana referensi, peneliti memberanikan diri mencoba untuk memasuki wilayah belantara itu dengan meraba-raba sehingga hasil penelitian ini sangat sederhana dan dangkal. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi batu pijakan bagi peneliti lain yang berminat terhadap penelitian naskah Merapi-Merbabu. Dengan demikian, sedikit demi sedikit akan tersedia bahan dari koleksi naskah Merapi-Merbabu yang kelak dapat digunakan untuk tujuan penelitian yang lebih mendalam. Dengan tidak tersedianya bahan, penelitian tentang sejarah sastra, agama, filsafat, bahasa teks naskah Merapi-Merbabu pada khususnya kemajuan pengetahuan dalam bidang ini terhambat.

Penelitian

Hal yang akan dilakukan dalam tesis ini adalah:

1. Menyajikan suntingan teks Kidung Surajaya dengan cara diplomatik.

Mengiringi suntingan diplomatik disajikan pula terjemahan dan catatan atas teks. Alasan dipilihnya cara suntingan diplomatik agar pembaca dapat sedekat mungkin dengan teks asalnya dan teks asli dapat diteliti dalam bentuk yang dipermudah aksesnya.

2. Mendahului suntingan teks akan dibicarakan seluk beluk Kidung Surajaya.

Pembicaraan ini meliputi naskahnya, metrumnya, bahasanya, waktu penyalinan, dan penulis.

3. Analisis makna Kidung Surajaya. Analisis didasarkan pada apa yang dikatakan di dalam teksnya.

Tesis ini berfokus pada teks. Latar belakang, kondisi sosial, agama penulis teks tidak dibicarakan dalam tesis ini.

Sesuai dengan pokok masalah di atas maka tujuan penelitian dalam rangka penulisan tesis ini dengan sendirinya akan memberi gambaran:

1. Kidung yang merupakan salah satu koleksi naskah Merapi-Merbabu, salah satu karya sastra dari skriptorium Jawa.

2. Ragam sastra siswa lelana brata macam apa yang ada di kalangan para ajar di Merapi-Merbabu, dalam hal ini diwakili Kidung Surajaya.

3. Pemahaman makna penulisan Kidung Surajaya.

Kidung Surajaya sejauh pengamatan peneliti belum pernah dikerjakan sebelumnya;

demikian pula karya sejenis (di lingkungan Merapi-Merbabu) yaitu Subrata dan Ragadarma.

Mula-mula membicarakan deskripsi naskah dari semua naskah Kidung Surajaya (bentuk cerita panjang, bentuk cerita pendek, fragment, ringkasan). Setelah itu

(12)

menangani teks. Teks dialihaksarakan, lalu diterjemahkan. Dalam proses terjemahan itu diperlukan koreksi ataupun usul pembacaan agar teks bisa dibaca. Usul pembacaan ini bisa dari peneliti sendiri (konjektur) ataupun karena adanya bacaan dari teks lain yang senama (emendasi).

Dalam filologi tradisional seperti yang dikemukakan Maas (1967:1) bahwa kritik teks dibuat untuk menghasilkan sebuah teks sedekat mungkin dengan aslinya (archaetypus. Wolf (1993:339), Teeuw (1984:263-266)). Demikian pula yang dikemukakan oleh Reynolds dan Wilson (1978:186-213) bahwa kritik teks mempunyai tujuan dan tugas untuk mencapai teks yang sedekat mungkin dengan aslinya dan membuat rekonstruksi teks. Kratz menekankan bahwa penyuntingan sejumlah naskah kecil dengan deskripsi lengkap, catatan kritis yang layak dan bahan pelengkapnya misalnya konkordansi harus diutamakan daripada konstruksi teks yang menjadi campur aduk dari beberapa naskah (Kratz 1978:239 via Teeuw 1984:269- 270). West berpendapat bahwa kritik teks tidak bisa diringkas menjadi sejumlah aturan-aturan. Setiap problem baru mengundang pemikiran baru, tetapi ada prinsip- prinsip umum yang sangat berguna tetapi tidak dengan sendirinya jelas (West 1973:9). Dalam penulisan tesis ini kiranya peneliti mengikuti pendapat yang dikatakan Kratz tersebut.

Kritik teks merupakan salah satu dari disiplin dalam bidang ilmu Filologi. Pada dasarnya kritik teks salah satunya mempunyai tujuan menjembatani kesenjangan komunikasi antara penulis teks dan pembaca modern. Dengan demikian, secara pendek kata tugas filolog (salah satunya) adalah membuat teks terbaca dan dimengerti (Robson 1994:12). Agar teks terbaca dan dimengerti pada dasarnya ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu menyajikan dan menafsirkan (Robson 1994:12, Wolf 1993:343). Pendekataan penelitian ini menempuh jalur filologi dan sastra. Bidang filologi untuk membedah teksnya, bidang sastra untuk membedah metrum, isi, maknanya. Kritik teks dan kritik sastra keduanya tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang. Hal yang tidak mungkin untuk melakukan kritik teks tanpa melakukan analisis sastra dan penafsirannya; studi sastra tidak mungkin dilakukan tanpa dengan kritis meninjau sumber-sumber teksnya (Teeuw 1991:223-226, Robson 1978:4).

Menurut Robson (1978:4) studi filologi mencakup lebih banyak dari pada sekedar kritik teks, juga berbeda dari teori sastra dan linguistik, meskipun keduanya berkaitan (Robson 1994:12-13) sehingga dalam hal ini tidak selayaknya memisahkan kritik teks dengan kritik sastra. Dalam pendekatan filologi tradisional segala sesuatu dalam sebuah naskah yang menyimpang dari teks yang dianggap asli dipandang sebagai korupsi yang oleh filolog harus disingkirkan (Teeuw 1984:270). Dalam filologi modern variasi naskah justru dianggap sebagai kreasi (Teeuw 1984:270).

(13)

Kritik teks adalah ilmu sekaligus seni. Ini adalah ilmu untuk menemukan kesalahan dalam teks dan seninya untuk menghilangkan kesalahan tersebut. Kritik teks memerlukan penanganan individu (pada setiap materinya), setiap problem yang ada seharusnya dianggap sebagai kemungkinan yang unik. Problemnya tidak sederhana, tetapi rumit. Ilmu dan seni ini menuntut lebih pada seorang pembelajar daripada daya pikir yang menerima saja; dan sungguh benar bahwa ilmu ini tidak bisa diajarkan sama sekali (Housman 1988:325-326). Kritik teks, seperti kebanyakan ilmu pengetahuan lain, hanya dimiliki oleh “sekelompok orang tertentu saja”, tidak dapat dikomunikasikan kepada semua orang, juga tidak pada kebanyakan orang (Housman 1988:339).

Dalam menerbitkan teks dua cara dapat ditempuh, yaitu diplomatik dan kritis.

Teks terbitan diplomatik identik dengan teks dalam manuskrip. Editor menyajikan teks seperti yang ditemukannya kepada pembaca. Bacaan-bacaan yang berbeda pada teks, berdasarkan konjektur atau berasal dari manuskrip lain, tidak dimasukkan dalam teks tetapi ditempatkan pada catatan kaki atau dibedakan secara jelas dari teks yang disajikan dengan cara lain (Molen 1981:5). Akhir-akhir ini dihimbau kembali pentingnya terbitan diplomatik, dimaksudkan untuk menyajikan teks bagi pembaca masa kini agar dapat lebih dekat dengan sumbernya (Molen 2011:84). Dalam penelitian ini hal ini dilakukan, namun demikian tidaklah sesempurna yang diharapkan. Sebuah teks hanya akan mempunyai signifikansi penuh jika kita bisa memandang dalam konteks yang tepat atau sebagai bagian dari sebuah keseluruhan, yang muncul bersama dengan karya lain yang sejenis (Robson 1994:13). Dalam hal pembicaraan Kidung Surajaya keberadaan karya sastra lain penting karena dari karya sastra lain itu bisa didapat informasi penting yang di dalam Kidung Surajaya sendiri masih gelap. Teori yang terakhir ini dipakai dalam rangka pemahaman salah satu pola metrum Kidung Surajaya yang harus dilihat melalui teks lain dalam koleksi naskah Merapi-Merbabu yaitu Subrata.

Penyajian suntingan teks dengan cara diplomatik adalah menghadirkan teks sedekat mungkin dengan bacaan aslinya sehingga pembaca lain mempunyai kebebasan jika mempunyai penafsiran baca yang berbeda. Disamping itu, dengan suntingan diplomatik, tradisi penulisan teks suatu skriptorium masih dapat dilihat.

Penyuntingan diplomatik ini juga kiranya bermanfaat bagi peneliti dari bidang disiplin ilmu yang lain, misalnya dari bidang ilmu bahasa, yang memang langka dalam menekuni bahasa Jawa masa lampau dan bahasa di dalam teks-teks kuna. Jones menyatakan bahwa edisi teks yang ideal sebaiknya menonjolkan prestasi penulis asli daripada pengetahuan penyunting. Edisi diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah dan teks itu merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu (Jones 1980:125). Kekurangan dari edisi ini adalah bahwa pembaca tidak sunggguh-sungguh terbantu, padahal pembaca tidak

(14)

kenal dengan gaya atau isi teks sehingga harus berjuang sendiri dengan aneka kesulitan atau perubahan yang ada dalam teks (Robson 1994:25). Selanjutnya, Robson mengatakan bahwa masyarakat terpelajarlah yang akan lebih menyukai metode terbitan diplomatik. Alasan Robson tentang pernyataan ini didasarkan pada pendapat: siapa yang dapat menyatakan bahwa koreksi teks dari penyunting itu betul- betul sebuah koreksi. Bukankah dapat terjadi bahwa penyunting tidak mengenali bentuk yang sebetulnya sangat tepat dalam konteks tertentu ini? (Robson 1994:25).

Tentu saja baik terbitan diplomatik maupun terbitan dengan bacaan yang diperbaiki ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dengan tersedianya bahan-bahan - dalam hal ini suntingan teks - yang dekat dengan teks aslinya memungkinkan peneliti lain masuk dalam teks koleksi naskah Merapi-Merbabu dengan cara yang dipermudah.

Penyuntingan teks menjadi perlu karena Kidung Surajaya adalah teks masa lalu yang mempunyai latar belakang bahasa dan aksara yang berbeda dengan masa kini.

Selain itu, karena berasal dari bahasa waktu lampau, teksnya banyak terdapat kesalahan penyalinan. Kesalahan penyalinan ini biasa terjadi karena tulisan pada naskah induknya tidak jelas atau karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyalin karena penyalin sudah tidak lagi mengenal dengan baik aksaranya. Manakala teks disalin, kesalahan-kesalahan selalu muncul (West 1973:12, Teeuw 1991:212).

Adanya kesalahan-kesalahan itu teks bisa menjadi tidak terbaca secara semestinya sehingga sulit untuk diterjemahkan. Adanya kendala aksara dan bahasa itu menjadikan Kidung Surajaya tidak terjangkau oleh publik masa kini. Itulah sebabnya diperlukan suntingan teks, terjemahan, catatan, dan komentar agar informasi yang ada pada teks dapat diakses oleh publik masa kini.

Teori sastra yang kiranya dekat untuk membicarakan hal yang tersirat dari yang tersurat seperti yang dikatakan oleh penulis Kidung Surajaya sendiri, yaitu teori sastra dari Riffaterre (1978). Riffaterre antara lain menyatakan bahwa dalam membaca puisi sastra ada dua tahapan. Tahapan pertama yaitu pembacaan pertama disebut heuristic reading. Tahapan kedua yaitu pembacaan level kedua disebut hermeunitic reading. Pendek kata, pembacaan pertama dimaksudkan untuk mengerti jalan cerita dalam teks, pembacaan kedua untuk mencari makna dari teks tersebut.

Selanjutnya, Riffaterre (1978:1) berpendapat, puisi menyatakan satu hal dan berarti yang lain ‘a poem says one thing and means another’. Buku Riffaterre ini relevan dalam konteks sastra Jawa karena pembedaan antara yang tersurat dan tersirat adalah lazim dalam puitika Jawa.

Bab I berisi pendahuluan yang mencakup pembicaraan mengenai alasan penulisan, hambatan-hambatan, latar belakang naskah Merapi-Merbabu, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan sistematika penyajian. Bab II berisi deskripsi naskah, metrum, bahasa, kolofon, dan penulis Kidung Surajaya. Bab

(15)

III berisi teks, terjemahan, dan cacatan. Bab IV berisi analisis makna isi teks Kidung Surajaya, menguraikan beberapa hal yang dianggap penting dan terjangkau tentang makna yang tersirat maupun tersurat. Daftar Pustaka dan Lampiran 1 berisi ikhtisar, lampiran 2 berisi daftar aksara.

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

36 Chapter 1 ŔeForm SUBCONSCIOUS (Muddled Thinking) Internal Colonization Unrealistic Dreamer American Walden (Sub-)Consciousness Enclosed Garden. Asocialen –

To give one example, I approached this by compressing dirt, plant fragments and building debris, collect- ed on the ruins of an early 20th century socialist commune in the

Asocialen-Private Prophesy-Detox, performance and installation, Ruchama Noorda, Diepenheim, 2012..

In this chapter, I set out to explore the contradictory social, political and spiritual legacy of the Lebensreform movement of the late 19th and early 20th centuries.. As mentioned

Civic Virtue, Tympanum (Ruchama Noorda), plaster, gravel, spray-paint and marker on wood, Civic Virtue VI, Grand Tour, W139, Amsterdam, 2013..

In the years immediately after the Second World War, long before the Beat movement gained national momentum with the widespread circulation of texts by people like Jack

Sometimes the research follows the work, as I go about interpreting and tracing out the meaning of a project once it is been completed, and seek to pinpoint where it comes from,

Hannover and London: Tufts University Press of New England..