• No results found

Strategi Petani dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "Strategi Petani dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi"

Copied!
121
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

Strategi Petani dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi di Daerah Irigasi Wanir

(studi kasus di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung)

SKRIPSI

Hardian Eko Nurseto G1E03002

Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

2009

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian yang dilakukan ini mengenai strategi petani dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi pada Daerah Irigasi Wanir. Penelitian ini bermaksud menggambarkan bagaimana petani di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung berkerjasama dalam menjamin ketersediaan air irigasi mereka sepanjang tahun.

Daerah Irigasi Wanir berada pada daerah hulu subDAS Citarum yang mengairi lahan seluas 2062.5 ha dan tersebar dalam 14 desa di 3 kecamatan yaitu kecamatan Pacet, Ciparay dan Majalaya. Selama periode kekeringan tahun 2006, debit air di bendungan Wanir mengalami penyusutan hingga 8366 l/detik (9160 l/detik menjadi 794 l/detik). Dampaknya adalah sekitar 1.500 hektar sawah di Pacet, Ciparay, dan Majalaya gagal panen (data sekunder Dinas pengairan Ciparay, 2007).

Pada musim penghujan sungai Citarum sering kali meluap dan membanjiri pemukiman dan persawahan. Keterangan yang dihimpun Antara menyebutkan sebanyak lima desa di Kecamatan Majalaya dan Ciparay tercatat dilanda banjir cukup parah dengan ketinggian antara 0,5 meter hingga 1,5 meter di persawahan dan permukiman penduduk. Di Kecamatan Ciparay, banjir bandang Sungai Citarum melibas dua desa yaitu Desa Sumbersari dan Mekarsari yang mengakibatkan 384

(3)

rumah yang dihuni 1.392 jiwa terendam air setinggi 0,5 hingga satu meter. Selain itu sekitar 215 hektare sawah yang siap panen terancam membusuk karena terendam air (Media Indonesia, 9-04-2001).

Ketersediaan air irigasi sangat penting dalam pertanian, karena air dapat memelihara stuktur tanah, menghambat dan menekan pertumbuhan gulma, mengatur tinggi rendahnya suhu tanah, dan membawa zat hara yang diperlukan oleh padi (Siregar, 1981:180). Idealnya air harus selalu tergenang selama kurang lebih 80 hari, dan 20 hari sisanya atau menjelang masa panen, sawah tidak memerlukan banyak air, bahkan harus dikeringkan (Hardjono, 1990). Namun, sifat dan jumlah pasokan air bisa tak terduga, ketika musim kemarau air sulit untuk didapat dan dapat mengancam pertumbuhan, dan terkadang di musim hujan jumlah air di saluran-saluran irigasi melewati batas dan menimbulkan banjir di petak-petak sawah, sehingga diperlukan berbagai strategi untuk menyiasati dan menjamin ketersediaan air guna mempertahankan produktifitas pertanian.

Penelitian Krishna (2000) di Rajathan India Selatan tentang keterlibatan penduduk desa dalam proyek penampungan air menunjukkan bahwa resiko kekurangan pasokan air dapat diselesaikan bersama-sama oleh warga desa. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah berkerjasama dan menciptakan organisasi perkumpulan pemakai air. Jadi, berbagai upaya masyarakat dalam pengelolaan air dapat memunculkan tindakan-tindakan bersama dengan tujuan untuk menghindari dan menyelesaikan persoalan pasokan air.

(4)

Dalam menjamin ketersediaan air, terutama di Jawa, kelompok-kelompok petani membangun jaringan irigasi dengan memanfaatkan aliran sungai untuk mengairi sawah-sawah mereka. Irigasi tidak dapat dilaksanakan secara perorangan, berbagai kegiatan keirigasian menuntut kerjasama diantara para petani yang bersangkutan. Petani-petani Jawa menjawab tuntutan itu dengan mengembangkan kerjasama yang erat diantara mereka, dan kerjasama yang erat itu menjadi landasan bagi munculnya peradaban khas masyarakat pertanian padi pada masa lampau, yaitu peradaban pengairan (hidraulic civilization) (Hutapea, 1996: x).

Pada masyarakat Bali, para petani-petani Bali mengembangkan teknologi irigasi yang kita kenal dengan nama Subak1. Dalam organisasi Subak kerjasama antar petani juga menjadi faktor penting dalam penyediaan dan pendistribusian air irigasi. Ketika musim kemarau misalnya, dalam menghadapi kekurangan air mereka mengembangkan sistem pinjam-meminjam air antar Subak dalam satu aliran sungai.

Penelitian Wayan Widia mengenai pengelolaan irigasi dalam kasusnya di Subak Agung Yeh Ho, Tabanan-Bali menjelaskan, bahwa dalam menghadapi kekurangan air pada musim kemarau Subak / Subak Gede saling meminjamkan air yang difasilitatori oleh Subak Agung dalam kasus ini adalah Subak Agung Yeh ho. Apabila ada Subak di hilir yang membutuhkan pinjaman air irigasi, maka mereka melapor kepada Pekaseh (pimpinan) Subak Agung yang kemudian akan meninjau Subak yang kekurangan air dan menghubungi Subak yang akan dipinjami air. Apabila persediaan air di Subak

1 Subak adalah lembaga yang mengatur dan menyalurkan air ke sawah-sawah untuk pertanian dan juga sangat efktif digunakan untuk memungut pajak tanah (Liefrinck dan Graeder dalam Shusila 1992:

213-215).

(5)

yang akan di pinjami air memungkinkan untuk dipinjam, maka penjaga pintu bendung akan mengalirkan air untuk Subak yang membutuhkan. Pada umumnya Subak di Hulu akan meminjamkan beberapa saat (beberapa hari) untuk dapat menolong temannya yang ada di daerah hilir (Widia, 1996, dalam Kurnia, 1997:

247).

Pinjam-meminjam air ini bisa terjadi karena adanya kerjasama yang dilandasi oleh rasa persaudaraan dan rasa persatuan antara Subak-Subak di wilayah sungai Yeh Ho. Pertemuan-pertemuan mereka dalam upacara adat di pura-pura menjadi pemicu rasa persatuan dan persaudaraan diantara mereka.

Namun, dalam telaah kesejarah yang dilakukan oleh S.R. Hutapea nilai-nilai kerjasama dan kebersamaan dalam pengelolaan irigasi pada periode Sebelum Penjajahan, Penjajahan, Republik Indonesia, mengalami gangguan yang semakin lama semakin serius sejak periode Penjajahan. Melemahnya kerjasama dan berkembangnya individualisme dalam pengelolaan irigasi terus berlanjut hingga ke masa pemerintahan Orde Baru. Pembentukan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) oleh pemerintah ternyata belum berfungsi dengan baik. Sistemnya yang seragam seluruh Indonesia, membuat petani menjadi pasif, dan hanya bergerak jika diperintah (Asnawi, 1996, dalam Hutapea, 1996: 43-45).

Mengacu pada Hutapea dan Asnawi yang melihat penurunan tingkat kerjasama petani, Penelitian ini akan berusaha melihat apakah petani di Dusun Leles Desa Mekarsari melakukan kerjasama dalam pengadaan air irigasi demi terjaminnya pasokan air pada sawah-sawah mereka? Penelitian ini juga ingin mencoba

(6)

mengungkapkan lebih dalam tentang strategi kerjasama yang dilakukan petani dalam menjaga pasokan air pada petak-petak sawahnya. Selain itu, penelitian ini juga akan membandingkan pola-pola kerjasama yang dilakukan petani antara musim kemarau yang sulit air dan musim penghujan yang surplus air.

1.2. Masalah Penelitian

Petani di Dusun Leles Desa Mekarsari sudah sejak lama menggunakan saluran irigasi Wanir untuk memasok air ke sawah-sawah mereka. Di lihat dari sisi geografisnya letak Dusun Leles Desa Mekarsari berada pada ketinggian 700 mdpl dan terletak di hilir saluran irigasi, membuat daerah ini hanya mendapatkan air sisa dari daerah lain diatasnya dan sering kekurangan pasokan air pada musim kemarau.

Begitu pula pada musim penghujan, karena letaknya yang berada dihilir membuat daerah ini kerap dilanda banjir akibat meluapnya air dari sungai citarum ataupun saluran irigasi yang pintu-pintu airnya rusak atau hilang.

Ketidakstabilan pasokan air irigasi ini akan menimbulkan permasalan dalam mekanisme pembagian air. Hal tersebut akan membawa kita pada permasalahan bagaimana strategi yang dilakukan petani dalam rangka menjamin ketersedian air irigasi di petak-petak sawahnya. Penelitian ini ingin melihat bagaimana petani membuat kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk menjamin ketersediaan air irigasi pada lahan pertaniannya, guna mempertahankan produktifitas pertanian mereka.

Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian difokuskan kepada :

(7)

1. Bagaimana pengelolaan irigasi di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung?

2. Bagaimana petani berkerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk menjamin ketersediaan air irigasi di musim kemarau dan musim penghujan?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana petani melakukan strategi kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan air irigasi di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung dalam menghadapi fluktuasi air irigasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Selain itu penelitian ini juga berusaha membandingkan antara strategi yang dilakukan petani pada musim kemarau dan musim penghujan terkait dengan perbedaan pasokan air irigasi.

1.4. Tinjauan Pustaka 1.4.1. Petani

Petani (Peasant) merupakan masyarakat yang mencari nafkahnya dan mengambil cara hidup dengan mengelola tanah. Pertanian yang dilakukan dalam hal ini adalah suatu mata pencaharian hidup dan bukan merupakan kegiatan untuk mencari keuntungan (Redfield, 1982:19). Wolf (1985:2) membedakan petani menurut kegiatan usahanya kedalam dua kelompok: Pertama, pengusaha pertanian

(8)

(farmer) yaitu pengelola perusahaan pertanian dengan mengkombinasikan faktor- faktor produksi yang diupayakan dengan sejumlah modal kemudian hasil produksi dijual ke pasar untuk memperoleh keuntungan. Kedua, petani pedesaan (peasant) yaitu petani yang bercocok tanam di daerah pedesaan, ia tidak melakukan usaha pertanian sebagai sebuah perusahaan bisnis tetapi hanya mengelola lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Scott (1989:62) melihat petani dari sudut pandang moral yang hidup dalam pola subsisten (yaitu rumah tangga petani yang mengerjakan suatu lahan kecil untuk dikonsumsi sendiri) dan enggan mengambil resiko. Pada prinsipnya petani beranggapan bahwa pertanian bukanlah suatu usaha yang ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu usaha pertanian subsistensi yang semata- mata bertujuan untuk menghasilkan pangan (Scott. 1989:22).

Pandangan lain mengenai petani diungkapkan oleh Popkins (1986:4) yang lebih mengakui adanya rasionalitas petani yang akan terus memaksimalkan sumberdaya dan kemakmuran sendiri. Dalam kehidupan petani terdapat resiko yang mereka ambil, walaupun mereka sangat miskin dan dekat dengan garis bahaya, namun cukup banyak kejadian para petani masih mempunyai sedikit kelebihan dan kemudian melakukan tindakan investasi yang beresiko. Ia membantah anggapan bahwa petani enggan mengambil resiko ketika mereka mengevaluasi strategi-strategi ekonomi dan anggapan-anggapan bahwa mereka lebih menyukai strategi kecil tapi mendatangkan hasil yang pasti daripada strategi yang dapat menghasilkan hasil yang besar tapi dapat mendatangkan resiko yang besar pula (Popkin, 1986:14-15).

(9)

1.4.2. Sumber Daya Air

Pentingnya air irigasi bagi pertanian ini menjadikan “air” sebagai sumber daya2 bagi petani dan mengandung arti bahwa adanya akses3 terhadap sumber daya tersebut. Menurut Garret Hardin (1968, dalam Cousins 1995) apabila suatu sumberdaya itu open access atau tidak ada hak milik, sumber daya ini dapat dimiliki oleh setiap orang, dan hal ini sama saja dengan tidak dimiliki oleh siapapun, sehingga dapat dipakai secara bebas. Hal ini menurut Hardin akan menyebabkan

“Tragedy of the Common” karena dengan akses terbuka (open access), akan terjadi over-eksploitasi sumber daya tersebut yang akan menyebabkan rusaknya sumber daya tersebut. Hardin berpendapat bahwa akses terbuka akan mendorong aktor-aktor rasional untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas sumber daya tersebut. Namun, pendapat Hardin ini memunculkan kritik-kritik terhadapnya, karena model tragedy of the commons gagal membedakan antara akses terbuka dan kepemilikan komunal.

2Sumber daya adalah hasil dari pendapat, keinginan, keahlian, teknologi, modal, hukum, dan penataan secara institusi, seperti halnya kebiasaan politik. Apa yang menjadi sumber daya di suatu daerah mungkin hanya merupakan benda biasa saja di daerah lainnya (Mitchell,1989).

Menurut Koning (2001: 262) sumber daya adalah aset, hak milik, produk, sarana-sarana, kepunyaan, kekayaan, nasib baik, kemakmuran dan modal.

Sumber daya menurut Bromley ialah benefit stream atau aliran manfaat yang bisa diperoleh untuk mencapai tujuan. Secara umum Sumber daya merupakan “energi” yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.

3Akses (acces), di dalam The Concise Oxford Dictionary (1991: 7), dapat diartikan sebagai 1) sebuah jalan untuk mendatangkan atau mencapai sesuatu; 2) Hak atau kesempatan untuk menjangkau sesuatu; 3) merujuk pada kepentingan kelompok tertentu untuk mengerjakan sesuatu.

Akses dapat dilihat secara kepemilikan atau penguasaan, bagaimana seseorang dapat mengakses yang menjadi miliknya dan bukan hak miliknya, atau bagaimana seseorang memiliki akses terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya melalui penguasaan tanpa memilikinya.

(10)

Common property is not “everybody’s property”. The concept implies that potential resource users who are not members of a group of co- equal owners are excluded. The concept “property” has no meaning at all without this feature of exclusion of all who are not either owners themselves or have some arrangement with owners to use the resource in question (Cousins, 1995: 4).

Menurut pendapat tersebut di bawah kepemilikan bersama, hak individual dapat dibatasi dan diatur sehingga eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya dapat dicegah. Bromley dan Cernea (1989) menyatakan bahwa sumber daya bukan dilihat dari aspek fisik melainkan lebih pada unsur-unsur sosial yang terkait dalam pemanfaatan sumber daya tersebut. Hak pemanfaatan sumber daya ditentukan oleh anggota-anggota masyarakat beserta aturan –aturan yag telah disepakati.

Bromley dan Carnea (1989) membagi kepemilikan dan pengaturan atas sumberdaya ke dalam empat kategori, yaitu open-acces (sumber daya yang berhak diakses oleh siapa saja, misalnya udara, sinar matahari); commom property (sumber daya milik bersama dan bukan milik pribadi) sumber daya ini hanya dapat diakses oleh suatu kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk mengunakan sumber daya itu. Penggunaan sumber daya tersebut diatur oleh sistem tertentu yang telah disepakati oleh masyarakat pengguna sumber daya tersebut ; state property (sumber daya milik negara) penggunaan sumber daya ini dikontrol langsung oleh negara, dan penggunaannya diautr oleh undang-undang dalam suatu negara, misalnya PLN (Perusahaan Listrik Negara); dan private property (sumber daya milik perorangan).

(11)

Sependapat dengan Bromley dan Carnea ternyata air irigasi tidaklah open access, Akses petani terhadap air irigasi tergantung pada banyak hal seperti, kepemilikan fisik, kedekatan tempat tinggal dengan sumber daya, dan hubungan- hubungan sosial dengan pengambilan kebijakan pengelolaan air, inilah yang disebut modal. Mereka yang memiliki modal besar dan kontrol terhadap sumber daya, dalam artian memiliki teknologi dan sarana penyaluran air, dekat dengan sumber air atau bahkan menguasaianya, serta memiliki hubungan yang baik dengan pengaturan tingkat desa, hampir selalu mempunyai akses istimewa pada sumber daya air dan lebih mampu mengeksploitasinya (Benda-Beckman, Franz von dan Keebet Von Benda-Beckman, 2001: 41).

Pengelolaan sumber daya tentu saja berhubungan dengan pranata sosial, karena merupakan sistem yang menjadi wahana yang masyarakat dalam berinteraksi menurut pola-pola resmi. Pranata juga dapat dibatasi sebagai sistem norma khusus atau sistem aturan yang menata suatu ruang kajian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat, 1992). Pranata sosial yang dikembangkan di berbagai tempat memenuhi fungsinya masing-masing secara khusus mengacu ke bentuk-bentuk persoalan yang dihadapi masyarakat. Van de Ven, misalnya menunjukan bagaimana pembagian waktu antar orang di dalam pengelolaan pertanian sebagai perwujudan solidaritas telah menyebabkan teratasinya persoalan pangan yang dihadapi penduduk.

(Van de Ven, 2000: 90, dalam Abdullah, 2004).

(12)

1.4.3. Strategi Petani dalam Pengelolaan Irigasi.

Petani sebagai pengelola lahan pertanian tentunya harus menjamin ketersediaan air pada petak-petak sawah mereka, agar proses produksi mereka berjalan dengan baik. Penyediaan dan pengendalian air merupakan faktor yang penting dalam penanaman padi. Air yang berlebih sama besar bahayanya dengan kekurangan air, dan untuk mengatasi permasalahan tersebut biasanya petani-petani memiliki mekanisme tertentu dalam pemenuhan kebutuhan atas air dengan mengacu pada waktu (Geertz, 1983:31).

Variasi-variasi keadaan alam dan kemampuannya di dalam mendukung pemenuhan kebutuhan hidup merupakan hal penting untuk dilihat secara seksama di berbagai tempat karena hal ini dapat memperkuat desakan untuk membuat strategi yang tepat, apakah itu terkait dengan rekayasa lingkungan alam, maupun cara lain yang dapat mengatasi kelangkaan sumberdaya itu. (Benda-Beckmann et al. 1988 dalam Benda-Beckmann 2001).

Dalam mengahadapi ketidakpastian pasokan air baik di musim kemarau maupun penghujan petani dapat mengembangkan suatu strategi untuk menjamin ketersediaan air irigasi. Yang dimaksud dengan strategi disini adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-dalam menggunakan kemampuan, sumber daya dan lingkungan secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Terdapat empat unsur penting yang saling berkaitan dalam pengertian strategi, yaitu: kemampuan, sumber

(13)

daya, lingkungan, dan tujuan (Mulyana, 2007) 4. Jadi dalam konteks penelitian ini, ketidakpastian pasokan air irigasi ke petak-petak sawah membuat petani melakukan strategi dengan mengembangkan kerjasama untuk tujuan menjamin ketersediaan air irigasi.

Dalam mengembangkan kerjasama, petani dapat menggunakan hubungan sosial dan jaringan sosial5 untuk menjamin ketersediaan air irigasi. Dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk ikatan sosial yang berfungsi dengan baik, baik itu ikatan antarorang dalam berbagai bentuknya maupun ikatan antarkelompok.

Ikatan ini membentuk suatu jaringan yang didasarkan pada berbagai prinsip.

Keluarga atau kerabat menjadi prinsip yang mendasar dalam berbagai transaksi sosial. Yang secara umum memiliki implikasi yang luas hingga keluar batas keluarga dan kerabat. Ikatan kekerabatan dapat mempengaruhi struktur akses yang bersifat ekonomi atau bersifat politik dalam usaha akumulasi kekayaan dan kekuasaan.

Proses yang sama terjadi pada ikatan tempat tinggal dan ketetanggaan. Hubungan- hubungan ketetanggaan yang diidealkan dalam suatu masyarakat dapat menjadi basis yang kuat didalam menggalang kekuatan serta mobilisasi dana dan tenaga kerja.

Gotong royong misalnya, kegiatan ini sangat fungsional bagi pemecahan persoalan

4 Konsep dari strategi akan lebih dimengerti bila dibandingkan dengan taktik. Taktik mencakup pilihan terbaik yang telah dipilih pada keputusan tingkat strategi. Taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat.

5 Jaringan sosial adalah suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok (Granovetter dan Swedberg, 1992 dalam Damsar, 1997). Jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena seseorang tidak dapat dan tidak mau berhubungan dengan semua orang yang ada, tetapi hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang saja. Begitu juga, setiap orang belajar dari pengalamannya untuk masing-masing memilih untuk mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia di masyarakatnya. (Suparlan, 1988).

(14)

sehari-hari yang dihadapi penduduk. Ikatan-ikatan semacam ini menjadi dasar adanya kohesi sosial dan solidaritas dalam masyarakat yang telah ditunjukan sebagai ikatan yang kuat untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hidup manusia.

Jaringan ini pada gilirannya akan menjadi sumber penting yang siap dimanfaatkan oleh anggota dalam mengakses berbagai kesempatan dan kepentingan. Pada saat mekanisme formal tidak mampu merespon kebutuhan penduduk, maka jaringan ini akan membentuk kekuatan yang telah teruji (Abdullah, 2004).

Ostrom (2000) mengungkapkan bahwa persoalan tentang sumber daya air yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitasnya harus menyadarkan semua pihak bahwa persoalan air perlu dikelola secara bersama-sama dalam sebuah organisasi6, dalam hal ini adalah organisasi irigasi. Organisasi irigasi adalah pola-pola interaksi diantara manusia secara langsung ataupun tidak langsung, berkepentingan dengan irigasi tersebut. Berarti irigasi sebagai suatu organisasi sosial menyangkut bagaimana orang bersangkut-paut dengan pengairan saling berhubungan satu sama lain.

Menurut Coward (1980), fungsi organisasi irigasi di dalam aktifitasnya dapat dikategorikan kedalam tiga bagian.

 Pertama, aturan-aturan yang menetapkan atau mengontrol pengalokasian dan pendistribusian air untuk sawah-sawah.

 Kedua, aturan untuk memobilisasikan para petani dan sumber- sumber lainnya didalam pemeliharaan dan perbaikan irigasi.

6 Pengorganisasian merupakan pengaturan kegiatan yang didalamnya terdapat pembagian kerja, tugas, hak dan kewajiban dalam sebuah kesatuan atau kelompok.

(15)

 Ketiga, aturan-aturan yang menyelesaikan perselisihan diantara petani yang disebabkan oleh air.

Aturan-aturan ini didalamnya juga meliputi kedudukan dan peranan-peranan individu dan kelompok yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan irigasi yang dapat mempengaruhi ketiga kategori tersebut.

Selain pembentukan organisasi irigasi, menurut Wolf (1985:42) dalam menghadapi cobaan yang berat, petani akan membuat pesekutuan-pesekutuan.

Persekutuan ini dinamakan koalisi dalam arti kombinasi atau persekutuan terutama yang bersifat sementara antara orang, golongan, negara. Koalisi-koalisi petani ini oleh Wolf (1985:144) dibedakan kedalam tiga kriteria, yaitu: (1) tingkat koalisi yang dibentuk antara orang-orang yang mempunyai banyak kepentingan yang sama (koalisi banyak benang atau manystranded) atau antara orang-orang yang terikat oleh satu kepentingan tunggal (koalisi satu benang atau singlestranded). Koalisi yang banyak benang terbentuk oleh banyak ikatan yang jalin-menjalin dan saling mencakup dengan mengandalkan hubungan kerabat atau sahabat atau tetangga. (2) jumlah orang yang terlibat koalisi. Koalisi itu diadik yang melibatkan dua orang atau dua kelompok orang, atau koalisi itu poliadik yang melibatkan banyak orang atau banyak kelompok orang. (3) apakah koalisi itu terbentuk oleh orang-orang yang mempunyai peluang-peluang hidup yang sama dan menduduki posisi yang sama dalam tatanan sosial, ataukah oleh orang-orang yang menduduki posisi berbeda dalam tatanan sosial.

(16)

1.5. Kerangka Pemikiran

Kestabilan pasokan air yang di setiap musim menjadi tantangan petani di Dusun Leles. Kelangkaan air di musim kemarau dan berlimpahnya air di musim penghujan merupakan masalah yang menuntut strategi ke arah kerjasama agar lahan garapan tetap berproduksi. Kerjasama antar pemakai saluran irigasi menjadi penting karena air tidak dimiliki satu orang saja dan resiko ketika pasokannya tidak stabil juga tidak ditanggung satu orang saja. Selain sebab alami seperti musim, faktor sosial juga menjadi penyebab ketidakstabilan (sifat air sebagai sumberdaya) yakni, akan diperebutkan jika pemakai lebih besar daripada yang tersedia. Persaingan menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari antar pengguna air irigasi.

Pengaturan irigasi agar sesuai kebutuhan pada akhirnya menuntut strategi dari para penggunanya. Strategi yang dimaksud adalah hubungan-hubungan sosial dalam upaya untuk menjamin ketersediaan irigasi yang mewujud dalam bentuk kerjasama, baik antarorang atau antarkelompok. Oleh karena itu diasumsikan terdapat berbagai bentuk kerjasama yang dilakukan petani dalam mengatasi ketidakpastian pasokan air irigasi di musim kemarau dan penghujan. Bentuk-bentuk kerjasama bisa dilihat dari pembentukan organisasi irigasi, hubungan-hubungan sosial, jaringan sosial, dan koalisi-koalisi yang dilakukan petani dalam rangka menjamin ketersediaan air di petak-petak sawahnya. Pemenuhan kebutuhan air irigasi ini merupakan perwujudan dari strategi yang dilakukan petani untuk mengatasi kekurangan air.

Strategi pemenuhan air irigasi untuk produksi pertanian merupakan upaya petani dalam mengelola hubungan-hubungan sosial seperti kerjasama antar orang

(17)

maupun antar kelompok dalam bentuk organisasi irigasi, hubungan-hubungan sosial, jaringan sosial, dan koalisi-koalisi yang ada. Pentingnya aspek sosial dalam pengelolaan irigasi ini perlu diketahui lebih mendalam mengingat strategi dalam pengelolaan sumberdaya berkaitan erat dengan kemampuan individu maupun kelompok dalam mengoptimalkan akses dan kontrol sumberdaya.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan pemaparan deskriptif yang bertujuan menggambarkan bagaimana petani-petani di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung membuat strategi-strategi dalam mengelola irigasi. Bogdan dan Tylor dalam Lexy J Moleong (1990) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Metode deskriptif ini memiliki dua tujuan, yaitu mengetahui perkembangan sarana fisik atau aspek fenomena sosial tertentu, lalu menggambarkannya dengan rinci (Singarimbun dan Effendi,1981: 4). Dengan penelitian deskriptif ini diharapkan analisis penelitian dapat menggambarkan fenomena sosial secara terperinci.

Menurut Melly G. Tan, metode penelitian deskriptif memberikan gambaran secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu dan menjelaskan penyebab dari keadaan atau gejala tersebut (dalam Koentjaraningrat,

(18)

1990). Pendekatan tersebut juga berusaha menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan.

1.6.1. Satuan analisis dan populasi penelitian

Untuk memahami bagaimana strategi pengelolaan irigasi, maka satuan analisisnya adalah petani yang terhimpun dalam organisasi petani P3A/Mitra cai.

Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat petani sawah irigasi di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung

1.6.2. Metode pengumpulan data

Karena satuan analisis penelitian ini adalah petani baik individu maupun yang terhimpun dalam kelompok petani., maka teknik pengumpulan datanya adalah pengamatan terlibat (observasi partisipan), wawancara mendalam (deep interview), dan studi kepustakaan, dan dokumentasi.

1.6.2.1. Pengamatan terlibat (observasi partisipan)

Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan terlibat dalam aktifitas petani yang berkaitan dengan pemenuhan pasokan air irigasi di musim kemarau. pengamatan ini dilakukan secara wajar dan objektif tanpa berupaya untuk mengatur atau mempengaruhi sehingga dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Dengan menggunakan teknik ini peneliti dapat

(19)

memahami apa yang dikajinya sesuai dengan pandangan obyek penelitian.

Fenomena-fenomena yang ditemukan di lapangan dari hasil pengamatan digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian. Cara yang dilakukan antara lain, mengamati lahan persawahan, menelusuri jaringan-jaringan irigasi, mengamati kegiatan para petani di sawah, maupun ditempat lain, misalnya warung, kantor kelurahan atau tempat umum lainnya. Hasil pengamatan ini dicatat dalam buku catatan dan direkam dengan kamera dalam bentuk foto dan film.

1.6.2.2. Wawancara mendalam (deep interview)

Teknik ini merupakan cara untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan, dengan becakap-cakap berhadapan muka dengan orang yang diwawancarai. Peneliti perlu mengajukan pertanyaan awal mengenai siapa, apa, di mana, kapan, kenapa, dan bagaimana. Selain itu, teknik ini juga dilakukan untuk memeriksa jawaban-jawaban yang telah diperoleh dengan mengajukan pertanyaan secara berulang-ulang. Sebelum melakukan wawancara ada pentingnya melakukan persetujuan dengan responden. Untuk memperoleh data yang lebih akurat, dalam proses wawancara mendalam dilakukan dengan kombinasi pendapat dari minimal tiga orang dengan harapan untuk memperkaya informasi tentang strategi petani dalam menjamin ketersediaan air. (Koentjaraningrat, 1990: 129).

Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai pengetahuan luas terhadap organisasi irigasi, pertanian, masalah- masalah yang berkaitan dengan pengelolaan dan kekurangan air, yang terdiri dari

(20)

tokoh-tokoh masyarakat baik formal maupun informal di Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Selain itu juga, wawancara dilakukan pada informan biasa yaitu masyarakat yang ditemui secara khusus maupun tidak sengaja atau kebetulan pada saat peneliti berada di lapangan.

Wawancara mendalam juga memiliki kegunaan lain, yaitu untuk mengatasi kekurangan pada teknik diskusi yang terfokus (focus group discussion) dalam suatu kelompok, sehingga pemikiran-pemikiran secara individual dapat tergali. Teknik ini dikerjakan berdasarkan pedoman wawancara dengan bantuan tape recorder.

1.6.2.3. Studi Kepustakaan dan pengumpulan data sekunder

Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data melalui buku-buku riset- riset yang telah dilakukan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sebagai landasan dan pembatasan masalah penelitian, serta mempercepat pemahaman tentang lapangan penelitian juga untuk mempertajam analisis. Pengumpulan data-data seperti, data kependudukan, dan data-data lainnya yang dianggap perlu untuk menambah informasi, dikumpulkan pada saat penelitian lapangan berlangsung. Studi kepustakaan memanfaatkan beberapa perpustakaan di Bandung dan Jatinangor, Perpustakaan Jurusan Antropologi Sosial Unpad, Perpustakaan Fisip Unpad, dan Perpustakaan CISRAL Unpad, Pusat Dinamika Penduduk (PDP), Perpustakaan AKATIGA, dan Internet.

1.6.3. Lokasi Penelitian

(21)

Lokasi penelitian ini Dusun Leles Desa Mekarsari Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung Jawa Barat. Tempat ini dipilih karena Dusun Leles adalah daerah paling hilir dari Daerah Irigasi (DI) wanir, sehingga terdapat permasalahan- permasalahan terkait ketidakstabilan pasokan air.

Banyaknya pengguna air irigasi di DI Wanir, jarak yang jauh dari bendung utama, hal ini membuat daerah ini hanya mendapat air sisa dari daerah-daerah diatasnya. sehingga petani di Dusun Leles ini harus melakukan strategi kerjasama dalam pengadaan air irigasi untuk sawah-sawah mereka. Permasalahan inilah yang membuat Dusun Leles dianggap cocok untuk dijadikan lokasi penelitian.

Gambar 1.1. Peta Kabupaten Bandung

1.6.4. Data Set Penelitian

(22)

Tabel 1.1 Data Set Penelitian

Topik Data Set Sumber Data Teknik

Pengumpulan Data Permasalahan Irigasi di Musim Kemarau

Ketersediaan air irigasi

saluran irigasi, Siklus kemarau

Petani, Pengurus P3A, PU pengairan

Wawancara, observasi

Masalah-masalah yang timbul

Pola tanam, Pemilihan Benih, pengaturan irigasi

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

Permasalahan Irigasi di Musim Penghujan Ketersediaan air

irigasi

saluran irigasi, Siklus Penghujan

Petani, Pengurus P3A, PU pengairan

Wawancara, observasi Masalah-masalah

yang timbul

Pola tanam, Pemilihan Benih, pengaturan irigasi

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

Pengelolaan Irigasi Pola Pengelolaan Cara kerja, waktu

kerja, detail kegiatan pengelolaan

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

Masalah dalam Pengelolaan

masalah yang dihadapi

Petani, Pengurus P3A

Wawancara

Strategi petani di musim kemarau Pola keseharian Bentuk kegiatan

pertanian

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

(23)

strategi penyelesaian masalah di musim kemarau

Bentuk-bentuk kerjasama, Hubungan sosial,

jaringan sosial, koalisi-koalisi, dan

lain-lain

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

Strategi petani di musim Penghujan Pola keseharian Bentuk kegiatan

pertanian

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

strategi penyelesaian masalah di musim Penghujan

Bentuk-bentuk kerjasama, Hubungan sosial,

jaringan sosial, koalisi-koalisi, dan

lain-lain

Petani, Pengurus P3A

Wawancara, observasi

1.6.5. Rancangan Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analis data kualitatif. Peneliti melakukan pengumpulan dan pengolahan data dalam bentuk kata- kata. Data kualitatif dianalisa dengan interpretasi terhadap data yang bersamaan waktunya dengan tahap pengumpulan data. Proses analisa data dalam pendekatan

(24)

kualitatif terdiri atas tiga tahap kegiatan yang bersamaan yaitu; reduksi data, penampilan data dan penulisan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data yang diperoleh dari lapangan.

Reduksi data dilakukan dengan membaca transkrip wawancara, catatan pengamatan atau dokumen-dokumen yang akan dianalisis, setelah itu disusun catatan atas data tersebut. Kegiatan reduksi data dilanjutkan dengan penampilan data, yaitu penyusunan data menjadi kumpulan informasi yang terorganisasi. Kegiatan terakhir dari proses analisis data kualitatif adalah pembuatan kesimpulan yang disusun setelah tahap pengumpulan data berakhir.

1.7. Organisasi Penulisan

Bab I dari skripsi ini merupakan pendahuan, didalamnya diuraikan tentang latar belakang penelitian, sedikit permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitain, tinjauan pustaka, dan metode penelitian sebagai penjelasan mengenai cara-cara yang ditempuh dalam proses penelitian.

Bab II berisi gambaran umum mengenai letak dan keadaan alam daerah penelitan. Penjelasan dimulai dengan menjelaskan kondisi kabupaten Bandung, kemudian kecamatan Ciparay, sedikit gambaran tentang daerah irigasi Wanir, Desa Mekarsari, dan yang terakhir gambaran tentang dusun Leles sebagai lokasi penelitian. Dalam bab ini juga duraikan mengenai kependudukan, pendidikan, mata pencaharian dan sarana transportasi di desa Mekarsari.

(25)

Bab III menguraikan siapa saja pengguna air irigasi Wanir, dari mulai petani, kolam ikan arus deras, dan indutri tekstil. Bab ini juga menjelaskan permasalahan- permasalahan yang terjadi di daerah irigasi Wanir baik di musim hujan maupun kemarau. Bagian terakhir dari bab ini menjelaskan mitra cai sebagi pengelola air irigasi Wanir.

Bab IV menguraikan bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan petani dalam menjamin ketersediaan air irigasi mereka. Bentuk-bentuk kerjasama itu antara lain nganir cai dan pompanisasi, iuran petani, dan kerjasama ditingkat keluarga.

Bab V, bab ini merupakan bagian terakhir dari skripsi ini. Bab ini berisi penarikan kesimpulan yang diambil dari ringkasan hasil penelitian mengenai pengelolaan irigasi di daerah irigasi Wanir serta saran-saran yang dapat diambil dari penelitian ini.

Selain kelima bab diatas, skripsi ini juga dilengkapi dengan gambar-gambar, peta lokasi penelitian, dan lampiran yang berupa, rinicaian luas petak tersier D.U.

Wanir, susunan pengurus P3A/Mitra cai “Harapan I”, serta undangan-undangan musyawarah kerja dari Mitra cai “Harapan I”.

BAB II

(26)

GAMBARAN UMUM

Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian yaitu Dusun leles, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Data yang tercantum pada gambaran umum ini disesuaikan dengan konteks penelitian yang memfokuskan pada pengelolaan irigasi dan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui berbagai aspek yang melatari penelitian.

2.1 Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung berada di cekungan dataran tinggi bandung dan termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat yang terletak antara 6°41’ sampai 7° 19’

lintang Selatan dan 107° 22’ sampai 108° 5’ Bujur Timur. Sebelah Utaranya berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Purwakarta; di bagian Selatan berbatasan dengan Kota Cimahi; di bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Garut; dan di bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Purwakarta.

Secara administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bandung pada tahun 2007 terdiri dari 45 kecamatan, 432 desa dan 8 kelurahan.Luas wilayah daerah Kabupaten Bandung sekitar 291.346 hektar, pada tahun 2004 Kabupaten Bandung dihuni sekitar 4.145.967 jiwa dengan jumlah penduduk perempuan 2.058.411 (49,65%) dan penduduk laki-laki 2.087.556 jiwa (50,35%).

(27)

Wilayah Kabupaten Bandung terletak pada ketinggian antara 110 meter sampai dengan 2.429 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujannya antara 60-150 mm/hari, suhu rata-rata berkisar antara 19°C dengan penyimpangan harian mencapai 5°C, dan kelembaban udara bervariasi antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Kemiringan lereng bervariasi antara 0-8°, 0-15° hingga di atas 45° yang secara topografis di bagi menjadi dua bagian, sebagian wilayahnya yang berupa perbukitan terbentang sepanjang bagian utara, selatan, serta bagian barat dengan kemiringan beragam antara 52-45°. Sebagian lagi berupa dataran yang terhampar luas di bagian tengah Cekungan Bandung dengan kemiringan antara 0-2

°dan 2-8° ke arah barat dan ke arah Sungai Citarum yang membelah wilayah timur ke barat ke utara menuju Laut Jawa (Badan Pengembangan Informasi Daerah Kabupaten Bandung 2004: 11-12).

Menurut data sejarah, wilayah Kabupaten Bandung pada awalnya merupakan daerah jajahan Mataram. Sultan Agung menunjuk Wiro Angun-Angun (1641-1681) sebagai bupati pertama yang pusat pemerintahannya berada di tepi utara Sungai Citarum atau di tengah dataran Bandung, tepatnya di sebuah kota kecil bernama Karapyak yang kemudian berubah nama menjadi Bojongasih, Citeureup, dan sekarang daerah ini dikenal dengan nama Deuyeuhkolot (Hardjono, 1990: 28).

Pada masa penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda berencana membangun Jalan Pos sepanjang 1000 Km dari Anyer Banten sampai Panarukan Jawa Timur yang melewati dataran tinggi Jawa Barat dengan tujuan untuk memperbaiki komunikasi militer dan sebagai sarana pengawasan penduduk setempat. Deandels yang pada saat

(28)

itu menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tanggal 25 Mei 1810 memerintahkan Bupati Priangan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke suatu lokasi yang berjarak 11 km ke Utara. Lokasi yang dipilihkan adalah adalah tempat jalan baru Anyer-Panarukan membelah sungai Cikapundung. Pada saat itu tanah di sepanjang Sungai Cikapundung masih berhutan lebat dan tempat terpilihnya hanya merupakan dusun kecil yang terdiri dari beberapa rumah (Pemerintah Daerah 1974: 117, dalam Hardjono, 1990: 28) kota baru ini yang dididrikan pada tahun 1811 dengan penduduk berjumlah 1800 diberi nama Bandung meskipun sebelumnya nama itu hanya digunakan sebagai nama wilayah (Hardjono, 1990: 28).

Sejak tahun 1906 pemerintah Hindia Belanda secara administratif mengubah Bandung menjadi Gementee (Kota Praja) dan mulai saat itu Kabupaten Bandung secara administratif terpisah dengan Gementee. Baru pada tahun 1974 atau setelah 68 tahun, Ibu Kota Kabupaten Bandung dipindahkan ke daerah Baleendah yang secara resmi menjadi wilayah administratif Kabupaten Bandung (Badan Pengembangan Informasi Daerah Kabupaten Bandung 2004: 5). Namun pada tahun 1980 Gubernur Jawa Barat menginstruksikan agar Kabupaten Bandung dipindahkan dari Baleendah ke Soreang, karena daerah itu sering terkena banjir. Secara resmi kompleks kantor pemerintahan daerah Kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang pada tanggal 1 April 1989 di atas lahan seluas 24 Hektar.

Penggunaan tanah di Kabupaten Bandung masih mempunyai ciri-ciri utama dari jaman kolonial. Padi masih merupakan tanaman utama di wilayah ini, tetapi masalah drainase belum juga bisa terpecahkan dari ratusan tahun lalu. Pada musim

(29)

kemarau tingkat ketinggian air di sungai Citarum sangat rendah sehingga menyulitkan petani dalam proses penanaman padi (Hardjono, 1990: 29).

2.2. Daerah Irigasi Wanir

Daerah Irigasi (DI) Wanir adalah salah satu dari 25 DI yang terdapat di Kabupaten Bandung. Daerah irigasi Wanir berada di wilayah kerja Cabang Dinas PU Pengairan wilayah VIII Ciparay dan cabang dinas PU Pengairan wilayah IX Majalaya, Dinas PU Pengairan kabupaten bandung.

Suplai air utama Daerah Irigasi Wanir ini berasal dari sungai Citarum bagian hulu. Daerah Irigasi ini memiliki bangunan utama berupa bendung, saluran primer sepanjang 1.25 km dan saluran sekunder sepanjang 27.22 km. Terdapat tujuh buah saluran sekunder di Daerah Irigasi Wanir, yaitu Saluran sekunder Cibodas, Saluran sekunder Cikoneng, Saluran sekunder Cipeujeuh, Saluran sekunder Sukasadar, Saluran sekunder Pasir astana, Saluran sekunder Wangisagara, dan Saluran sekunder Rancakentang.

Pembangunan Daerah Irigasi Wanir dimulai pada tahun 1965/1966 yang diawali dengan pembuatan pintu intake dan saluran induknya. Berikut ini adalah perkembangan daerah irigasi wanir sejak awal pembangunannya :

Tabel 2.1. Perkembangan Pembangunan Daerah Irigasi Wanir

Tahun Fasilitas Jumlah

1965/1966

Pintu intake

• Saluran pembawa

1 buah

(30)

1968/1969 • Bendung

1988/1989

• Bangunan penguras

• Bangunan sadap

• Bangunan bagi

• Bangunan terjun

• Bangunan got miring

1 buah 13 buah

7 buah 2 buah

1990/1991 • Bangunan sadap 24 buah

Sumber : Dinas Pengairan Kecamatan Ciparay, 2007

• Bangunan-bangunan tersebut terletak pada saluran induk Wanir, saluran sekunder Wangisagara, Cibodas, dan Cipeujeuh.

Daerah Irigasi Wanir mengairi 14 desa di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Pacet, Kecamatan Ciparay dan Kecamatan Majalaya. Dengan keadaan geografis sebagai berikut (data sekunder Dinas Pertanian Kecamatan Pacet, Ciparay dan Majalaya):

1. Kecamatan Pacet

Keadaan topografi terdiri dari daerah datar sebanyak 40%, daerah berbukit dan bergelombang sebanyak 60% dengan rata-rata kemiringan sebesar 30%

ketinggian tempat berkisar antara 700 – 1400 mdpl. Jenis tanah yang ada di wilayah ini terdiri dari Aluvial, Andosol, dan Podsolik merah kuning. Suhu rata-rata 26oC dan kelembaban udara 60 – 75%.

(31)

2. Kecamatan Ciparay

Keadaan topografi wilayah Ciparay berbukit di sebelah selatan dan datar di sebelah utara. Ketinggian tempat yaitu 673 mdpl. Jenis tanah didominasi oleh Latosol dengan suhu rata-rata 28oC.

3. Kecamatan Majalaya

Keadaan topografi wilayah Majalaya sebelah selatan umumnya landai dan berteras serta miring ke sebelah utara. Jenis tanah pada umumnya Latosol campur Grumusol, sedangkan sebelah barat, timur dan utara umumnya datar dengan jenis tanah Latosol. Ketinggian tempat berkisar antara 650 – 720 mdpl dengan suhu rata- rata 29-30 oC.

Daerah Irigasi Wanir pada tahun 2001 mengairi lahan seluas 2.213,5 ha yang tersebar dalam 101 petak tersier dan 14 desa. Pada tahun 2002 luas areal potensial saluran irigasi sebesar 2.062,50 ha dan terjadi penyempitan luas areal pengairan karena alih fungsi lahan sebesar 64,50 ha, sehingga luas areal fungsionalnya menjadi 1998 ha (lampiran). Pada tahun 2007 terjadi penyempitan luas areal pengairan Daerah Irigasi Wanir yang disebabkan oleh alih fungsi lahan dari persawahan menjadi pemukiman dan industri. Alih fungsi lahan persawahan menjadi pemukiman dan industri ini sebesar 188 ha atau sebesar 333.5 ha dari luas awal. Saat ini Daerah Irigasi Wanir mengairi lahan hanya seluas 1.880 ha yang tersebar dalam 101 petak tersier. Tabel dibawah ini akan menyajikan rincian perubahan luas lahan yang diairi oleh jaringan irigasi Wanir.

(32)

Tabel 2.2. Luas Lahan yang Diairi oleh Jaringan Irigasi Wanir

Kecamatan

Luas Areal Pengairan Teknis PU (hektar) Alih Fungsi (hektar)

Tahun 2001 Tahun 2007

Pacet 369,2 314 55,2

Ciparay 849,3 616 233.3

Majalaya 995 950 45

Total 2.213,5 1.880 333.5

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dan Dinas Pengairan Kecamatan Ciparay, 2007

Sejak tahun 2000 pengelolaan air irigasi di DI Wanir telah diserahkan kepada Gabungan P3A. Dalam berita acara pembentukan GP3A ini disebutkan bahwa GP3A mempunyai kewajiban mengelola jaringan irigasi pada tingkat primer dan sekunder, sedangkan P3A ikut mengelola jaringan irigasi pada tingkat tersier. GP3A ini membawahi seluruh P3A atau mitra cai yang ada di wilayah pengairan Daerah Irigasi Wanir. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A) Daerah Irigasi Wanir bernama GP3A Tirta Walatra, dengan struktur organisasi sebagai berikut :

Tabel 2.3. Struktur Organisasi GP3A Tirta Walatra

Jabatan Nama Dari P3A desa

Ketua T. Muchsin Cipeujeuh

Wakil Ketua Ayi Saepudin Neglasari

Bidang Administrasi E. Kusaeri Cipeujeuh

Bidang Keuangan 1. Dadang

2. Yaya Wijaya

Cipeujeuh Wangisagara

Bidang Teknik 1. Harisman Wangisagara

(33)

2. Ojat Pakutandang

Bidang Usaha 1. Endang

2. Didin Samsudin

Wangisagara Cikoneng Badan Pengawas :

Ketua H. rahmat Wangisagara

Anggota 1. K. Komarudin

2. O. Jayusman

Pakutandang Tanjungwangi Sumber : Berita Acara GP3A, 2000

Terkait dengan struktur organisasi GP3A diatas, dapat kita lihat bahwa Desa Mekarsari tidak memiliki perwakilan dalam struktur organisasi kepengurusan GP3A.

Tidak adanya perwakilan di kepengurusan GP3A ini tentunya terkait pada power dan posisi tawar petani Desa Mekarsari dalam pengadaan air irigasi. Absennya mekarsari dari kepengurusan membuat permasalan-permasalahan irigasi di Desa Mekarsari sering terabaikan, sehingga membuat petani Desa Mekarsari harus menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalan irigasi di desanya.

Dalam pelaksanaan operasi7 dan pemeliharaan8 (O & P) di Daerah Irigasi Wanir, petugas PU pengairan Ciparay mempekerjakan sejumlah orang, sebagai berikut :

1. Pemelihara/penjaga bendung : 1 orang

7 Operasi jaringan irigasi adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi.

8 Pemeliharaan pada hakekatnya adalah pekerjaan perawatan dan perbaikan pada saluran atau bangunan yang sudah ada. Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk menjamin berfungsinya jaringan irigasi yang efisien terus- menerus dan untuk memperpanjang usia ekonomi jaringan. Jaringan irigasi yang sudah dibangun perlu dipelihara agar tetap berada dalam keadaan baik supaya bisa dioperasikan secara efisien.

(34)

2. Bangunan bagi 1 orang : 1 orang 3. Pemelihara saluran : 3 orang

4. Mandor : 1 orang

Sesuai dengan PP. No.20 Tahun 2006 tentang irigasi, operasi dan pemeliharaan yang dilakukan oleh petugas PU pengairan hanya pada fasilitas- fasilitas yang terdapat pada saluran primer dan sekunder. Operasi dan pemeliharaan pada saluran tersier dan kuarter diserahkan sepenuhnya kepada pihak petani untuk mengelola air irigasi dalam hal ini adalah GP3A dan P3A. Rehabilitasi saluran biasanya dilakukan oleh masyarakat atau Dinas pengairan membayar sejumlah pekerja untuk melakukan rehabilitasi.

Air irigasi dari bendung Wanir yang mengaliri daerah Pacet, Majalaya, dan Ciparay ini tidak hanya digunakan untuk mengaliri petak-petak sawah para petani saja, tetapi digunakan juga oleh kolam ikan arus deras dan industri-industri tekstil di Majalaya.

Kolam ikan arus deras ini hanya berada di Desa Cipeujueh dan Desa Cikoneng Kecamatan Ciparay. Kedua desa ini berada di hulu DI Wanir yang debit air irigasinya masih tinggi sehingga sangat cocok untuk kolam arus deras yang membutuhkan pasokan air yang tinggi untuk memacu pertumbuhan ikannya. Jika kita urutkan dari hulu ke hilir seluruh desa-desa yang teraliri DI Desa Mekarsari merupakan desa paling akhir dari sistem irigasi ini, hal ini membuat Desa Mekarsari memiliki banyak permasalahan terkait ketersediaan air irigasi. Letaknya di daerah paling akhir sistem irigasi juga membuat Desa ini sulit untuk mengakses sumber

(35)

daya air yang ada, karena letaknya yang jauh dari pusat bendungan. Berbeda dengan daerah hulu seperti daerah Cipeujeuh dan Cikoneng, pengguna irigasi di daerah tersebut dengan mudah mengakses air irigasi karena air irigasi melimpah dan belum digunakan oleh petani yang lain .

2.3. Kecamatan Ciparay

Wilayah Kecamatan Ciparay terletak sekitar 25 Km sebelah selatan Ibukota Propinsi Jawa Barat, serta 23 Km kearah tenggara dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung. Daerah ini berada ditepi barat sungai Citarum dengan kondisi topografis yang berbukit disebelah selatan dan dataran disebelah utara. Pusat pemerintahannya berada pada tepi jalan besar yang menghubungkan daerah Majalaya dengan Dayeuhkolot. Pemandangan khas yang bisa kita lihat di sekitar kantor kecamatan ciparay adalah barisan delman yang terparkir menunggu penumpang, pasar yang selalu ramai yang menyediakan berbagai kebutuhan untuk warga-warga di wilayah Ciparay, Pacet, dan hingga Majalaya. daerah ini juga memiliki sebuah terminal yang menghubungkan daerah ciparay dengan daerah-daerah sekitarnya seperti Pacet, Majalaya, Ibu Kota Propinsi “Bandung”, dan Pusat pemerintahan Kabupaten Bandung “Soreang”.

Kecamatan Ciparay terdiri dari 14 desa dan terbagi kedalam 50 dusun/kampung. Dengan luas Wilayah 4.839.739 Ha yang terdiri dari lahan sawah

(36)

2.637,998 Ha, lahan kering 2.176,951 Ha, kolam ikan 30 Ha, dan tanah keperluan fasilitas umum 23,76 Ha. Lahan persawahan merupakan areal terluas dari wilayah Ciparay, mencapai 56,856% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Ciparay. Besarnya persentase luas lahan persawahan ini adalah karena sebagian besar wilayah kecamatan ini terdiri atas bukit-bukit kecil di kaki pegunungan yang dapat pengairan dari sungai Citarum.

Kecamatan Ciparay ini berada pada ketinggian 673 mdpl. Jenis tanah yang ada diwilayah Kecamatan Ciparay adalah Latosol dengan tipe iklim termasuk zone C2 (oldeman9) dengan suhu rata-rata 28° C (Progama Penyuluhan Pertanian Kecamatan Ciparay, 2007). Pada tahun 1930-an petani berhasil membelokan air dari sungai Citarum ke dalam saluran-saluran irigasi dengan membendung sungai Citarum dan membangun pintu air didaerah Wanir (Hardjono, 1990: 41). Hingga saat ini Kecamatan Ciparay masih mendapat suplai air dari sungai citarum yang disalurkan memalui pintu air Wanir. Air sungai Citarum ini dimanfaatkan oleh warga antara lain untuk irigasi persawahan, kolam ikan, industri, dan keperluan rumah

9Oldeman membagi lima zona iklim dan lima sub zona iklim. Zona iklim merupakan pembagian dari banyaknya jumlah bulan basah berturut-turut yang terjadi dalam setahun. Sedangkan sub zona iklim merupakan banyaknya jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun. Pemberian nama Zone iklim berdasarkan huruf yaitu zone A, zone B, zone C, zone D dan zone E sedangkan pemberian nama sub zone berdasarkana angka yaitu sub 1, sub 2, sub 3 sub 4 dan sub 5. Zone A dapat ditanami padi terus menerus sepanjang tahun. Zone B hanya dapat ditanami padi 2 periode dalam setahun. Zone C, dapat ditanami padi 2 kali panen dalam setahun, dimana penanaman padi yang jatuh saat curah hujan di bawah 200 mm per bulan dilakukan dengan sistem gogo rancah. Zone D, hanya dapat ditanami padi satu kali masa tanam. Zone E, penanaman padi tidak dianjurkan tanpa adanya irigasi yang baik. (Oldeman, et al., 1980)

(37)

tangga. Terdapat dua bendungan irigasi pemerintah yaitu bendung Wanir dan bendung Wangisagara. Bendungan-bendungan ini membendung langsung air sungai Citarum untuk didistribusikan ke areal-areal persawahan, kolam-kolam ikan dan industri disekitar daerah Ciparay dan Majalaya.

2.4 Desa Mekarsari

2.4.1 Lokasi dan Tata guna lahan

Desa Mekarsari adalah desa pemekaran dari Desa Magung. Pada tahun 1983 Desa Magung dimekarkan menjadi Desa Mekarsari dan Desa Manggungharja. Desa Mekarsari merupakan salah satu desa dari 14 desa di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Desa Mekarsari berjarak 4 km dari pusat pemerintahan Kecamatan. Jarak dengan ibukota Kabupaten 35 km, dengan ibukota Propinsi 37 km, dan jarak dari ibukota Negara 149 km.

Desa Mekarsari terletak pada ketinggian 700 mdpl, suhu rata-rata 29°-32°C, dengan karakteristik berupa hamparan dataran. Terdapat jalan aspal dengan lebar sekitar 10 meter yang merupakan jalan utama desa ini dan juga sebagai jalan alternatif yang menghubungkan jalan raya Ciparay-Majalaya dengan jalan Sapan.

Pemukiman penduduk tersebar sepanjang jalan utama desa ini, sehingga kita harus berjalan melewati rumah-rumah penduduk untuk melihat hamparan sawah yang luas yang ada di desa ini. Desa Mekarsari ini dilintasi oleh tiga buah sungai Sungai Citarum dibagian utara, Sungai Cipadaulun dibagian tengah, dan Sungai Cirasea

(38)

dibagian barat. Desa mekarsari berbatasan langsung dengan Desa Ciparay Kecamatan Ciparay disebelah barat, Desa Manggungharja Kecamatan Ciparay dan Desa Padaulun Kecamatan Majalaya disebelah selatan, dan Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya disebelah utara dan timur.

Alat transportasi yang tersedia di desa ini antara lain delman, becak, dan ojeg.

Delman menjadi alat angkut terbesar dan termurah di desa ini. Dengan biaya berkisar antar Rp 1.000,00 – Rp 2.000,00 tergantung jarak yang ditempuh kita sudah bisa sampai ketempat tujuan. Bahkan anak-anak sekolah hanya membayar Rp 500,00 untuk dapat sampai ke sekolah-sekolah yang ada di desa ini, walaupun mereka harus rela untuk berdesak-desakan dengan pelajar lainnya yang akan berangkat atau pulang sekolah. Delman-delman ini bisa memuat hingga 10 pelajar sekali jalan, itu sebabnya mereka bisa membayar murah ongkos delmannya. Delman-delman ini juga sering terlihat mengantar ibu-ibu ke pasar Ciparay yang hanya berjarak sekitar 4 km dari desa, dan membawa pupuk, pakan ternak dan barang-barang berat lainnya..

Secara administratif, Desa Mekarsari terbagi menjadi 13 Rukun Warga (RW) dan terdiri dari tiga cantilan/dusun, yaitu Dusun Leles, Dusun Bojong Nangka, Dusun Cieuri. Dari setiap cantilan/dusun ini terdiri dari 4-5 RW. Luas wilayah Desa Mekarsari sebesar 190,118 Ha. Sebagian besar luas wilayah tersebut digunakan untuk persawahan sekitar 160 Ha atau 84,158 % dari luas wilayah keseluruhan Desa Mekarsari. Kawasan pemukiman menempati lahan seluas 21 Ha atau 11,045 %.

Terdapat satu kawasan disekitar RW 10 dan 11 yang merupakan kebun bambu, ini adalah tempat yang paling rindang dan sejuk dari seluruh wilayah desa.

(39)

Areal-areal diantara pohon bambu yang rimbun digunakan oleh warga untuk bermain dan olah raga. Warga pun membangun lapangan voli dan lapangan sepak bola yang dua buah gawang bola dengan ukuran yang tidak standar untuk menunjang kegiatan olah raga mereka. Bila hujan datang, anak-anak kecil berbondong-bondong datang kelapangan bola untuk bermain bola sambil bermandikan lumpur.

Tabel 2.4. Tata Guna Lahan Desa Mekarsari

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Sawah Irigasi Teknis

Pemukiman Jalan

Bangunan Umum Pekuburan Lain-lain

160 21 2,88 2,365

1,99 1,883

84,2 11,1 1,5 1,2 1,1 0,9

Total 190,118 100

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Semester II 2007

(40)

Gambar 2.1. Peta Wilayah Desa Mekarsari 2.4.2 Jumlah Penduduk

Penduduk adalah jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Jumlah penduduk Desa Mekarsari menurut catatan Monografi desa semester II tahun 2007 berjumlah 10.708 jiwa dan terdiri dari 2.994 KK. Jumlah penduduk sebanyak laki-laki 5.490 jiwa dan perempuan 5.218 jiwa, serta jumlah penduduk produktif (15-56 tahun) di desa Mekarsari sebesar 6.684 jiwa atau sebesar 78,1 %. Jumlah penduduk produktif ini merupakan jumlah terbanyak di desa Mekarsari. (Monografi Desa Mekarsari Semester II Tahun 2007)

(41)

2.4.3 Mata Pencaharian Penduduk

Mata Pencaharian sebagian besar penduduk Desa Mekarsari adalah buruh pabrik, menurut data dari monografi Desa Mekarsari semester II tahun 2007 sekitar 2.259 orang atau sekitar 55,5% dari jumlah penduduk Mekarsari yang bekerja.

Mereka bekerja di industri-industri tekstil yang banyak terdapat di daerah Kecamatan Majalaya. Banyaknya penduduk Mekarsari yang menjadi buruh pabrik dikarenakan saat ini para pemuda menilai bahwa kerja kantoran lebih baik daripada bertani, sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik dari pada mencangkul disawah. Selain sebagai buruh pabrik, mata pencaharian utama penduduk Desa Mekarsari berhubungan dengan pertanian, sekitar 483 orang atau 11,9% bermata pencaharian sebagai petani baik pemilik sawah maupun petani maro, karena saat ini banyak kepemilikan sawah-sawah di Desa Mekarsari sudah berpindah tangan dari warga sekitar ke orang-orang kaya di Bandung dan Jakarta. dan 384 orang atau 9,4%

sebagai buruh tani. Dalam bidang pertanian, penduduk bercocok tanam di sawah, sekitar 84,2% luas seluruh wilayah desa, dengan hasil produksi pertanian mencapai 560 ton gabah dari 160 Ha lahan sawah yang ditanami.

Tabel 2.5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Mekarsari

Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)

Pegawai Negeri Sipil 122 3

ABRI / POLRI 72 1,8

Buruh Pabrik / Swasta 2.259 55,5

Pedagang 364 8,9

Petani 483 11,9

(42)

Buruh Tani 384 9,4

Pertukangan 251 6,2

Pensiunan 47 1,2

Jasa 49 1,2

Pemulung 38 0,9

Total 4.069 100

Sumber : Monografi Desa Mekarsari Semester II Tahun 2007

Selain mengacu pada data resmi desa mengenai keanekaragaman mata pencaharian, masyarakat desa Mekarsari juga mengenal penggolongan sosial ekonomi. Secara umum terdapat tiga golongan yaitu beunghar/mampu, sedeng/menengah, miskin/tidak mampu. Penggolongan sosial ini didasari oleh beberapa faktor antara lain, kepemilikan lahan, kepemilikan alat giling padi, jenis pekerjaan, dan jabatan.

Tabel 2.6. Pelapisan Masyarakat Desa Mekarsari Berdasakan Kategori Sosial Ekonomi

Golongan Uraian

Beunghar/mampu Pegawai Negeri Sipil (PNS), ABRI/POLRI, Bos pabrik, Pemilik Sawah, Pemilik Penggilingan Padi, Guru, Pedagang Besar.

Sedeng/menenga h

Petani maro(penggarap sawah), Buruh Pabrik, Pemilik Warung Kelontong.

Miskin/tidak mampu

Buruh Tani, Tukang Becak, Tukang Sampah, Pembantu.

Sumber : Data Primer 2007

(43)

2.5. Dusun Leles di Desa Mekarsari

Penelitian ini khususnya dilakukan disebuah dusun di desa Mekarsari. Dusun ini bernama dusun Leles. Dusun leles merupakan satu dusun dari tiga dusun yang ada di desa Mekarsari. Dusun ini terletak dibagian paling barat dari wilayah desa Mekarsari dan berbatasan langsung dengan desa Magunggharja. Dusun leles ini meliputi RW 10, RW 11, RW 12, dan RW 13, yang dibatasi oleh batas alam yaitu sungai Cipadaulun dan sungai Cirasea.

Jika dilihat dari jalan raya Majalaya Ciparay, Dusun Leles merupakan daerah paling depan dari desa Mekarsari. Warga setempat menganggap dusun Leles sebagai jantungnya desa Mekarsari. Hal itu dikarenakan di dusun ini terdapat sarana pendidikan dari mulai SD hingga SMU, sarana olah raga seperti Lapangan voli dan lapangan sepak bola, Mesjid Persis dan pesantren. Sarana-sarana ini membuat jalanan di dusun Leles tidak pernah sepi, pagi dan siang pelajar hilir mudik, sore hari para pemuda berolahraga di lapangan voli dan lapangan bola atau sekedar ngobrol- ngobrol di pinggir jalan, setiap malam mesjid selalu mengadakan pengajian rutin.

Dilihat dari topografinya, dusun ini merupakan hamparan tanah yang datar tanpa bukit yang dihiasi oleh talun bambu di sebelah utaranya. Dusun ini dilewati oleh dua buah anak sungai Citarum yang pada musim hujan airnya sering meluap sehingga membanjiri persawahan dan rumah warga, sungai itu adalah sungai Cipadaulun dan sungai Cirasea.

(44)

Sungai Cirasea mengalir dari sebelah barat hingga ke selatan dusun Leles.

Sungai Cirasea ini juga menjadi batas geografis yang membatasi wilayah dusun Leles dengan desa sebelah, Desa Ciparay Kecamatan Ciparay. sungai yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon bambu ini sering digunakan anak-anak untuk berenang. Walaupun airnya berwarna coklat, anak-anak biasanya berenang disini sambil membersihkan diri mereka dari lumpur-lumpur yang menempel dibadan sehabis bermain bola.

Sementara sungai Cipadaulun berada dibagian timur dari dusun Leles dan menjadi pembatas wilayah dengan dusun Cieuri yang masih berada dalam satu desa.

Sungai ini lansung berbatasan dengan pematang sawah milik petani, tidak ada talun bambu dipinggir-pinggirnya, sehingga sering terjadi longsor kecil yang membuat pematang sawah amblas. Walaupun berbatasan langsung dengan sawah-sawah petani, air dari sungai ini tidak dapat mengalir ke petak-petak sawah, karena ketinggian airnya lebih rendah dari permukaan tanah, kecuali ketika sungai ini meluap akibat hujan besar. Berbeda dengan sungai Cirasea yang sering digunakan berenang oleh anak-anak, sungai Cipadaulun ini memiliki air dengan bau yang menyengat. Air disungai setiap harinya berubah-rubah warna terkadang hitam, merah, coklat, hijau tua, dan unggu. Air yang berwarna dan bau yang menyengat ini berasal dari limbah pabrik yang dibuang ke sungai dari pabrik-pabrik disekitar Majalaya.

Dusun ini memiliki pola pemukiman yang mengikuti jalan utama.

Pemukiman warga berada disekitar jalan utama yang menghubungkan desa

(45)

Mekarsari dengan jalan raya Ciparay-Majalaya dan jalan Sapan. Sawah di dusun Leles tersebar di sebelah selatan, Sawah-sawah ini berada dibelakang pemukiman warga.

Secara geografis dusun leles berada di daerah paling hilir dan merupakan daerah terakhir dari jaringan irigasi Wanir. Letak geografis tersebut mempengaruhi ketersediaan air pada saluran irigasi, terlebih pada musim kemarau. Letak di daerah hilir menyebabkan perlunya waktu yang lebih lama untuk mengalirkan air dari bendung wanir ke dusun leles dan semakin banyaknya hambatan-hambatan yang ditemui saat perjalanan air tersebut. Beberapa hal yang menjadi hambatan kelancaran pasokan air irigasi di dusun Leles, terutama di musim kemarau antara lain, rusaknya pintu-pintu air, mengeringnya tanah pada saluran irigasi kuarter, dan perebutan air dengan pengguna air irigasi di daerah girang atau hulu.

2.6. Rangkuman

Secara geografis DI Wanir terletak di tiga kecamatan di Kabupaten Bandung, yaitu Kecamatan Pacet, Kecamatan Ciparay, dan Kecamatan Majalaya.

Pembangunan DI Wanir ini dimulai pada tahun 1965/1966 dengan suplai air utamanya dari sungai Citarum. Dari tahun ke tahun luas lahan yang dialiri oleh irigasi Wanir terus berkurang karena alih fungsi lahan, dari areal persawahan menjadi industri atau pemukiman.

Air irigasi dari bendungan Wanir awalnya diperuntukkan untuk petani sebagai faktor pendukung pertanian mereka. Namun, saat ini pengguna air irigasi tidak hanya

(46)

petani saja, air irigasi juga digunakan untuk mengairi kolam ikan arus deras di daerah hulu (Cipeujeuh dan Cikoneng) dan industri tekstil daerah Majalaya.

Penelitian ini dilakukan di Dusun Leles, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciparay, daerah ini merupakan daerah paling hilir dari Irigasi Wanir. Letak geografisnya yang paling hilir dari DI Wanir, mempengaruhi ketersediaan air irigasi di daerah ini. Air irigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk mengalir kedaerah ini karena saluran irigasi yang bertambah panjang, dan semakin banyak hambatan yang ditemui selama perjalannya, sehingga di musim kemarau daerah ini sering kekurangan air irigasi karena lokasinya yang berada di akhir saluran irigasi membuat pasokan air untuk daerah ini sering habis tersedot oleh daerah lain diatasnya. Sementara di musim hujan daerah ini kerap kali dilanda banjir karena limpahan air dari daerah-daerah yang ada diatasnya (di daerah hulu).

(47)

BAB. III

PENGGUNA, PERMASALAHAN, DAN PENGELOLAAN IRIGASI

Bab ketiga ini menguraikan tentang aktor-aktor yang pengguna air irigasi Wanir dan apa saja yang menjadi masalah dalam penggunaan air irigasi. Kemudian bab ini juga akan menguraikan bagaimana petani di dusun Leles mengelola air irigasi agar pasokan air tetap tersedia disetiap musim.

3.1. Pengguna Air Irigasi DI. Wanir

Sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar di Daerah Irigasi Wanir, karena Daerah Irigasi Wanir yang dibangun tahun 1965/1966 pada awalnya dibangun dengan tujuan untuk memajukan pertanian disekitar Pacet, Ciparay, dan Majalaya.

Namun dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya pembangunan berbagai sektor, pengguna air irigasi Wanir menjadi semakin bertambah. Saat ini yang menggunakan air irigasi Wanir antara lain petani, Industri tekstil disekitar Majalaya, dan kolam ikan arus deras.

3.1.1. Petani

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

Member State which has delegated their regulatory safety oversight to a third country, and used by a third-country operator into, within or out of the Community shall comply

Percent of Cell Wall Glycosyl -Residue Composition of VvPGIP1 tobacco transgenic leaves compared to the wild-type (see Figure 2)... a Data represent four independent TMS GC–MS

Bacteriological investigations of raw and cooked foods and of food handlers in abattoirs, food factories and hospital kitchens show that they are potential sources of food

Satoe anak perempoean oemoer 12 taoen, dapat penjakit leher begitoe keras, sampe doctor jang mengobati padanja maoe potong sadja itoe leher boeat kasi keloear kotorannja,

Dynamic scripting is a machine learning technique that searches for effective scripts by combining rules from a rule base with predefined behavior rules.. Although dynamic scripting

Portable Air Cleaners (PACs), along with other Engineering Controls, can be used to reduce airborne concentrations of SARS-COV-2. Controlling airborne contaminants, including the

De garantie vervalt bij oneigenlijk gebruik, als de installatie niet voldoet aan de geldende normen of als het onderhoud niet wordt uitgevoerd zoals voorzien door de fabrikant..

Aura Smart Air biedt uw werknemers een veilige werkplek, want het zuivert de lucht voor 99,9% van virussen, bacteriën, pollen en schimmels, waaronder ook het COVID-19 virus.. Neem