• No results found

PENELITIAN PENANGANAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Share "PENELITIAN PENANGANAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI JAWA TIMUR"

Copied!
150
0
0

Bezig met laden.... (Bekijk nu de volledige tekst)

Hele tekst

(1)

Laporan Akhir

PENELITIAN PENANGANAN PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DI JAWA TIMUR

(Kabupaten Sampang, Bondowoso dan Trenggalek)

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROPINSI JAWA TIMUR

TAHUN 2009

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR BAGAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... .1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

A. Kondisi Georafik dan Perubahan Struktur Ekonomi Lokal Sebagai Penyebab Kemiskinan ... 7

B. Pertumbuhan Industri Kecil Pedesaan ... 9

BAB III DESAIN DAN METODE PENELITIAN ... 16

A. Penentuan Lokasi dan Subyek Penelitian ... 16

B. Teknik Pengumpulan Data ... 17

C. Teknik Analisis Data ... 20

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 22

A. KABUPATEN BONDOWOSO: SALAH SATU KABUPATEN YANG TERTINGGAL DI JAWA TIMUR …………...………...………… 22

(3)

1. Kondisi Geografis, Ekologi dan Demografi ... 22

2. Profil Tiga Desa yang “Tertinggal?” ... 29

B. KABUPATEN SAMPANG: SALAH SATU KABUPATEN YANG TERTINGGAL DI JAWA TIMUR ?... 39

1. Kondisi Geografis, Ekologi dan Demografi ... 39

2. Profil Tiga Desa ”Tertinggal ?” ... 43

C. KABUPATEN TRENGGALEK: SALAH SATU KABUPATEN YANG TERTINGGAL DI JAWA TIMUR ? ... 55

1. Kondisi Geografis, Ekologi dan Demografi ... 55

2. Profil Dua Desa yang “Tertinggal ?” ... 61

BAB V PROFIL KELUARGA MISKIN DAN PENGANGGURAN DI TIGA KABUPATEN ... 64

A. KELUARGA-KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BONDOWOSO … ... 64

1. Ibu Misnari: Dari Sesuap Nasi untuk Sesuap Nasi ... 64

2. Jamiati: Dari Buruh Tani ke Pembantu Rumah Tangga ... 66

3. Bapak Supriyadi: Tukang Cukur Penerima BLT ... 67

4. Ibu Rohammah:Penerimaan Program Keluarga Harapan yang Berharap Jauh dari Kesusahan 69 5. Keluarga Sunandar: Menjadi Buruh Tani dan Koli yang Tidak Menguntungkan ...70

6. Yanti: Ibu yang Tangguh ... 72

(4)

B. KELUARGA-KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN SAMPANG .... 73

1. Ibu Wakiah: Bekerja di Toko Suami ... 73

2. Bapak Mukin: Merintis Toko untuk Masa Depan ... 74

3. Ibu Rukmini Sutikma: Pabrik Roti Rumahan ... 76

4. Bapak Fudi: Penarik Becak yang berubah Haluan ... 77

5. Bapak Wahid: Dari Tukang Becak hingga Buruh Serabutan ... 79

6. Pak Sukdi: Penanam Cabe di Desa Ketapang Daya ... 81

7. Bu Umroh: Pedagang dengan Modal PNPM ... 84

8. Rahman: Pemuda yang meemiliki Pekerjaannya Serabutan ... 88

9. Ibu Karomah: Usaha dari LSM Pupuk dan Unijoyo ... 91

10. Ibu Zubaidah: Dari Buruh Tani ke Buruh Industri Rumah Tangga . 94 11. Pak Karyono: Pemerintah Pilih Kasih ... 96

C. KELUARGA-KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN TRENGGALEK ... ... 98

1. Pak Mulyani: Bosan Merantau ... 98

2. Pak Agung Wahyudi: BLT tidak hanya untuk Konsumsi ... 99

3. Bu Rosmiati: Dari Arisan, BLT, Raskin dan apalagi ... 101

4. Bu Kamirah: Bergantung pada Anak ... 102

5. Mbah Sudarni: Dari Utang ke Utang ... 102

6. Bu Rini: Sibuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga ... 105

7. Bu Yuliati: Tidak aktif karena Tidak Ada Ikatan Emosional dengan Pengurus Dasawisma ... . 109

(5)

BAB VI ANALISIS DATA ... 112

A. LAIN KABUPATEN LAIN PULA PENYEBAB KEMISKINANNYA ... 112

B. BANTUAN PEMERINTAH MENGUATKAN ORANG MISKIN ? ... 120

1. Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin) 2. Bantuan Langsung Tunai (BLT) C. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENANGGU- LANGAN KEMISKINAN SEBAGAI PENGURANGAN TINGKAT PE- NGANGGURAN ... .... 129

D. KENDALA KULTURAL DAN STRUKTURAL DALAM PROGRAM PE- NANGGULANGAN KEMISKINAN .. ... 134

BAB VII PENUTUP .. ... 136

A. KESIMPULAN .. ... 136

B. REKOMENDASI .. ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... ... 139

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Bondowoso... 24 Gambar 4.2 Peta Potensi Kabupaten Sampang ... 41 Gambar 4.3 Peta Potensi Kabupaten Trenggalek ... 56

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penentuan Lokasi dan Subyek Penelitian ... 17 Tabel 3.2 Subyek Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 18 Tabel 6.1 Karakteristik Sosial Rumah Tangga Miskin .. ... 117

(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2 Proses Penelitian ... 19 Bagan 6.1 Alur Kemiskinan di Ketiga Kabupaten .. ... 118 Bagan 6.2 Program Penanggulangan Kemiskinan, Keluarga Miskin

dan Pengangguran .. ... 130

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masalah kemiskinan dewasa ini merupakan suatu fenomena yang menghantui seluruh daerah di Indonesia. Bahkan, Provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah kaya sumber alam tak luput dari masalah kemiskinan ini.

Angka tahun 2001, menurut laporan Badan Pusat Statistik (2002), me- nunjukkan bahwa sekitar 7,267 juta (24%), dari 34,765 Juta, penduduk Jawa Timur termasuk kelompok miskin. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya -- 6,706 juta (lebih dari 92%)-- berada dalam kategori sangat miskin, atau termasuk kemiskinan absolut. Pada tahun 2008, BPS Jawa TImur mencatat jumlah orang miskin menjadi 6,651 juta (16,68%), dan berkurang menjadi 6,02 juta (18,51%).

Menurut laporan Kompas (2002a), sejumlah kabupaten/kota termasuk daerah dengan kemiskinan absolut. Kabupaten/kota tersebut meliputi Ka- bupaten Sampang (45,69%), Kabupaten Bondowoso (39,85%), Kabupaten Ponorogo (31,59%), Kabupaten Pacitan (31,31%), Kabupaten Bojonegoro (28,61%), Kabupaten Probolinggo (27,25%), dan Kabupaten Situbondo (27,20%). Selanjutnya, kabupaten/kota ini juga merupakan kawasan dengan jumlah rumahtangga miskin terbanyak, yaitu: Kabupaten Bondowoso (sekitar 45%), Kabupaten Sampang (43,22%), Kabupaten Situbondo (33,75%), Ka-

(10)

bupaten Ponorogo (33,06%), Kabupaten Pacitan (33,05%), Kabupaten Probo- linggo (30,73%) dan Kabupaten Bojonegoro (30,62%).

Sementara itu, menurut BPS (2009) bahwa pada tahun 2009, memang telah terjadi perubahan, namun demikian kurang lebih sebaran kemiskinannya tidak berubah terlalu besar. Dominasi kabupaten yang mempunyai jumlah kemiskinan di atas 30%, tetap berada di wilayah Pulau Madura, yaitu Bangkalan (31,56%), Sampang (39,42%), Pamekasan (32,48) dan Sumenep (32,98%). Sementara itu, menarik untuk dicermati bahwa selain di Pulau Madura, jumlah orang miskin yang cukup tinggi terjadi di wilayah Pantai Utara, yaitu Kab. Gresik (23,98%), Lamongan (25,79%), Tuban (28,51%), Bojonegoro (26,37%), Bondowoso (24,23%) dan Lumajang (20,09%). Lebih dari itu, meski tidak sebesar di Pantai Utara Jawa Timur dan Pulau Madura, jumlah orang miskin yang mencapai di atas 20% terjadi di wilayah pedalaman mulai dari Kab. Jombang (21,21%), Nganjuk (23,79%) hingga Kab. Madiun (20,98). Meski sedang dikembangkan jalur lintas selatan, mungkin keter- isolasian, Kab. Pacitan juga memiliki orang miskin di atas 20%, yaitu 25,31%

atau sebesar 125.600 jiwa.

Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, tak pelak, mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, bahkan pendidikan. Karena itu, mereka ini seringkali di- masukkan ke dalam kelompok yang sangat rentan (vurnerable) dan tidak berdaya (empowerless). Oleh karena itu, pemerintah mulai dari era akhir Suharto hingga era Susilo Bambang Yudhoyono mengembangkan program

(11)

pengentasan kemiskinan. Ada sejumlah alasan praktis dalam program pengentasan kemiskinan menurut Streeten (dalam Walujadi, 1999), pertama, pengentasan kemiskinan merupakan cara (means) untuk meningkatkan produktivitas yang lebih tinggi, yang menjadi modal kegiatan perekonomian bangsa. Kedua, pengentasan kemiskinan berkaitan dengan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB)—keinginan banyak anak di keluarga miskin berkaitan dengan tingginya kematian anak balita. Ketiga, pengentasan kemiskinan mempunyai implikasi secara langsung dengan pelestarian lingkungan, karena kemiskinan seringkali dianggap sebagai penyebab dan, sekaligus, korban dari kerusakan lingkungan. Keempat, rendahnya angka kemiskinan dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian proses masya- rakat madani, demokratisasi, dan stabilitas sosial-politik. Sementara itu, dua isu penting yang berkaitan dengan kemiskinan mulai mengedepan (Walujadi, 1999). Isu pertama menyangkut tentang bagaimana tujuan program pengentasan kemiskinan dan konsekuensinya. Kedua, sejauh mana strategi pengetasan kemiskinan, baik akibat dari krisis atau gejolak sesaat (transient poverty) maupun kemiskinan kronis (chronic poverty), secara luas telah berjalan dan mempunyai dampak bagi golongan miskin.

Upaya penanganan dan/atau penanggulangan kemiskinan, menurut Dillon (dalam Kompas, 2001a), tidak akan berhasil apabila tanpa dilandasi oleh suatu pemahaman tentang kemiskinan secara utuh. Fenomena ke- miskinan tidak hanya bersangkut-paut dengan persoalan ketidakcukupan, atau kekurangan, secara sosial-ekonomi, tetapi juga menyangkut masalah

(12)

ketidakberdayaan (empowerless) sebagai akibat dari proses marjinalisasi.

Dengan demikian, segala upaya yang berkaitan dengan penanganan, pe- nanggulangan dan pengentasan kemiskinan sebaiknya tidak sekadar berhenti pada proses memberi bantuan, tetapi juga menempatkan keberpihakan kepada kaum miskin (pro poor). Keberpihakan ini diperlukan dalam rangka untuk memberdayakan kaum miskin dari proses marjinalisasi yang menimpa mereka.

B. RUMUSAN MASALAH

Bila mencermati program pemerintah, terutama dari catatan Bappenas, maka nampak bahwa mulai dari akhir pemerintahan Suharto (1990-1998) hingga pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) telah dikembangkan berbagai strategi program pengentasan kemiskinan (dalam istilah era Suharto) atau kini disebut program penanggulangan kemiskinan (era paska Suharto). Di era Suharto, program dimulai dari pendataan atau pemetaan kemiskinan dengan mengkategorikan wilayah tertinggal dan non- tertinggal, serta untuk keluarga dipilahkan mulai dari keluarga pra-sejahtera hingga keluarga sejahtera. Pemetaan wilayah tersebut waktu itu didasarkan antara lain kualitas infrastruktur dan struktur ekonomi pedesaan. Dari pe- metaan wilayah, pemerintah waktu itu mengembangkan Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang berupa bantuan dana dan program usaha untuk keluarga miskin, demikian pula dengan keluarga pra sejahtera melalui program BKKBN.

(13)

Di era paska Suharto, meski dalam kondisi krisis ekonomi yang tidak kunjung usai, pemerintah mengembangkan program penanggulangan ke- miskinan. Program-program penanggulangan kemiskinan awalnya diarahkan pada peningkatan kemampuan keluarga miskin menghadapi krisis sesaat, antara lain: program pengganti kenaikan BBM, program beras untuk orang miskin, bantuan langsung tunai dan jaminan kesehatan dalam bentuk asuransi kesehatan. Program-program ini masih berlangsung hingga tahun 2009, meski menuai pro dan kontra. Salah satu alasan yang menolak, khususnya tentang bantuan langsung tunai (BLT/SLT) adalah bahwa program ini lebih merupakan program charity atau sedekah (shodaqoh) dari pemerintah dan justru dapat meningkatkan rasa fatalistik, serta mengurangi kemampuan strategi adaptif orang miskin. Salah satu kemampuan strategi adaptif orang miskin adalah kemampuan mengembangkan usaha atau pekerjaan yang melibatkan seluruh anggota keluarga miskin.

Oleh karena itu, pemerintah kemudian pada gilirannya mengembang- kan berbagai program, seperti PMDKE dan terakhir adalah PNPM Pedesaan.

Program-program yang disebutkan terakhir adalah program-program grant yang diberikan pada kelompok-kelompok masyarakat di desa/kelurahan dengan diawali mengajukan proposal kegiatan usaha yang hendak di- kembangkan. Program pemerintah pusat ini juga diikuti secara simultan oleh program pembangunan propinsi dan kabupaten/kota. Apa yang diharapkan dalam program tersebut adalah pemberian kesempatan berusaha, pengurang- an angka pengangguran, dan lebih penting lagi adalah peningkatan

(14)

pendapatan keluarga, khususnya keluarga miskin. Untuk itu, penelitian ini ingin mengetahui:

1) Bagaimana pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskin- an di daerah ?

2) Bagaimana keberlangsungan dan keterlibatan tenaga kerja peng- angguran dalam program-program tersebut ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermaksud memperoleh gambaran tentang pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dalam kaitannya perluasan lapangan kerja di tingkat lokal, yaitu desa/kelurahan. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan gambaran kendala, strategi dan pelaksanaan penggunaan dana grant oleh kelompok-kelompok masyarakat dan pengembangan kelangsungan paska pemberian dana tersebut.

Dengan capaian hasilnya, penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan, khususnya pemerintah propinsi dan kabupaten/ kota dalam pengembangan program penanggulangan kemiskinan. Dengan mengetahui kendala-kendala dalam pelaksanaan, pemerintah dapat menyiap- kan langkah-langkah strategis, apakah dalam bentuk pendampingan ataupun pelatihan monitoring dan evaluasi bagi pelaksana agar dapat menjaga kelangsungan dari program kegiatannya.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONDISI GEOGRAFIK DAN PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL SEBAGAI PENYEBAB KEMISKINAN

Bila melihat pola sebaran wilayah kemiskinan di atas 20%, maka nampak ada 2(dua) hal yang mungkin sebagai penyebab dari kemiskinan.

Pertama, kondisi geografik yang kurang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Kondisi geografik, seperti struktur tanah, iklim dan curah hujan yang rendah, berakibat pada pola mata pencaharian lebih ke perladangan daripada persawahan. Hal itu ditunjukkan pada kasus sebaran kemiskinan di Pulau Madura.

Kedua, pada wilayah pantai utara dan pedalaman tingkat kemiskinan tinggi dapat diduga akibat alih fungsi lahan. Dari catatan Iwan Kurtiawan (1997), telah terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan pabrik di wilayah pantai Utara Jawa sangat drastis. Alih fungsi ini sebagai konsekuensi dari (1) pertumbuhan kota, (2) faktor internal masyarakat petani, terjadi peningkatan jumlah rumah tangga petani yang mengakibatkan makin sempitnya tanah yang diusahakan. Semakin besar perubahan luas lahan per rumah tangga pertanian pengguna lahan, semakin besar pengaruhnya ter- hadap penyusutan lahan, oleh Clifford Geertz (1981), proses ini disebut involusi pertanian. Terakhir, kebijaksanaan yang bias kota (lihat Hart, 1986).

(16)

Dari pengamatan awal dan mengikuti teori Everett S. Lee (1995) proses yang terjadi kemudian masyarakat bergeser dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, atau memasuki perkotaan, bila mengalami kegagalan dalam menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan binaannya (Gardner, 1985).

Artinya, keberhasilan ditentukan oleh kemampuannya dalam menyesuaikan perubahan lingkungannya. Ketidakberhasilan masyarakat sub-urban akan mengakibatkan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi di perkotaan.

Sebagaimana teori-teori migrasi, jarak turut berpengaruh terhadap dorongan untuk berpindah. Karena jaraknya dekat, wilayah sub-urban mempunyai dua kecenderungan, pertama terkena imbas pembangunan kota dan menjadi bagian dari tata ruang kota yang dibuktikan dengan alih fungsi lahan, dan kedua, masuk ke dalam struktur ekonomi kota, dengan menjadi migran sirkuler atau nglaju. Dengan demikian wilayah sub-urban kemudian gagal menjadi penyangga kota. Karena keterbatasan daya tampungnya kota, maka yang terjadi meningkatnya pengangguran dan setengah pengangguran (Todaro dan Stilkind, 1991; McGee, 1991).

Pilihan lain adalah melebar ke sektor non-pertanian (off-farm), sebagai salah satu alternatif untuk mengembangkan peluang kerja (Hart, 1991: Evers, 1991; Rachbini, 1991). Pada masyarakat sub-urban, perluasan kota telah merusak struktur ekonominya, pilihan untuk membangun jaringan dengan struktur ekonomi merupakan suatu yang tak terelakkan, meski ketidakmampu- an memahami struktur ekonomi kota, khususnya sistem keuangan menghancurkannya. Pada kasus di kec. Waru, ketika lingkungan sekitarnya

(17)

berpindah ke sektor non-pertanian, membuat sepatu dan sandal. Pada tahun 1990-an sektor ini pernah mengalami kehancuran dengan masalah giro bilyet.

Dengan terbatas, mereka memiliki ketergantungan yang besar pada pasar di kota, yaitu bahan dan pasar produknya. Akibatnya, mereka hancur karena (1) permainan harga bahan, dan (2) penundaan pembayaran, sehingga tidak bisa menjaga kelangsung produksi (Sadewo, 1996).

Kini, lebih dari satu dekade mereka mampu bangkit kemabli, dan bahkan mengembangkan pangsa pasar sendiri di lingkungannya. Oleh karenanya, dalam penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan studi kasus untuk mencermati lebih dalam, mencoba menggali strategi adaptif dalam membangun pangsa pasar, yaitu mengelola showroom, termasuk perubahan pola perilaku sosial-ekonomi, hubungan antara pengelola dan pekerjanya, antara pengelola dan pemasok yang sebenarnya masih merupakan kerabatnya (satu desa). Namun, survai digunakan untuk memperoleh gambaran secara lengkap dengan struktur sosial dan ekonomi masyarakat sub-urban yang telah bergeser.

B. PERTUMBUHAN INDUSTRI KECIL PEDESAAN

Tumbuhnya industri kecil pedesaan sudah cermati Sajogyo (1978:

5) pada dasawarsa pertama program pembangunan lima tahunan semasa pemerintahan Suharto. Revolusi Hijau dengan pemanfaatan hasil-hasil teknologi yang menghasilkan bibit unggul, pupuk dan pestisida, dan Revolusi Biru dengan teknologi pengolahan lahan, yaitu traktor, telah

(18)

memperbesar kesenjangan pemilikan tanah di pedesaan yang sudah terjadi sejak abad ke 19 –kebijakan pemerintah kolonial waktu itu, mulai dari sewa tanah, tanam paksa hingga liberalisasi ekonomi telah meng- akibatkan perbedaan pemilikan tanah dan terbentuknya kelompok- kelompok atas dasar pemilikan tersebut. Catatan terakhir ini merupakan hasil penelitian DH Burger (1984).

Dengan mencermati hasil survai pertanian Sajogyo (1978: 5) mem- bandingkan penghasilan petani pemilik tanah dengan buruh tani. Dari usaha padi sawah satu hektar di Jawa petani pemilik tanah dari satu musim mendapat hasil bersih 1,1 ton beras (hasil kotor 1,6 beras), artinya 6 kg beras sehari selama 6 bulan musim tersebut. Buruh tani hanya men- dapat 13,7% hasil kotor, sama dengan 1,5 kg beras sehari, hanya tidak jelas berapa orang buruh yang terlibat dan selama berapa hari kerja.

Gejala ini disebut dengan ―kemiskinan bersama‖ dikenakan pada golongan buruh tani yang sebagian lapisan petani gurem, sebagian lagi dari mereka yang tak bertanah sama sekali.

Penelitiannya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, Jawa Barat menunjukan bahwa kelompok petani gurem dan tuna kisma terus ber- tambah, di mana lapisan bawah yang menguasai kurang dari 0,25 ha atau tak bertanah sebanyak 49%, lapisan kedua, antara 0,25 dan 0,5 ha‖

sebanyak 23% dan lapisan atas, yaitu pemilikan lebih dari 0,5 ha sebesar 28%. Pemilikan tanah ini berimbas pada penghasilan rumah tangga, semakin luas lahannya, semakin besar penghasilan. Untuk menambah

(19)

penghasilannya, golongan miskin ini kemudian mengembangkan sektor di luar pertanian, atau langkah ekstrim lagi dengan memilih pindah ke kota, memasuki sektor-sektor ekonomi perkotaan, seperti menjadi buruh pabrik, buruh bangunan dan sektor informal lainnya. Langkah ini mengakibatkan penurunan tenaga kerja di sektor pertanian, untuk memenuhi kadang- kadang harus memperkerjakan orang-orang di luar desa, seperti yang terjadi dalam pengamatan peneliti tahun 1990-an di desa-desa Pantai Utara Jawa Timur, seperti Kabupaten Lamongan dan sekitarnya. Akibat- nya, terjadi kenaikan upah buruh, meski tetap saja tidak seimbang dengan kebutuhan hidupnya.

Pengembangan sektor di luar pertanian seiring dengan apa yang di- cermati oleh Gunawan Wiradi (1985: 43) tentang kecenderungan masya- rakat petani Jawa. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar apa yang disebut

“extreme occupational multiplicity.‖ Namun demikian, keuntungan ternyata seiring dengan pemilikan tanah di pedesaan karena memasuki sektor- sektor tersebut tetap memerlukan modal. Artinya, kalau menurut Chris Manning (1988: 42-45), perlu hati-hati dalam menyimpulkan bahwa andil yang besar dari pedesaan pada pertumbuhan kesempatan kerja luar per- tanian menunjukkan suatu pola perluasan kesempatan kerja yang cukup terpencar. Selama kurun 1970-an saja, struktur penduduk dan kesempatan kerja makin berorientasi ke kota, meskipun pertumbuhan pekerjaan luar pertanian di pedesaan agak cepat. Dari hasil penelitiannya, ia menunjuk-

(20)

kan bahwa andil besar pedesaan pada pertumbuhan kesempatan kerja luar pertanian, antara lain karena tingginya proporsi terhadap total pekerja- an luar pertanian di pedesaan pada awal 70-an.

Kontribusi pedesaan terhadap total pertumbuhan kesempatan kerja menonjol pada sektor pengangkutan dan bangunan bagi pria dan per- dagangan bagi wanita, namun masih jauh lebih kecil pada sektor industri selama kurun dasa warsa 70-an. Pertumbuhan dalam industri pedesaan dan khususnya industri kecil dan kerajinan rumahtangga hanya memberi- kan kontribusi kecil terhadap perluasan kesempatan kerja dalam sektor M (industri, bangunan dan pengangkutan) di kabupaten terpencil. Meskipun industri kecil dan kerajinan rumahtangga memberikan andil terbesar pada pertumbuhan kesempatan kerja di sektor industri, pekerjaan baru yang tercipta di sektor ini berkembang agak seret di hampir semua desa Jawa.

Meskipun pertumbuhan pertanian dan perbaikan prasarana pedesaan cukup menonjol, namun pola perluasan industri telah menjadi agak terpusat, menguatamakan pembangunan industri besar dan sedang dalam dan dekat kota-kota besar. Akibatnya, terjadi peningkatan besaran andil urbanisasi terhadap total pertumbuhan kesempatan kerja di luar pertanian ditunjukkan oleh trend pada kurun 1980-85. Meskipun pada tahun 1971- 1980 pertumbuhan kesempatan kerja di industri kecil dan kerajinan rumahtangga terpusat di wilayah perkotaan, tahun 1980-1990 telah terjadi perubahan pesat pola pemusatan industri skala kecil, munculnya perusahaan kecil sedang, tukang besi dan pengolahan bahan makan dan

(21)

lainnya – sering dibiayai oleh kelas menengah kota – di pinggiran ibukota (Manning, 1988: 44). Pola yang terakhir terjadi di Surabaya dan sekitarnya, seperti desa-desa pinggiran kab. Sidoarjo, kab. Gresik dan kab. Mojokerto.

Disadari atau tidak, hal ini merupakan konsekuensi dari rencana pembangunan jangka panjang I dengan trickle down effect theory yang di- terapkan. Pada pelita I, disiapkan tenaga-tenaga terdidik dalam bidang per- tanian, baru pelita-pelita berikutnya untuk bidang industri, mulai dari yang mendukung pengolahan hasil pertanian hingga produk-produk lain. Di daerah pedesaan, akibat sektor pertanian beralih ke sektor non-pertanian, strategi yang digunakan adalah pembentukan kelompok usaha bersama (KUB), sentra-sentra industri kecil, koperasi industri kecil dan kerajinan, mendirikan percontohan usaha industri kecil dan memberikan paket ke- trampilan dan bimbingan teknologi. Tidak itu saja, ditopang dari dunia per- bankan, tambahan atau bantuan modal dapat diperoleh dengan mudah, yaitu dengan KUK (Kredit Usaha Kecil) (Kanwil Deperindag, 1996: 30), meski temuan membuktikan sebaliknya, kredit tersebut lebih dipakai untuk membeli barang-barang konsumtif, daripada kegiatan usaha produktif (Priyambodo dan Suyanto, 1991: 34-35).

Langkah ini sebagai usaha untuk mengurangi beban kota, yaitu tingkat urbanisasi, karena pada PJP I rencana dan pelaksanaan pembangunan lebih merupakan industri yang berbasis di perkotaan, sehingga menjadi pull factor bagi kaum urban (Lee, 1995: 9; Morrison dan DaVanzo, 1986: 1-13; McTaggart dan Stormont, 1975: 33-34). Pemerintah

(22)

Jawa Timur menyiapkan strategi baru, mulai tahun 1996 mengeluarkan program GKD (Gerakan Kembali ke Desa), diteruskan dengan program PP-GKD (Pengusaha Pelopor Gerakan Kembali ke Desa) (Zuhdi, 1998: 1- 2). Apa yang diharapkan oleh pemerintah Jawa Timur sangat sederhana sekali, pertama bahwa tidak ada atau berkurangnya aliran tenaga kerja dari desa ke kota (urbanisasi) karena daerah pedesaan mampu menyediakan lapangan kerja. Dengan menjadikan desa sebagai sentra-sentra industri kecil, konsumen dari kota datang untuk membeli, selain produsen me- masarkan produknya melalui jaringan distribusinya. Artinya, dengan produknya, desa menjadi daerah tujuan wisata (Marshus, 1995: 19-36)..

Hal ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh John Naisbitt dalam Indonesia-Swiss Forum on Culture Interanational Tourism di Yogyakarta pada tanggal 23 Agustus 1995 tentang pola ekonomi baru pada era kesejagatan (globalisasi). Ia menjelaskan bahwa pola ekonomi mendatang merupakan sistem besar, namun terjadi peralihan dari ekonomi atau usaha besar ke usaha kecil, perusahaan lokal dengan jumlah tenaga kerja yang tidak besar, namun kualitas harus lebih baik, paling tidak dengan meng- gunakan prinsip think globally act locally. Meskipun demikian, tenaga kerja itu harus menguasai teknologi informasi, komunikasi person to person menjadi strategi pemasaran.

Dengan demikian, ada 2 (dua) peluang yang diperoleh dari masya- rakat desa. Pertama, masyarakat kota terdekat menjadi konsumen yang bertransaksi langsung dengan produsen karena didukung oleh transpor-

(23)

tasi. Hal ini menjadikan harga lebih murah dengan kualitas barang yang sama karena memangkas biaya distribusi. Kedua, dengan jaringan tele- komunikasi, transaksi penjualan antara produsen dan konsumen yang ber- ada di luar jangkauan transportasi, bahkan di luar negeri dapat dilakukan.

Untuk itu, diperlukan pusat informasi, sudah barang tentu di pedesaan bisa menggunakan kelompok usaha bersama atau koperasi. Namun demikian, pemerintah daerah Jawa Timur telam membuat website Jatim online.

Pembuatan ini tidak terlepas dari keinginan pemerintah daerah untuk mengembangkan informasi pasar di dalam dan luar negeri, sesuai yang menjadi program kerja dari Gubernur Iman Utomo Suparno (1999: 3-18), sedangkan atas dasar UU no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pem- kab/pemkot juga melakukan hal yang serupa, seperti Kab. Gresik dengan Gresik.com. Semua ini didasari atas keinginan untuk memajukan pembangunan wilayah, meningkatkan perdagangan dan pada gilirannya pendapatan asli daerah pun terdongkrak.

(24)

BAB III

DESAIN DAN METODE PENELITIAN

A. PENENTUAN LOKASI DAN SUBYEK PENELITIAN

Penelitian ini mengambil lokasi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Sampang, Bondowoso dan Trenggalek. Ketiga kabupaten ini memiliki tingkat kemiskinan lebih dari 20%. Selain itu, memiliki kesamaan ekologis, yaitu perladangan, ketiga kabupaten ini memiliki karakteristik masyarakat kultural yang berbeda.

Untuk menentukan kecamatan yang dipilih, Pertama, tentukan kecamatan yang berada di pusat kota (kecamatan kota) untuk perkotaan, kecamatan yang berada sekitar 5 (lima) kilometer dari pusat kota (kecamatan pinggiran), dan kecamatan yang lebih dari 5 (lima) kilometer dari pusat kota (kecamatan pedesaan). Dari masing-masing kecamatan diambil sejumlah desa sebagai- mana pada pada tabel 3.1. Desa yang dipilih berdasarkan sumber data sekunder tentang tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan program penanggulangan kemiskinan. Artinya, dipilih desa yang memiliki tingkat ke- miskinan, pengangguran dan jumlah program penanggulangan kemiskinan yang sedikit, sedang dan banyak. Untuk bagi kriteria terakhir, bandingkan dengan jumlah program yang diperoleh dalam satu kecamatan.

Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dan pengamatan. Pedoman wawancara pun dibuat

(25)

untuk memudahkan peneliti menerima asupan data dari masyarakat. Adapun subyek penelitiannya diambil secara purposif, sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Penentuan Lokasi dan Subyek Penelitian

No. Karakteristik Wilayah

1. Lokasi Penelitian Pedesaan Pinggiran Perkotaan

a. Kabupaten Sampang 5 3 2

b. Kabupaten Bondowoso 5 3 2

c. Kabupaten Trenggalek 5 3 2

2 Subyek Penelitian a. Masyarakat Industri Kecil

Pedesaan/Kelurahan

a. Pengusaha 5 3 2

b. Buruh/Pekerja 5 3 2

b. Penerima Program Penanggulangan Kemiskinan

a. Keluarga Miskin 5 3 2

b. Kelompok Masyarakat Pengelola Program

5 3 2

c. Pengangguran 5 3 2

c. Pejabat Administratif/ Lurah dan perangkatnya

5 3 2

3 Pembina Industri Kecil Per kabupaten 1-2 orang, diambil dari Dinas Perindustrian/UMKM/Bapemas

B. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini menggunakan (1) pengamatan dengan melakukan pemotretan (camera/visual), (2) wawancara terstruktur, dan (3) wawancara secara mendalam. Pengamatan di lapangan untuk melihat dan membuat pemetaan perkembangan masyarakat industri kecil dan sekaligus perubahan tata ruang yang terjadi. Hasil-hasil ini juga bisa digunakan untuk mencermati pola

(26)

interaksi antara kelompok masyarakat yang bergerak di sektor industri kecil tersebut, selanjutnya disingkat kelompok industri kecil, dan kelompok non- industri kecil, antara kelompok industri kecil dan pelanggannya.

Tabel 3.2.

Subyek Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

No. Karakteristik Teknik Pengumpulan Data

Wawancara Terstruktur Depth Interview 1. Masyarakat Industri Kecil Pedesaan/Kelurahan

a. Pengusaha  

b. Buruh/Pekerja  

2. Penerima Program Penanggulangan Kemiskinan

a. Keluarga Miskin  

b. Kelompok Masyarakat

Pengelola Program

 

c. Pengangguran  

3. Pembina Industri Kecil  

4. Pejabat Administratif/

Lurah dan perangkatnya

 

Melalui wawancara mendalam, diperoleh gambaran tentang per- kembangan industri kecil sandal dan sepatu ini hingga ke jaringan pemasar- annya. Selain itu, diperoleh gambaran yang utuh tentang perkembangan usaha, mulai dari peralihan sektor pertanian ke sektor industri kecil, cara-cara memperoleh modal, fungsi kekerabatan dalam perkembangan usaha dan aspek-aspek sosio-kultural lainnya yang menunjang usahanya. Pemaparan life history ini lebih tepat ditetapkan pada keluarga sebagai unit analisisnya.

Oleh karenanya, penyusunan life history harus terlebih dahulu menunjuk

(27)

satuan-satuan keluarga, dengan informan yang dipilih, tidak harus satu, dan tidak harus kepala keluarga (saja) untuk memberikan informasi yang lengkap.

Teknik wawancara terstruktur digunakan untuk mencermati apresiasi masyarakat sebagai salah satu enabling factors digunakan untuk merekam fenomena tumbuhnya masyarakat industri kecil pedesaan dan apresiasi masyarakat terhadapnya. Dengan menggunakan pedoman wawancara, apresiasi masyarakat ini bisa berasal dari kelompok masyarakat non-sektor industri kecil dan pelanggannya yang datang dari luar daerah. Dengan per- ubahan tata ruang akibat perkembangan sektor ini, tidak selalu kemudian

Bagan 2 Proses Penelitian

Pengumpulan Data

Kuantitatif dan Kualitatif : Data Sekunder, dan

Observasi, Wawancara Mendalam dan Life History

Pengumpulan Data Kuantitatif:

Survai dengan

Wawancara Terstruktur

Penulisan Hasil Penelitian Triangulasi

Analisis Kuantitatif dan Analisis Data Kualitatif:

Axial Coding, Selective Coding

Statistik Deskriptif: Tabel Freq.

Identifikasi Masalah

(28)

ditanggapi secara positif oleh warga masyarakat seluruhnya, namun demikian pada saat-saat tertentu dalam kondisi tertentu pula terjadi perubahan dari apresiasi yang negatif ke positif. Hal-hal yang demikian ini akan terungkap melalui wawancara secara mendalam.

C. TEKNIK ANALISIS DATA

Meskipun penelitian ini sebenarnya lebih menekankan pendekatan kualitatif daripada kuantitatif karena ingin memperoleh pemahaman yang men- dalam tentang fenomena tersebut, namun demikian data dari wawancara terstruktur tidak bisa diabaikan. Asupan dari data tersebut untuk memperoleh gambaran dalam tataran permukaan tentang apresiasi masyarakat terhadap fenomena tersebut Analisis statistik deskriptif, membuat tabel frekuensi dan silang digunakan untuk menggambarkan pola-pola pengembangan program penanggulangan kemiskinan, serta menggambarkan pola-pola umum struktur ekonomi masyarakat tersebut.

Ketiga jenis data yang lain dilakukan melalui proses sebagaimana dalam pendekatan kualitatif. Pertama, dibuat field notes (catatan lapangan).

Kedua, catatan lapangan (field notes) dikodifikasi. Di dalam proses kodifikasi, pelabelan data berbentuk konsep-konsep serta penghimpunan dan peng- organisasiannya ke dalam kategori-kategori lewat analisis-analais (dengan teknik open, axial, dan selective coding) dilaksanakan serempak di lapangan.

Kemudian, semua data yang telah dikumpulkan ini, setelah ditulis dalam fieldnote, diolah dan dianalisis. Hasil analisis ditulis dalam lembar-lembar

(29)

kertas memo. Sepanjang proses, analisis perbandingan antar gejala secara terus menerus (constant comparison) dilakukan dan mempertanyakan berulang-ulang di antara dan pada berbagai category berdasarkan dimensi dan properties-nya, untuk menanyakan kembali secara rinci what, who, why, where, when, how dan how much/many. Langkah selanjutnya adalah mencari hubungan di antara berbagai kategori. Hubungan berbagai kategori ini disebut model paradigmatik yang dijelaskan dengan -- dan terjelaskan oleh – data empirik yang ada (Wignyosoebroto,et.al., 1992; lihat juga Strauss dan Corbin, 2003: 51-174).

(30)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

A. KABUPATEN BONDOWOSO:

SALAH SATU KABUPATEN YANG TERTINGGAL DI JAWA TIMUR?

1. Kondisi Geografis, Ekologi dan Demografi

Kabupaten Bondowoso secara geografis terletak antara 113° 48'10" - 113° 48'26" BT dan antara 7° 50'10" - 7° 56'41" LS, yakni di wilayah bagian timur Propinsi Jawa Timur dengan jarak sekitar 200 km dari ibu kota Propinsi (Surabaya). Luas wilayah Kabupaten Bondowoso mencapai 1.560,10 km² atau sekitar 3,26 persen dari total luas Propinsi Jawa Timur, dan terbagi menjadi 23 kecamatan, 10 kelurahan, 119 desa dan 913 dusun. Batas-batas wilayah pada Kabupaten Bondowoso adalah sebagai berikut: (a) Kabupaten Situbondo di Sebelah Utara, (2) Kabupaten Jember di Sebelah Selatan, sementara itu (3) Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi di sebelah Timur, serta sebelah barat adalah (4) Kabupaten Situbondo dan Probolinggo.

Wilayah Kabupaten Bondowoso tidak mempunyai laut dan tidak dilalui jalur utama. Jalan terbesar hanya dilalui oleh jalan propinsi antara Bondo- woso-Situbondo dan Bondowoso-Jember. Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas pegunungan dan perbukitan seluas 44,4 %, 24,9 % berupa dataran tinggi dan dataran rendah 30,7 % dari luas wilayah keseluruhan. Kabupaten Bondowoso berada pada ketinggian antara 78-2.300 meter dpl, dengan rincian 3,27% berada pada ketinggian di bawah 100 m dpl, 49,11% berada pada ketinggian antara 100 – 500 m dpl, 19,75% pada

(31)

ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl dan 27,87% berada pada ketinggian di atas 1.000 m dpl. Menurut klasifikasi topografis wilayah, kelerengan Kab.

Bondowoso bervariasi. Datar dengan kemiringan 0-2 % seluas 190,83 km2, landai (3-15%) seluas 568,17 km2, agak curam (16-40%) seluas 304,70 km2 dan sangat curam diatas 40% seluas 496,40 km2. Berdasarkan tinjauan geologis di Kabupaten Bondowoso terdapat 5 jenis batuan, yaitu hasil gunung api kwarter 21,6%, hasil gunung api kwarter muda 62,8%, batuan lensit 5,6%, alluvium 8,5% dan miasem jasies sedimen 1,5%. Untuk jenis tanahnya 96,9%

bertekstur sedang yang meliputi lempung, lempung berdebu dan lempung liat berpasir; dan 3,1% bertekstur kasar yang meliputi pasir dan pasir berlempung.

Berdasarkan tinjauan geologi, topografi, jenis tanah dan pola pe- manfaatan lahan, wilayah Kabupaten Bondowoso memiliki karakteristik se- bagai kawasan rawan terhadap terjadinya bencana alam, khususnya banjir dan longsor. Pertama, Rawan Banjir yang diakibatkan oleh kerusakan hutan atau luasnya lahan kritis. Berbagai kegiatan masyarakat (dengan kualitas SDM terbatas) dalam memanfaatkan lahan (kehutanan, pertanian dan permukiman) berpengaruh besar pada kerusakan DAS Sampean. Kawasan hutan di Kabupaten Bondowoso berada dalam pengelolaan KPH Bondowoso dengan perincian: hutan lindung 46.784,2 ha; hutan produksi 45.218 ha; dan LDTI 366,32 ha. Kawasan lindung yang diolah dan ditempati masyarakat mencapai 23,0%. Sebaliknya terdapat pula hutan produksi yang berada diatas tanah milik masyarakat. Hutan lindung dan hutan produksi yang ada relatif rawan terhadap penjarahan oleh masyarakat. Hal ini karena adanya tekanan

(32)

penduduk yang besar yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan tingkat pendapatan yang rendah, serta sistem kelembagaan yang kurang berjalan efektif. Akibatnya, masyarakat kurang peduli terhadap kelestarian hutan dan memanfaatkan hutan sebagai lahan mata pencaharian. Kerusakan lahan yang terjadi di Kabupaten Bondowoso (lahan kritis yang ada) mencapai luas 40.758 ha, dengan rincian sangat kritis seluas 4.175 ha, kritis seluas 10.420 ha, agak kritis seluas 11.417 ha, dan potensial kritis seluas 9.746 ha yang pada umumnya adalah lahan masyarakat, sedangkan lahan perhutani yang kritis mencapai 5.000 ha.

Peta 4.1. Kabupaten Bondowoso dan Wilayahnya (diakses dari http://rosihan02.google-page.

com/bondowoso.jpg tanggal 5 Oktober 2009).

(33)

Adanya lahan kritis tersebut cenderung meningkatkan erosi, yang berakibat pada meningkatnya sedimentasi sungai, menurunkan daya tampung sungai, melampaui kapasitas sarana prasarana irigasi yang ada, sehinga timbul kawasan-kawasan rawan luapan air atau kawasan rawan banjir. Daerah rawan banjir mencakup 33,33% wilayah Kabupaten Bondowoso, khususnya kawasan-kawasan yang berada di sepanjang aliran Sungai Sampean dan Sungai Tlogo, di antaranya Kecamatan Grujugan, Bondowoso, Tenggarang, Wonosari, Klabang, Tapen, Prajekan, Sumberwringin, Pakem, Tegalampel, dan Tlogosari (Peta terlampir). Setiap tahun terjadi bencana banjir (terbesar tahun 2002) yang melanda wilayah Kabupaten Bondowoso dan Situbondo (daerah bawah DAS Sampean). Dampak seringnya terjadi banjir adalah me- ningkatnya kerusakan jaringan irigasi, kerusakan prasarana jalan, kerusakan instalasi air bersih dan rusaknya prasarana permukiman dan prasarana umum.

Khusus prasarana irigasi, kerusakan jaringan apabila tidak tertangani segera akan menurunkan debit air irigasi dan pada akhirnya terjadi kekeringan lahan pertanian di musim kemarau.

Kedua, Rawan Tanah Longsor. Berdasarkan tingkat kemiringannya, wilayah Kabupaten Bondowoso terdiri dari: kemiringan 0-2% seluas 19.083 ha (12,23%), kemiringan 3-15% seluas 56.816,9 ha (36,42%), kemiringan 16-40%

seluas 30.470,3 ha (19,53%) dan kemiringan diatas 40% seluas 49.639,8 ha (31,82%). Sedangkan kedalaman efektif tanah bervariasi antara 30 cm- 90 cm, dengan komposisi: 57,4% memiliki kedalamam efektif diatas 90 cm, 15,6%

memiliki kedalaman efektif antara 60 cm-90 cm, 14,7% memiliki kedalaman

(34)

efektif antara 30 cm - 60 cm, dan 12,3% memiliki kedalaman efektif di bawah 30 cm. Ketinggian dan kedalaman efektif tanah yang bervariasi ini berpengaruh terhadap jenis, pertumbuhan dan kerapatan vegetasi.

Berdasarkan Peta Geologi Jawa dan Madura, di Kabupaten Bondowoso terdapat 5 jenis batuan, yaitu hasil gunung api kwarter 21,6%, hasil gunung api kwarter muda 62,8%, batuan lensit 5,6%, alluvium 8,5%, dan miasem, jasies sedimen 1,5%, sedangkan tanah di Kabupaten Bondowoso 96,9% bertekstur sedang yang meliputi lempung, lempung berdebu, dan lempung liat berpasir, 3,1% bertekstur kasar yang meliputi pasir dan pasir berlempung, dan tidak ada yang bertekstur halus. Tingkat kemiringan dan tekstur tanah yang bervariasi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya erosi/longsor dan rendahnya jumlah cadangan air. Tanah yang mudah erosi/ longsor seluas 40.796,62 ha (26,15%) dapat dijumpai di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Bondowoso, khususnya di wilayah Kec. Sempol, Sumberwringin, Tlogosari, Wringin, Tegalampel, Klabang, Pakem, Binakal, Curahdami, Grujugan dan Maesan.

Kerawanan terhadap bencana longsor disebabkan juga oleh makin luasnya lahan kritis. Pada umumnya bencana banjir disertai oleh bencana longsor. Longsor terjadi setiap tahun pada kawasan-kawasan perbukitan dan lereng pegunungan yang seringkali melanda permukiman perdesaan, merusak prasarana irigasi, air bersih, jalan dan jembatan serta lahan-lahan pertanian masyarakat.

Ketiga, kerawanan terhadap bencana lainnya selain bencana banjir dan longsor di Wilayah Kabupaten Bondowoso adalah gempa bumi, bahaya

(35)

gunung berapi dan angin puyuh. Gempa Bumi terjadi akibat aktivitas Gunung berapi (Gunung Ijen dan Gunung Raung) disisi timur Kabupaten Bondowoso, mengakibatkan daerah sekitarnya rawan terhadap bencana Gempa Bumi yaitu mencakup 9,74% luas wilayah Kabupaten Bondowoso meliputi wilayah Kecamatan Sempol dan Tlogosari (berada di lereng Gunung Ijen dan Raung), sedangkan bahaya gunung berapi sama dengan kerawanan terhadap bencana gempa bumi. Daerah rawan bencana Gunung Berapi mencakup 9,74% luas wilayah Kabupaten Bondowoso meliputi wilayah Kecamatan Sempol dan Tlogosari (berada di lereng Gunung Ijen dan Raung). Terakhir, karena dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan, hampir separuh lebih wilayah di Kab. Bondowoso juga rawan terhadap angin puyuh. yaitu meliputi wilayah Kecamatan Cermee, Wonosari, Prajekan, Wringin, Pakem, Curah- dami, dan Grujugan (Kab. Bondowoso, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bondowoso).

Secara klimatologi, wilayah Kabupaten Bondowoso yang merupakan bagian dari Pulau Jawa tepatnya pada Provinsi Jawa Timur berada relatif dekat dengan garis khatulistiwa yang secara langsung mempengaruhi perubahan iklim yaitu musim kemarau dan musim hujan, dengan temperatur rata-rata 22,52°C. Pada saat musim hujan, Kabupaten Bondowoso merupakan kawasan rawan bencana banjir karena merupakan kawasan bersudut lereng lebih dari 40%. Jumlah penduduk Kab. Bondowoso berjumlah 725.571 jiwa terdiri dari laki-laki 354.425 jiwa dan perempuan 371.146 jiwa. Jumlah ini terus

(36)

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk sebesar 454 jiwa/km².

Sebagian besar masyarakat Bondowoso mempunyai mata pencaharian sebagai petani atau bahkan sebagai buruh tani. Dengan pendapatan perkapita masyarakat sebesar Rp 4.075.826,00, distribusi pendapatan merata pada tingkat pendapatan rendah. Kemampuan keuangan daerah juga tergolong sangat rendah. Proyeksi Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2008 hanya sebesar Rp 31,063 Milyar. Sementara proyeksi jumlah Belanja Daerah mencapai Rp 611,918 Milyar. Rasio APBD perkapita hanya sebesar Rp 843.361,- Itu pun sebagaian terbesar dari jumlah tersebut adalah untuk pos Belanja Pegawai (sekitar 61%), sedangkan Belanja Modal hanya sebesar Rp 67,615 Milyar (11%). Ketergantungan kepada transfer dana dari Pemerintah Pusat berupa Dana Perimbangan juga masih sangat tinggi, yakni mencapai Rp 518,238 Milyar.

Sebagai salah satu kabupaten yang termasuk kategori "daerah tertinggal", Kabupaten Bondowoso dihadapkan kepada berbagai masalah yang perlu segera ditangani secara serius, terencana dan berkelanjutan. Issu kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, tingginya angka pengangguran, serta rendahnya produktifitas dan kualitas produksi, merupakan masalah-masalah yang perlu memperoleh perhatian segera.

Bertitik tolak dari kondisi masyarakat Bondowoso tersebut di atas, maka sangat diperlukan langkah-langkah kebijakan yang tepat dengan

(37)

mengoptimalisasikan potensi yang dimiliki Kabupaten Bondowoso maupun dengan membuka keterisolasian agar dapat menarik berbagai sumberdaya dari luar Kabupaten Bondowoso. Berbagai potensi yang dapat dioptimalkan dimaksud antara lain: pertanian tanaman pangan dan holtikultura, perikanan air tawar, peternakan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, industri, serta pariwisata alam dan peninggalan sejarah.

2. Profil Tiga Desa yang “Tertinggal?”

Kelurahan Bandean: Kemiskinan di Tengah Kota. Kontur dan letak kota yang dikelilingi oleh pegunungan membuat Bondowoso berhawa sejuk.

Bondowoso merupakan salah satu daerah di Jawa timur yang memiliki potensi pertanian yang cukup baik, hal tersebut dikarenakan kualitas kondisi tanah yang subur. Komoditas pertanian di kabupaten Bondowoso mayoritas adalah komoditi tanaman pangan, tembakau dan kopi. Bondowoso juga terkenal dengan makanan khasnya yang bernama tape, yaitu makanan yang bahan dasarnya terbuat dari singkong yang difermentasi dengan ragi.

Etnik masyarakat yang tinggal di Bondowoso pada daerah perkotaan sudah lebih bersifat heterogen yang terdiri dari etnik Jawa, Cina dan Madura.

Sedangkan untuk daerah pedesaan mayoritas adalah etnik Madura. Walaupun kondisi tanah yang tergolong subur, akan tetapi kondisi sosial masyarakatnya masih banyak yang tergolong miskin. Salah satunya adalah Kelurahan Badean yang terletak di Kecamatan Kota Bondowoso.

(38)

Di antara 23 kecamatan di Kabupaten Bondowoso, kecamatan Bondowoso merupakan daerah yang paling padat, yaitu mencapai 68.356 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.191 jiwa/km². Adapun batas-batas wilayah pada Kelurahan Badean sebagai lokasi penelitian. Disebelah utara berbatasan dengan kelurahan Kota Kulon. Di sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Nangkaan. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Poncogati, sedangkan disebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Debasah.

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari pihak kecamatan, lokasi Kelurahan Badean dirasa sangat tepat. Kategori yang diambil adalah wilayah yang jumlah keluarga miskin paling banyak dan wilayah yang ada indusri kecil/ rumah tangga. Dari 7 RW yang ada di wilayah desa Badean, peneliti mengambil sample penelitian di RW 6 dan RW 1. Berdasarkan kategori yang ditentukan untuk wilayah RW 6 adalah wilayah yang jumlah keluarga miskin paling banyak, dan untuk RW 1 adalah wilayah yang ada industri kecil/rumah tangga.

Dusun Tegal Batu (RW 6/ RT 27 dan 28) secara geografis merupakan wilayah paling barat dari pada kelurahan Badean. Dusun Tegal Batu me- rupakan daerah persawahan, akses jalan masuk ke dusun tersebut sudah beraspal, tetapi kondisinya sekarang sudah banyak yang rusak dan berlubang.

Penerangan jalan akses masuk ke Dusun Tegal Batu juga masih sangat sedikit sekali. Meskipun akses jalan ke kota dan jalan protokol Bondowoso- Jember hanya sekitar 5 km, dusun Tegal Batu seakan-akan masih sangat

(39)

tertinggal jauh dengan dusun-dusun lainnya yang ada di wilayah Kelurahan Badean. Ketertinggalan itu juga mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Masyarakat Tegal Batu mayoritas mempunyai bermata pencarian sebagai petani, buruh tani dan tukang becak. Tingkat pendidikan yang rata- rata masih rendah merupakan faktor utama sulitnya meningkatkan kualitas sosial ekonomi masyarakat Tegal Batu. Kondisi fisik bangunan rumah sudah cukup bagus, rata-rata sudah terbuat dari tembok dan berkeramik. Kenyataan tersebut bukanlah disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang tinggi, melainkan karena pengaruh kuatnya gotong royong anggota masyarakat.

Masyarakat setempat bisa menabung untuk memperbaiki rumah dikarenakan jasa tenaga kerja, baik itu dalam hal pengerjaan lahan pertanian maupun pembangunan rumah didapatkan dari tetangga sekitar rumah tanpa harus membayarnya.

Wilayah Kelurahan Badean (RW 1/ RT 07) merupakan daerah per- kotaan yang mayoritas warganya adalah pegawai negeri dan wiraswasta. Jika dibandingkan dengan warga Tegal Batu kondisi sosial ekonomi warga RW 1 masih lebih baik tingkat perekonomian dan tingkat pendidikannya. Pola pikir yang berkembang di masyarakat sudah cukup modern, dan hal ini bisa dilihat dari bangunan fisik rumah yang rata-rata sudah bangunan modern. Tata bangunan rumah sudah seperti perkampungan kota yang padat dengan letak rumah yang berdekatan, berpetak-petak dan dibatasi dengan gang-gang kecil.

Jenis industri kecil yang ada di wilayah ini adalah industri tempe milik Pak

(40)

Lusirin, industri singkong milik Pak Sunarto dan industri rumah tangga brownies tape milik keluarga Dimas.

Kelurahan Badean memiliki suatu organisasi yang mengurusi masalah pengembangan pembangunan. Organisasi tersebut dinamakan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Anggota dan kepanitiaan BKM terdiri dari per- wakilan anggota masyarakat di tiap-tiap RW. BKM mengurusi masalah simpan pinjam dan realisasi program bantuan dari pemerintah. Setiap 3 (tiga) bulan sekali BKM menyerahkan laporan kepada Kaur Pembangunan. Adapun pemilihan anggota dan pengurus BKM adalam melalui penunjukan dari kelurahan.

Desa Taman, Desa Perkebunan yang Berjuang Melawan Ke- miskinan. Desa Taman terletak di Kecamatan Grujugan. Kecamatan tersebut merupakan salah satu dari 23 kecamatan yang ada di Kabupaten Bondowoso dengan jarak kurang lebih 7 km arah selatan dari ibukota kabupaten. Secara geografis kecamatan Grujugan terletak pada ketinggian 220 s/d 532 meter diatas permukaan laut. Kecamatan Grujugan dengan luas wilayah 3.613,9 ha terdiri dari Tanah Sawah seluas 1.445,0 ha; Tanah Pekarangan untuk bangunan dan halaman sekitar 506,2 ha; Tanah Tegal/ Kebun 1.093,9 ha;

Tambak/ kolam 2,0 ha; Perkebunan 32,6 ha; dan Tanah Kering lainnya 534,2 ha. Jumlah penduduk kecamatan Grujugan berdasarkan registrasi penduduk akhir 2007 sebanyak 35.357 jiwa. Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Grujugan bekerja di sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan. Desa Taman sebagai lokasi penelitian memiliki luas wilayah 555,0 ha.

(41)

Batas daerah, di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Bondo- woso dan Kecamatan Curahdami. Di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Curahdami. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tamanan dan Kecamatan Maesan. Di sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Jambesari dan Tamanan. Wilayah kecamatan Grujugan terdiri dari 11 desa, 36 dusun/pedukuhan, 55 rukun warga dan 281 rukun tetangga.

Jumlah penduduk kecamatan Grujugan berdasarkan hasil registrasi penduduk akhir tahun 2007 sebanyak 35.357 jiwa.

Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Grujugan berada disektor pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan jumlah rumah tangga yang berpenghasilan utama di sector pertanian sebesar 10.571 rumah tangga. Di Kecamatan Grujugan ini peneliti mengambil sample di wilayah desa Taman. Alasan pengambilan sample wilayah ini adalah di dusun Pasnan sendiri untuk jumlah keluarga miskin masih banyak dan di dusun ini juga terdapat industri kecil anyaman bambu dan konveksi/ bordir.

Lokasi Desa Taman tidak jauh dengan Kantor Kecamatan Grujugan, yaitu arah ke selatan sekitar 2 km. Adapun letak dari Desa Taman adalah di tepi jalan utama antar kota Bondowoso-Jember. Mayoritas warga dusun Pasnan bekerja sebagai buruh pabrik gudang tembakau, dan buruh tani. Pada sektor pertanian sendiri sebenarnya tidak terlalu bisa diandalkan. Dikarenakan kualitas tanah yang cukup gersang dan kurang subur serta sulitnya pengairan.

Untuk pemenuhan akan kebutuhan air bersih saja harus mengambil dari

(42)

sumber yang dialirkan melalui pipa-pipa ke rumah-rumah warga, sedangkan sumber air tersebut terletak cukup jauh dan berada di desa lainnya.

Karakteristik masyarakat Desa Taman masih tergolong dalam tingkat Sumber Daya Manusia dan tingkat pendidikan yang cukup rendah. Banyak anak yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kejadian ini banyak terjadi pada anak perempuan, orang tua pelajar biasanya tidak terlalu memperdulikan pendidikan anak. Meskipun sebenarnya dalam hal pembiayaan orang tua mampu untuk menyekolahkan anak lebih tinggi biasanya menganggap pendidikan kurang penting. Anak perempuan biasanya setelah SD atau SMP tidak diperbolehkan meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan disuruh untuk menikah saja.

Hubungan antar keluarga miskin dan keluarga mampu dalam masalah perekenomian secara umum bersifat baik dan saling menguntungkan. Dapat dilihat dari pola penggarapan lahan pertanian dan sistem pengolahan hasil pertanian, yaitu ke-giatan rajang daun tembakau. Desa Taman pernah menerima program dari pemerintah PNPM mandiri. Salah satu penerima bantuan modal pengembangan usaha tersebut adalah adalah industri konveksi (bordir) Ibu Erlin. Selain usaha kecil konveksi tersebut ada juga usaha kerajinan bambu dan anyaman milik bapak Nur Salim. Tetapi yang disayangkan sampai sekarang ia belum pernah mendapatkan bantuan modal dari pemerintah untuk pengembangan usahanya, bahkan apabila dicermati, prospek penyerapan tenaga kerja dan pangsa pasar produksi anyaman tersebut cukup baik.

(43)

Desa Jurangsapi: Kemiskinan di Kaki Gunung Ijen. Desa Jurang Sapi merupakan salah satu desa di Kecamatan Tapen. Kecamatan Tapen secara geografis masuk dalam wilayah tepi Kab. Bondowoso. Kecamatan ini berada pada jalur utama yang menghubungkan Kab. Bondowoso dengan Kab.

Situbondo. Keadaan umum wilayah desa Jurang Sapi sendiri terletak di jalur untuk menuju kawah Ijen, dengan batas wilayah sebagai berikut: (1) sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cindogo Kec. Tapen; (2) sebelah Selatan ber- batasan dengan Desa Bendo Arum Kec. Wonosari; (3) sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kapuran Kec. Wonosari, dan (4) sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gunung Anyar Kec. Tapen.

Pengaruh kontur alam dan tingkat kesuburan tanah, Desa Jurang Sapi merupakan salah satu wilayah di Kab. Bondowoso yang menghasilkan komoditi pertanian berupa jagung, sayur-sayuran dan lombok. Wilayah Desa Jurang Sapi secara administratif memiliki 10 Dusun yaitu: Dusun Krajan, Dusun Timur Jaya, Dusun Tegal Rejo, Dusun Jatilan, Dusun Baru Jaya, Dusun Baru Korong, Dusun Kebun Agung, Dusun Ebrak, Dusun Pandigung, dan Dusun Sumber Rejo.

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari pihak kecamatan, lokasi desa Jurang Sapi dirasa sangat tepat karena desa ini memiliki jumlah keluarga miskin paling banyak dibandingkan desa-desa lain. Selain itu, desa ini memiliki indusri kecil/rumah tangga yang relatif besar jumlahnya. Desa Jurang Sapi ini terletak sekitar 5 km ke arah utara dari jalan utama Bondo- woso-Situbondo dan jalan menuju tempat wisata Kawah Ijen. Lokasi desa

(44)

merupakan daerah persawahan, dengan penerangan yang masih sedikit.

Akses jalan untuk menuju desa ini walaupun sudah beraspal dan kondisinya sekarang ini masih baik, tetapi untuk menuju ke dusun-dusun kebanyakan kondisi jalan masih belum beraspal dan berbatu-batu.

Mayoritas masyarakat di Jurang Sapi berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Dikarenakan potensi ekonomi untuk desa Jurang Sapi memang berada di sektor pertanian. Kegiatan ekonomi masyarakat lokal untuk me- ngembangkan potensi lokal terdapat industri-industri kecil seperti industri pembuatan krupuk, industri pembuatan batu bata dan industri kuningan. Di wilayah Dusun Krajan, Desa Jurang Sapi sendiri paling banyak industri krupuk dan industri pembuatan batu bata, sedangkan industri kuningan berada pada Desa Jurang Sapi yang berbatasan dengan Desa Cindogo.

Industri kecil berupa usaha pembuatan kerupuk dan industri batu bata banyak ditemui di dusun Krajan. Untuk industri kerupuk, bahan mentah atau kerupuk setengah jadi dibeli dari pasar, dijemur dan digoreng dirumah. Setelah itu, dipasarkan lagi berkeliling ke luar desa. Ada pula membuat sendiri dari bahan baku hingga diproduksi sampai jadi dan digoreng. Adapun usaha-usaha ini bersifat perorangan dan dengan modal sendiri pula. Peranan PKK dirasa sangat kurang dalam pengembangan industri ini.

Untuk industri batu bata biasanya dikuasai oleh para juragan-juragan batu bata. Juragan itu merupakan pemilik tanah yang digunakan sebagai bahan baku cetak batu bata, meskipun ada juga beberapa yang merupakan tanah sewa. Pekerja cetak batu bata merupakan orang-orang yang bertempat

(45)

tinggal di sekitar rumah para juragan itu sendiri. Usaha ini juga masih bersifat perseorangan, modal dan pemasaran juga berasal dari diri sendiri pula.

Industri kerajinan kuningan berada di Desa Jurang Sapi yang paling utara, yaitu wilayah yang berbatasan langsung dengan Desa Cindogo.

Mungkin orang lebih mengenal sentra industri kuningan berada pada wilayah Cindogo, namun sebenarnya pengrajin pertama yang merintis usaha di daerah tersebut dan jumlah pengrajin yang mendominasi sampai saat ini berasal dari Desa Jurang Sapi. Lokasi Industri memang sangat strategis, yaitu di tepian jalan utama Bondowoso - Situbondo. Dahulu sebelum reformasi kerajinan kuningan ini mengalami masa kejayaan. Kerajinan kuningan merupakan salah satu ikon kota Bondowoso dan untuk pemasarannya sampai menembus pasar ekspor. Namun, sekarang kerajinan ini mengalami keterpurukan, disebabkan oleh minat konsumen yang menurun drastis. Selain itu, hampir semua pengrajian kuningan yang mempunyai skala produksi kecil sekarang tidak mampu lagi memproduksi, sebab ongkos produksi lebih besar di bandingkan harga jual di pasaran. Hanya pengrajin dengan skala besar yang mampu memasarkan hasil produksinya ke luar daerah atau bahkan keluar negeri yang bisa bertahan sampai saat ini.

Peran warga dalam pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan dasawisma dan perekrutan tenaga kerja dari lingkungan sekitarnya sendiri. Kegitan-kegiatan arisan yang dikemas dalam kegiatan keagamaan seperti pengajian dan tahlilan banyak diminati oleh warga. Umumnya hasil yang didapat dari arisan tersebut digunakan untuk

(46)

pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, masyarakat menganggap bahwa arisan itu merupakan salah satu kegiatan untuk menabung. Sistem kekerabatan di Desa Jurang Sapi saat ini masih sangat kuat, hal ini bisa diperhatikan dari industri yang ada rata-rata para pekerja yang membantu proses produksi masih ada hubungan keluarga, selain itu pola gotong royong masih sering ditemui dalam kegiatan masyarakat sekitar.

Gambaran kualitatif tentang perkembangan keluarga miskin di desa Jurang Sapi saat ini sudah mengarah kearah yang lebih baik, dalam artian tingkat jumlah keluarga miskin sudah menurun dari tahun ke tahun. Hal ini terkait dengan adanya program-program pemerintah yang bertujuan untuk me- ningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu program itu adalah program BKD (Bank Kredit Daerah) yang mengurusi kegiatan simpan pinjam. Minat masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas ini cukup bagus. Dengan adanya simpan pinjam dari desa dengan persyaratan permohonan yang mudah pula, diharap masyarakat tidak canggung untuk bisa mengembangkan modal usaha dari kredit lunak tersebut. Adapun sistem pengangsuran simpan pinjam ini dipermudah, yaitu setiap satu minggu sekali pada hari Senin.

B. KABUPATEN SAMPANG:

SALAH SATU KABUPATEN YANG TERTINGGAL DI JAWA TIMUR?

1. Kondisi Geografis, Ekologi dan Demografi

Kabupaten Sampang merupakan Kabupaten yang terletak di posisi tengah pulau Madura. Luas wilayah Kabupaten Sampang 1.233,02 km atau sama dengan 23 % dari seluruh luas pulau Madura. Kabupaten Sampang

(47)

terletak diantara 6, 5-7, 13 LS dan 113, 8- 113, 39 BT dan berada pada ketinggian sampai 290 m diatas permukaan laut. Kabupaten Sampang memiliki daerah-daerah pegunungan di tengah dan daerah pantai yang berada di sebelah Utara serta sebelah Selatan dengan areal pertambakan garam (Sampang dalam angka, 2003 : 2). Adapun batas wilayah Kabupaten Sampang adalah sebagai berikut : (1) Laut Jawa di sebelah Utara, (2) Kab.

Pamekasan di sebelah Timur, (3) Selat Madura di sebelah Selatan, dan (4) Kab. Bangkalan di sebelah Barat.

Secara administratif Kabupaten Sampang terdiri atas 14 Kecamatan, 180 Desa dan 6 Kelurahan, serta terbagi menjadi 4 wilayah pembantu Bupati yaitu :

1. Sampang meliputi Sampang kota, Camplong dan Omben 2. Torjun meliputi Torjun, Pangarengan, Jrengik dan Sreseh

3. Kedundung meliputi Kedundung, Karangpenang, Tambelangan dan Robatal

4. Ketapang, meliputi Ketapang, Banyuates dan Sokobanah.

Kecamatan terluas di Kabupaten Sampang merupakan Kecamatan Robatal dengan luas 164,79 km atau sekitar 13,37 % dari luas keseluruhan Kebupaten Sampang, sedangkan Jrengik dengan luas wilayah 16,35 km atau sekitar 5,30 % merupakan kecamatan dengan luas wilayah paling kecil. Iklim di Madura khusunya Kabupaten Sampang terbagi menjadi dua musim, yaitu musim barat (nembhara’) atau musim penghujan yang berlangsung dari bulan Oktober sampai April dan musim timur (nemor) atau musim kemarau yang

(48)

berlangsung dari bulan April sampai bulan Oktober. Suhu di Kabupaten Sampang selalu tinggi, suhu di musim penghujan 280 C dan musim kemarau 350 C (De Jonge,1989 : 2). Jumlah curah hujan yang turun di daerah Kab.

Sampang menunjukkan perbedaan yang mencolok, terutama daerah pedalam- an yang sangat kering dan juga ada perbedaan jumlah curah hujan yang turun tiap tahunnya. Kecamatan Robatal mempunyai rata-rata curah hujan tertinggi yaitu 153,92 m (Sampang dalam angka, 2003 : 2). Dengan keadaan demikian jelas akan mempengaruhi bagi pertanian, karena pertanian dengan cara irigasi hanya dapat dilaksanakan dibeberapa tempat saja dan sebagian besar di daerah Kabupaten Sampang tergantung dengan curah hujan atau dikenal sawah tadah hujan.

Selain mengandalkan air hujan, pertanian di Kabupaen Sampang juga tergantung kepada air sungai. Sungai-sungai di Kabupaten Sampang di- kelompokkan menjadi dua seksi, yaitu seksi Sampang Selatan dan Sampang Utara. Seksi Sampang Selatan sebanyak 25 sungai dan yang terpanjang adalah Sungai Kemuning yaitu 20 Km, sedangkan Sungai Sodong dengan panjang 22 km merupakan sungai terpanjang dari 9 sungai yang ada di seksi Sampang Utara (Sampang dalam Angka, 2003 : 3).

(49)

Gambar 4.2.

Kabupaten Sampang

Sumber : Peta Potensi Kabupaten Sampang diakses dari

http://adrenaline.ucsd.edu/HybridEnvironments/indonesia_trip/links/eastjava/kab-sampang.html

Data jumlah penduduk Kabupaten Sampang berdasarkan sensus pen- duduk tahun 2003 yaitu sebesar 782.264 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 1,3 %. Jumlah penduduk wanita lebih besar dibandingkan laki-laki, yaitu jumlah penduduk wanita sebesar 400.280 dan jumlah penduduk laki-laki sebesar 381. 983 (Sampang dalam angka, 2003 : 26). Kecamatan Robatal mempunyai penduduk yang paling besar denngan jumlah 118.530 jiwa, diikuti Kecamatan Sampang 100.827 jiwa dan Kecamatan Camplong 71.607 jiwa.

(50)

Kepadatan penduduk Kabupaten Sampang adalah 634,29 jiwa setiap 1 km.

Kecamatan Sampang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi yaitu 1440 jiwa/ km.

Data jumlah penduduk yang menganut agama Islam sekitar 99,9 % dari jumlah penduduk Kabupaten sampang, agama Kristen Protestan sebesar 0,03

%, agama Hindu sebesar 0,01 % dan agama Katolik sebesar 0,02 % dari jumlah penduduk Kabupaten Sampang (Sampang dalam angka, 2003 : 142)

Dari segi mata pencaharian, mayoritas penduduk Kab. Sampang ber- profesi sebagai petani dengan penggunakan sistem pertanian tadah hujan.

Berdasarkan data penduduk Kabupaten Sampang yang berprofesi sebagai petani sekitar 87,36 %, pedagang sekitar 4,42 %, pekerja 4,69 % dan PNS sekitar 2,87 % dari jumlah keseluruhan penduduk Kabupaten Sampang (BPS, 2003 :142). Aktifitas-aktifitas bidang pertanian tidak dapat berlangsung sepanjang tahun. Aktivitas menanam padi hanya dapat dilakukan pada musim penghujan (nembhara’), sedangkan pada musim kemarau (nemor) lahan- lahan pertanian biasanya ditanami ketela pohon, kacang-kacangan, kedelai, umbi-umbian dan adakalanya tembakau. Oleh karena itu, mudah dipahami jika Madura khususnya Kabupaten Sampang termasuk daerah paling miskin di Indonesia.

Secara umum kondisi pendidikan formal di Kabupaten Sampang dapat dikategorikan relatif tertinggal dibandingkan dengan kondisi pendidikan di Kabupaten lain di Jawa Timur. Di Madura pada umumnya dan Kabupaten Sampang pada khususnya, orang lebih mengenal pondok pesantren dari pada

Referenties

GERELATEERDE DOCUMENTEN

dari daerah tidak dari pusat, sebab keperl uan suatu daerah dengan da- erah lainnya tidak sama, hal itu misalnya jamban keluarga dan banyak proyek ) ai nnya

Het feit dat naar schatting 65 procent van de volwassen mannen regelmatig een commerciële sekswerker bezoekt en daarnaast vaak een omvangrijk seksueel netwerk heeft, zijn dus

malah yang paling mengesankan bagi m e reka ada dua orang yang menjadi SarJana dalam desa ini walaupun bukan orang a51i des a ini sampai sekarang masih dalam

Sebagai contoh, melalui layanan penyuluhan, penguatan litbang pertanian, dan menyediakan akses dan informasi untuk teknologi baru yang lebih baik, (ii) peningkatan kesempatan

Sistem pengembalian modal yang biasa dHakukan adalah, pengrajin akan memberikan tikar yang lelah selesai dikerjakan kepada pemilik modal/bahan baku, dan pemilik modal

Analisis Tipologi Kemiskinan Perkotaan Tahun 2007 3 Pada tahun 2007 ini BPS melakukan analisis tipologi kemiskinan perkotaan dengan membagi rumah tangga miskin ke dalam tiga

Laporan ini juga memperoleh manfaat dari dua hasil penting dari INDOPOV, yaitu laporan Membuat Layanan Publik Bermanfaat bagi Rakyat Miskin dan Revitalisasi Ekonomi Pedesaan:

3 Tinggi  air  tanah  pada  sumur  observasi (observation well)     Pada  Bendungan  Manggar  terpasang  14  buah  sumur  observasi,  4  buah  di